myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Rabu, 31 Agustus 2011

Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah



Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.

Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:

1. Mandi pada hari raya.

Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”

2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.

Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.

3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.

“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.

4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.

5. Bertakbir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.

6. Sholat ‘Ied.

Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalahfardhu ‘ain.

Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.

Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.

Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)

Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.

7. Ucapan selamat Hari Raya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.

8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.

Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:

  1. Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  2. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  3. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  4. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  6. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  7. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  8. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  9. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah:“Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).

Kamis, 25 Agustus 2011

Sedekah Itu Merupakan Pembuktian...




“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 64:16)
Salah satu pintu yang dibuka oleh Allah untuk meraih kemuliaan dan keuntungan adalah melalui sedekah. Ayat diatas memberikan penggambaran kepada kita bahwa salah satu karakter dari orang yang bertaqwa adalah gemar menafkahkan hartanya untuk kebaikan. Dalam dimensi yang lainpun Rasullulah SAW juga bersabda bahwa sesungguhnya sedekah itu merupakan bukti (HR. Muslim). Imam An Nawawi menjelaskan tetang ini, bahwa yang dimaksudkan dengan bukti disini adalah bukti kebenaran iman seseorang (Shidqu Imanihi), dalam redaksi yang lain Rasululloh pun menjelaskan, tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya sama dengan ia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)
Dalam kaitan dengan kemuliaan, Allah bahkan memuji orang-orang yang memberikan miliknya yang terbaik di jalan Alloh.
Secara aplikatif ini menjadi karakter dari para sahabat, adalah Abu Thalhah yang memberikan untuk sahabatnya makan malam yang menjadi jatah anak dan istrinya yang itupun tidaklah mencukupi untuk mereka. Untuk itu, mereka segera menidurkan anak-anaknya tanpa makan malam. Sementara saat tamunya sedang menikmati hidangan, Abu Thalhah dan isterinya berpura-pura makan dengan cara memadamkan lampunya agar tidak terlihat.
Kira-kira apa yang mereka dapatkan pembaca yang budiman...?
Allah memuji mereka pembaca yang budiman, bahkan peristiwa ini menjadi Asbab Al Nuzul dari QS. Al Hasyr : 9
Begitu tingginya kedudukan sedekah, ia merupakan pilar dari Al Islam
Dari Abu Abdurrahman –Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun atas lima hal; 1. Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, 2. menegakkan shalat, 3. menunaikan zakat, 4. haji, dan 5. puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari-Muslim)
Allah SWT benar-benar memuliakan orang yang bersedekah, dijanjikan bagi mereka begitu banyak balasan dan keutamaan, karena saking begitu banyaknya keutamaan seolah-olah seluruh kebaikan terkumpul dalam satu amalan ini.

Diantara keutamaan bersedekah antara lain :
1. Allah akan menumbuhkan harta orang-orang yang bersedekah
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2 : 261)

2. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang bersedekah
“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS 57:18)

3. Allah akan menghapus dosa orang-orang yang bersedekah
“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api” (HR. Tirmidzi, dishahikan oleh Al Albani)

4. Allah akan memberikan naungan di hari akhir kepada orang-orang yang bersedekah
Rasululloh SAW menjelaskan bahwa salah satu karakter dari 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari akhir kelak adalah orang yang memberi dengan tangan kanannya, lalu ia menyembunyikan amalnya itu hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkannya itu (HR. Bukhari)

5. Terdapat pintu syurga yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang bersedekah
“Orang yang memberikan harta dijalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu pintu syurga : Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”(HR. Bukhari-Muslim)

Dan salah satu hakikat Ramadhan hadir setiap tahunnya adalah sebagai penghibur bagi saudara-saudara kita yang hidup dalam kesulitan, dengan dibukanya kesempatan kepada kita semua untuk menyisihkan sebagian dari milik kita yang sesungguhnya merupakan hak mereka.



Lilik Budiono, Amd
GM LAZ Dana Peduli Ummat
Networking Kota Tarakan

Rabu, 24 Agustus 2011

Tanda-Tanda Istimewa Malam Lailatul Qadar


Oleh: Badrul Tamam S.Pdi


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dia-lah yang memuliakan sebagian tempat dan waktu atas sebagian yang lain. Dia-lah yang telah menurunkan al-Qur'an pada malam yang diberkahi.

Shalawat dan salam bagi manusia yang menyingsingkan lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya pada malam-malam yang agung dan penuh berkah, Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, dan para sahabatnya yang mulia.

Allah telah mengistimewakan umat Nabi Muhammad ini atas umat-umat lain dengan beberapa keistimewaan. Dan Dia telah memuliakan mereka atas selainnya dengan mengutus seorang rasul bagi mereka dan menurunkan kitab penjelas, yaituKitabullah al-'Adzim (al-Qur'an), pada malam mubarakah(diberkahi) yang lebih baik daripada malam-malam selainnya. Malam yang diistimewakan oleh Allah. Malam untuk ibadah. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah selama seribu bulan. Yaitu selama 83 tahun 4 bulan. Malam itu adalah Lailatul Qadar. Allah telah menerangkannya kepada kita dalam dua surat:

Firman Allah dalam surat Al-Qadar :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ () وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ () لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ () تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ () سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."

Allah berfirman yang lain dalam surat ad-Dukhan:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."

Sebab dinamakan Lailatul Qadar

Diterangkan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah tentang sebab dinamakannya malam Lailatul Qadar :

Pertama, dinamakan Lailatul Qadar dari kata al-Qadar, maknanya kemuliaan. Sebagaimana seseorang disebut dzu qadarin 'adziim, maknanya memiliki kemuliaan.

Kedua, ditetapkan pada malam itu urusan selama satu tahun, kemudian dicatat apa saja yang akan terjadi selama satu tahun itu pada malam tersebut. Ini termasuk kebijaksaan Allah 'Azza wa Jalla.

Ketiga, disebut malam itu dengan Lailatul Qadar karena ibadah di dalamnya memiliki kedudukan yang agung, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Barang siapa yang bangun (shalat) pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah semata, maka diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).

Tanda-tanda Lailatul Qadar

Disebutkan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.

Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar

1. Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.

2. Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.

3. Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.

4. Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.

5. Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.

Tanda-tanda yang mengikutinya

Matahari akan terbit pada pagi harinya tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)

Keutamaan Lailatul Qadar

1. Pada malam itulah Allah menurunkan al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)

2. Malam itu malam yang diberkahi, firman Allah Ta'ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi." (QS. Ad-Dukhan: 3)

3. Allah menuliskan seluruh ajal dan rizki selama satu tahun pada malam itu, firman Allah Ta'ala:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (QS. Ad-Dukhan: 4)

4. Keutamaan ibadah pada malam itu dibandingkan malam-malam yang lain, firman Allah Ta'ala:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

"Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadar: 3)

5. Banyak Malaikat turun ke bumi pada malam itu dengan membawa kebaikan, keberkahan, rahmat, dan maghfirah (ampunan), firman Allah Ta'ala:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (QS. Al-Qadar: 4)

6. Lailatul Qadar adalah malam yang terbebas dari keburukan dan kerusakan. Pada malam itu pula banyak dilaksanakan ketaatan dan perbuatan baik. Pada malam itu penuh dengan keselamatan dari adzab. Sedangkan syetan tidak bisa menggoda sebagaimana keberhasilannya pada selain malam itu, maka malam itu seluruhnya berisi keselamatan dan kesejahteraan. Firman Allah Ta'ala:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 5)

7. Di dalamnya penuh dengan ampunan terhadap dosa bagi orang yang bangun shalat dan berharap pahala dari sisi Allah’Azza wa Jalla, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "siapa yang berdiri shalat pada malam Lailatul Qadar didasari iman dan berharap pahala dari Allah, diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih).

Kapankah Lailatul Qadar Itu?

Tidak diragukan lagi, Lailatul Qadar terdapat pada bulan Ramadhan, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qadar: 1)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

"Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS. Al-Baqarah: 185)

Al-Hafidh Ibnul Hajar rahimahullah mengatakan tentang penentuan malamnya, "Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan Lailatul Qadar dengan perbedaan yang sangat banyak. Setelah kami himpun, ternyata pendapat mereka mencapai lebih dari empat puluh pendapat." Kemudian beliaurahimahullah satu persatu dari pendapat tersebut beserta dalil-dalilnya. (Lihat Fathul Baari: IV/309)

Mayoritas ulama berpendapat, Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, berdasarkan hadits 'Asiyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)

Dari sepuluh hari terakhir itu, mayoritas ulama mengerucutkan pendapatnya pada malam-malam ganjilnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)

Demikian juga banyak dari mereka berpendapat, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27 Ramadhan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat, seperti Ubay bin Ka'ab yang beliau sampai berani memastikan dan bersumpah bahwa Lailatul Qadar ada pada malam ke 27, ia berkata:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا وَأَكْثَرُ عِلْمِي هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

"Demi Allah, sunguh aku mengetahuinya dan kebanyakan pengetahuanku bahwa dia adalah malam yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam perintahkan kami untuk bangun (shalat) padanya, yaitu malam ke 27." (HR. Muslim, no. 762)

Dan dalam hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dari NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda tentang Lailatul Qadar,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

"Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh." (HR. Abu Dawud)

Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja. Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27, ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ

"Sungguh aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya. Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."

Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)

Demikian kumpulan hadits yang menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)

. . . Lailatul Qadar terdapat pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah di malam-malam tersebut. . .

syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram(Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke 21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23, maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang banyak dalam penetapannya."

Hikmah Dirahasiakannya Lailatul Qadar

Keberadaan Lailatul Qadar dirahasiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hikmah yang dikehendaki-Nya. Yaitu (boleh jadi) agar para hamba bersungguh-sungguh beribadah di setiap malam, dengan harapan agar mendapatkan Lailatul Qadar. Bagi siapa yang meyakini bahwa Lailatul Qadar ada pada malam tertentu, maka ia akan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Dan bagi siapa yang ingin memastikan dirinya mendapatkan malam tersebut, hendaknya ia mencurahkan semua waktunya untuk beribadah kepada-Nya sepanjang bulan Ramadhan sebagai bentuk syukur kepada-Nya dan membenarkan janji-Nya. Insya Allah, inilah hikmah utama dirahasiakannya Lailatul Qadar. Dan inilah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَإِنَّهَا رُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

"Sesungguhnya aku telah keluar untuk memberitahu kepada kalian (kapan Lailatul Qadar itu). Tetapi (di tengah jalan) aku bertemu dengan fulan dan fulan yang sedang bertengkar, sehingga aku terlupa kapan malam itu. Semoga ini lebih baik bagi kalian. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada (malam) kesembilan, ketujuh, dan kelima (dari sepuluh hari terakhir)." (HR. al-Bukhari)

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya untuk Nabi kita Muhammad berserta keluarga dan para sahabatnya… Amiin.

sumber : voa-islam.com

Jumat, 19 Agustus 2011

Iman Asas Puasa



“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan ke atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah :183)


PANGGILAN UNTUK MEREKA YANG BERIMAN

Allah swt memanggil pada permulaan ayat di atas : “yaa ayyuhalladziina aamanuu” (Wahai orang-orang yang beriman).

Ini bukan sebarang panggilan kerana yang memanggil adalah Allah swt, Pencipta alam semesta.

Semua makhluk bergantung kepadaNya. Tidak ada yang boleh berlepas diri dariNya. Maka siapa yang mengaku dirinya sebagai hambaNya hendaklah segera bergerak memenuhi panggilan ini.

Allah swt dalam panggilan tersebut tidak menyebutkan kriteria yang bersifat duniawi.

Dengan kata lain, Allah swt TIDAK berfirman: “yaa ayyuhal aghniyaa’ (Wahai orang-orang yang kaya), wahai orang-orang yang berkedudukan tinggi dan sebagainya, melainkan yang Allah swt panggil adalah mereka yang beriman sahaja.

Mengapa demikian?

Sebenarnya ada beberapa rahsia yang tersimpan, di antaranya ialah:

PERTAMA : Bahwa dengan menyatakan keimanannya, seseorang mempunyai kedudukan tersendiri di sisi Allah swt. Allah swt sangat bangga dengan hambaNya yang beriman. Oleh kerananya, Allah swt mengundang mereka secara khusus.

Di dalam Al-Qur’an, undangan “yaa ayyuhal ladziina aamanuu” sentiasa Allah swt ulang-ulangkan untuk menggambarkan betapa yang Allah swt anggap sebagai hambaNya hanya mereka yang beriman. Yang tidak beriman tidak termasuk di dalam kategori sebagai hambaNya.

KEDUA : Bahwa kedudukan keduniaan walaubagaimana megah sekalipun, bila tidak disertai oleh iman, Allah swt tidak bangga dengannya. Bahkan Allah swt sangat benci kepada seseorang yang setelah diberi kenikmatan dunia, ia malah berbuat maksiat kepadaNya.

Ingatlah Allah swt berfirman:

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakanNