myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Minggu, 29 Mei 2011

Mengapa "Buta" pada Kelebihan Orang Lain


Oleh: Ustadz Azmi Fajri Usman

Memandang sepele orang lain, bukanlah tanda kita lebih mulia dari orang itu. Merendahkan orang lain, justru menjadi cirri kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Kelemahan itu terjadi karena kita tidak tahu menialai diri dan orang yang kita sepelekan. Sikap menyepelekan, ternyata bisa menjatuhkan dan mempermalukan kita, jika ternyata kondisi sebenarnya berbeda dengan penilaian kita.

Beberpa langkah berikut, akan membantu kita untuk lebih menghormati dan menilai orang lain dengan bijaksana.

  1. Bukalah ‘Mata’ terhadap kelebihan orang lain

Diatas langit ada langit. Istilah itu barangkali sering kita dengar, untuk menggambarkan bahwa tidak ada makhluk yang mengerti semua hal dimuka bumi ini. Sudah semestinya banyak orang orang baik yang kita tidak tahu. Sepintar dan sehebat apapun seseorang , pasti ada yang lebih bagus dan lebih baik. Meski biasanya, orang yang benar-benar baik dan istimewa, justru tidak akan merasa lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Karena semakin dalam ilmu seseorang, semakin banyak amalnya, ia makin merendah di hadapan orang lain. Sebaliknya, justru orang yang merasa lebih hebat dan lebih baik dari orang lain adalah orang yang minim kualitas dan kuantitas amalnya. Orang-orang yang memiliki amal-amal lebih baik, memang kerap tidak suka bila amalnya diketahui orang. Itulah yang menjadi karakter para salafushalih dahulu.

Jika kita jeli, betapa sering kita mengalami keterkejutan saat keliru menilai sesuatu yang ternyata berbeda 180 derajat dari yang kita duga sebelumya. Betapa sering kita melihat kebaikan yang dilakukan orang yang “biasa-biasa saja”, sebuah nilai yang tidak kita prediksi sebelumnya. Simaklah bagaimana terkejutnya seorang yang sombong dihadapan Salman Al Farisi ra. Ketika Salman Al FArisi menjadi gubernur Madain, ia pernah dianggap kuli panggul oleh seorang kaya dan terkemuka di kota itu. “ Mari bawakan barang ini,” kata orang itu, yang belum mengenal Salman.

Barang-barang itu diangkat salaman di atas bahunya. Setiap bertemu penduduk, mereka menawarkan diri untuk membawakan barang itu. Tetapi Salaman terus membawanya dan menolak orang-orang yang akan menggantikan, hhingga ia sampai ke rumah si kaya. Setelah orang itu mengetahui bahwa yang disuruhnya adalah gubernur, ia sangat terkejut. Ia meminta maaf dan berkata, “Saya berjanji tidak akan menghina orang sesudah kejadian ini untuk selamanya.”

  1. Rahasiakanlah amal, Agar kita mengerti orang yang Merahasiakan Amalnya

Ada dua hal penting yang minimal bisa kita peroleh dengan merahasiakan amal. Pertama, merahasiakan amal adalah cara yang bisa labih memberi ketenangan hati pelakunya. Berbeda dengan ketika suatu amal dilakukan di depan dan diketahui banyak orang. Al Harits Al Muhasibi mengatakan, “ Orang yang shadiq adalah yang tidak suka jika mereka mengetahui kebaikan amalnya dan dia tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika dia benci karena orang mengetahui keburukannya, berarti dia menghendaki kehormatan di mata mereka, dan ini bukan tanda shiddiqin.”

Kedua, dengan melakukan amal tersembunyi kiya lebih bijak menilai orang lain. Kita akan mengerti, bahwa ada banyak amal orang lain yang sama sekali tidak kita ketahui, sebagaimana yang kita lakukan. Kita menyadari, bahwa ada banyak kemungkinan seseorang menyembunyikan amalnya, sebagaimana kita juga melakukannya. Kita tahu, tidak pada tempatnya menilai orang secara lahir. Seorang ahli hikmah mengatakan, “ Kebanggaan seorang mukmin hnya denan Tuhan, kemuliaan seorang mukmin hanya dengan agamanya. Sedangkan orang munafik bangga dengan kebanggaan dari orang lain dan merasa mulia dengan harta kekayaannya.”

  1. Pandanglah Diri kita Sebagai Orang Bodoh

Sikap seperti ini adalah kunci keberhasilan dan perubahan kea rah lebih baik. Memandang iri sebagai orang bodoh, bukan menjadikan kita merasa tidak percaya diri, tapi harus lebih melecut diri untuk banyak belajar dari banyak keadaan. Kenyataan hidup mengajarkan kita, selalu ada orang lain yang lebih pintar dalam satu atau beberapa bidang tertentu. Maka, perlu sikap mengalah, tak henti belajar dan menyempurnakan diri.

Kita biasanya lebih sering berbicara tentang kekurangan orang lain daripada kelebihan mereka. Kita memperhatikan kekurangan itu, lalu membicarakannya untuk lebih mengukuhkan kelebihan dan keutamaan kita dari orang lain. Padahal sikap seperti itulah yang menghalangi seseorang bisa berkembang dan tumbuh pada keadaan yang lebih baik. Cobalah bertanya, apakah kita sudah menjadi manusi ayang benar-benar dikatakan baik menurut Allah? Jika mengetahui bahwa kita masih memiliki banyak kekurangan, sebaiknya kita tidak cenderung mudah menilai kelemahan dan kesalahan orang lain. Apalagi, sebenarnya, tidak ada waktu sama sekali untuk mencari-cari kesalahan orang lain, karena kita mesti banyak menilai kelemahan dan kesalahan diri sendiri.

Waktu kita harus lebih dikhususkan untuk mencari kesalahan dan kekurangan diri. Kita mesti jujur pada diri sendiri, karena setiap melontarkan penilaian buruk ,lalu meremehkan dan mencaci orang lain, berarti memperlihatkan keadaan diri kita sebenarnya. Maka, perbaikilah diri dengan bercermin dari sikap orang lain. Yakinilah, semakin kita memperbaiki diri, maka Allah akan memberikan yang terbaik pula bagi kita.

Tumbuhkan rasa malu, karena ternyata banyak orang orang yang menyimpan kebaikan, apapun kebaikannya dan betapapun kondisi mereka. Tawadhu dan jangan sombong. Karena sebenarnya kerendahan hati justru mengunngkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati.

Simaklah apa yang dialami Al Muhallab bin Abi Shufrah, seorang komandan perang pada pemerintahan Al Hhijjaj. Suatu hari ia degan pakaian sutera berjalan kebeberapa sudut kota dengan angkuh. Secara kebetulan, ia berpaspasan dengan Mutharrif bin Abdullah, seorang ulama yang disegani. Mutharrif menegurnya, “ Hai hamba Allah, jalan yang seperti itu dimurkai Allah dan Rasul-Nya.” Al Muhallab terkejut dan mengatakan sinis, “ Apakah engkau belum kenal saya?” Mutharrif menjawab dengan tenang,” Saya sudah tahu tentang diri mu, engkau berasal dari sesuatu yang jijik dan akhirnya menjadi bangkai yang juga menjijikkan, dan engkau diantara dua keadaan itu selalu membawa kotoran.” Al Muhallab terkejut, lantas segera merubah cara jalannya.

  1. Berlatihlah Menemukan Inspirasi Baru dari Sikap orang Lain

Ini bagian dari pembelajaran kita pada sikap orang lain. Kita selayaknya bisa mendapatkan inspirasi kebaikan dari sikap dan kondisi orang lain, bagaimanapun keadaan mereka. Seluruh peristiwa dalam hidup ini sebenarnya guru yang bisa mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin saja jalan hidup yang kita lalui tidak sama dengan orang lain, tapi perilaku orang lain semestinya bisa melahirkan imbas semangat baru pada hidup kita.

Barang kali ini rahasianya bila Rasulullah saw membolehkan kita untuk memendam rasa iri terhadap dua perkara, sebagaimana hadits berikut,” Tidak boleh iri hari kecuali terhadap dua perkara. Yaitu terhadap seseorang yang dikarunikan oleh Allah harta kekayaan tapi dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran. Dan seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu memanfaatkan dan mengajarkannya pada orang lain.” (HR. Muslim)

Hadits ini mengisyaratkan secara tidak langsung bahwa kita mesti bisa memetik pelajaran dari sesuatu yang baik milik orang lain. Segala keadaan harus bisa menghasilkan sesuatu yang posotif bagi diri kita. Di sini kearifan dan kebijakan kita diuji. Apakah kita tetap bisa memelihara sikap positif dan melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan terhadap situasi yang buruk sekalipun. Apakah kita lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam dan lain sebagainya.

  1. Dekatlah kepada Allah, Agar Bisa Menangkap Hikmah

Kedekatan kepada Allah, akan banyak mempengaruhi kita dalam menilai sesuatu. Orang yang dekat dengan Allah akan lebih menggunakan kaca mata hikmah, ketimbang kaca mata tuduhan, terhadap berbagai peristiwa yang ia lihat dan alami. Ia akan lebih kokoh dan tidak tergoda dengan fenomena lahir, pujian, pamgkat, kedudukan dan semua label kehormatandari manusia. Ia juga akan terhindar dari penialaian keliru terhadap orang lain, merasa lebih baik dari orang lain, dan lebih memperhatikan kekurangan diri daripada melihat kekurangan orang lain.

Bercerminlah pada pribadi sahabat RAsulullah, Abdullah bin Mas’ud ra. Ia seseorang yang lemah fisiknya. Tidak berharta dan bukan keturunan bangsawan. Pekerjaannya tidak lebih dari seorang penggembala kambing. Tapi ia telah mengubah semua kondisi itu menjadi ke agungan dan kemuliaan. Ia sahabat Rasulullah yang paling mengerti tentang Alquran dan pernah diminta oleh rasulullah untuk membacakan beberapa ayat dalam surat An Nisa, hingga kedua mata baginda Rasul berlinang.

Ia juga dipuji para sahabat. Umar ra mengatakan, “ Abdullah bin Mas’ud adalah orang yang sangat memahami.” Pemahaman dan penguasaannya terhadap Alquran pula yang menjadikan pribadinya tidak cenderung membanggakan diri. Ia tetap mengatakan, “Jika aku mengetahui seseorang yang lebih mengetahui daripadaku tentang kitab Allah, aku pasti mendatanginya.”

Banyak pelajaran yang besar yang kita petik dari Abdullah bin Mas’ud. Pertama, kondisi lahir ternyata sama sekali tidak mencerminkan kualitas dan keistimewaan seseorang. Kedua, Abdullah bin Mas’ud tetap jernih dalam memandang kelebihan dan keistimewaan orang lain. Tentu saja, sikap itu juga pengaruh interaksinya dengan Al-Quran, hingga dia tetap bisa menangkap hikmah dari manapun datingnya.

Sebagaimana juga kisah Umar bin Abdul Aziz, yang kedatangan tamu pada suatu malam. Seperti biasa sesudah isya, Umar menulis apa yang diperlukannya, sedang tamunya berada dekat dengannya, dan melihat lampu yang sudah berkedip-kedip hamper mati. Tamu itu berkata, “Ya Amirul Mukminin, saya akan bangun memperbaiki lampu.” Namun Umar menjawab, “ Tidak manusiawi bila seseorang menggunakan tenaga tamunya.”

Berkata lagi tamunya itu,”Apakah saya bangunkan pelayan?” jawab Umar, “Tidak, sebab ia baru tidur.” Lalu Umar sendiri mengisi gas lampunya. Tamu itu bertanya, “Ya Amirul Mukminin, engkau sendiri yang membetulkan?” Jawab Umar,” Ketika saya menjadi khalifah saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”

Umar adalah pribadi yang malam-malamnya kerap diisi amal pendekatan diri kepada Allah. Itulah yang menyebabkannya tidak mudah terbuai kedudukan, pujian dan penghormatan orang. Ia tetap sebagai Umar yang mampu menilai diri dan orang lain secara arif. Itulah yang bisa kita simpulkan dari dua kalimat perkataan Umar, “Tidak manusiawi seseorang menggunakan tenaga tamunya,” dan “saya tetap Umar dan tetap menjadi Umar.”

Mushthala Hadist

Dakwatuna.com. Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm untuk membukukan hadits.

Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, namun pengumpulan hadits tersebut masih acak—tercampur antara yang shahih, dha’if, dan perkataan para sahabat.

Pada kurun kedua, Imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah. Di Makkah hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh Imam Al-Auza'i, di Kufah oleh Sufyan Ats-Tsauri, di Basrah oleh Hammad Bin Salamah.

Pada awal abad ke-3 Hijriyah, mulailah ditulis kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu Hammad. Pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah, mulai ditulis kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Adapun hadits adalah apa saja yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah). Sedangkan sanad adalah mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan. Dan pengertian matan adalah perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.

Pembagian Hadits

Dilihat dari konsekuensi hukumnya, hadits terbagi dua; Hadits Maqbul (diterima) dan hadits Mardud (ditolak). Hadits Maqbul terdiri dari Hadits Shahih dan Hadits Hasan, sedangkan Hadits Mardud (ditolak) adalah Hadits Dha’if (lemah).

Hadits Shahih: yaitu hadits yang memenuhi lima syarat berikut ini:
• Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
• Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil. Perawi yang adil adalah perawi yang Muslim, baligh, berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan.
• Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
• Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
• Tidak ada illat atau kecacatan dalam hadits.

Hadits Shahih dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

Hadits Hasan: yaitu hadits yang apabila perawi-perawinya hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada di bawah tsiqah). Shaduq berarti tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60 persen tingkat ketsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.

Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqah. Hadits Hasan dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.

Selain Hadits Shahih dan Hadits Hasan, ada juga yang disebut Hadits Hasan Shahih. Penyebutan istilah ini sering disebutkan oleh Imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai dengan dua pengertian: Imam Tirmidzi mengatakannya karena hadits tersebut memiliki dua rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia hadits hasan shahih. Jika hanya ada satu sanad, maka hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.

Hadits Muttafaqqun Alaihi adalah yang sepakat dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.

Hadits Dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

Hadits Dha’if tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits Dha’if kecuali dengan menyebutkan kedudukan hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau hadits maudhu`.

Hadits dha’if masih punya sanad kepada Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha'f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-'adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada akhlaknya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.

Yang harus dibuang jauh-jauh adalah hadits maudhu', hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah SAW.

Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, di mana sebagian membolehkan untuk fadha'ilul a'mal (keutamaan amal). Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut Imam An-Nawawi dalam Mukaddimah-nya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if dalam fadha'ilul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.

Buat kita orang-orang yang awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta menentukan derajatnya.

Tokoh - Tokoh Terkemuka Israel Dukung Palestina Merdeka

Hidayatullah.com--Sejumlah tokoh terkemuka Israel ikut dukung pengakuan Negara Palestina. Ada sekitar 20 tokoh masyarakat Israel, termasuk mantan ketua parlemen dan pemenang Nobel. Mereka menandatangani surat pernyataan dukungan.

Mantan Ketua Parlemen Israel (Knesset) Avraham Burg dan pemenang Nobel ekonomi, Daniel Kahneman termasuk yang ikut mendukung kemerdekaan Palestina.

Sekelompok tokoh terkemuka warga Israel ini telah menanda-tangani sepucuk surat yang mendesak para pemimpin Eropa agar mendukung usaha negara Palestina untuk mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Organisasi-organisasi berita Israel telah memberitakan isi surat itu hari Jumat. Surat tersebut ditanda-tangani oleh lebih dari 20 tokoh masyarakat yang terkenal di Israel, termasuk mantan Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Alon Leil dan pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, Daniel Kahneman.

Mereka menilai, proklamasi kemerdekaan Palestina adalah langkah positif dan konstruktif mengingat rasa saling mencurigai dan mengulur-ulur waktu oleh kedua pihak.

Kelompok itu juga berjanji untuk mengakui negara Palestina yang didasarkan terutama pada garis perbatasan yang ada sebelum Perang Enam Hari tahun 1967, sebuah persyaratan yang ditentang oleh Perdana Menteri Zionis-Israel Benjamin Netanyahu.

Sebelumnya pekan ini, otoritas Palestina pimpinan Mahmud Abbas berjanji untuk mengusahakan pengakuan PBB akan negara Palestina, kalau tidak ada kemajuan dalam pembicaraan perdamaian dengan Israel yang diperantarai Amerika Serikat sebelum September.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons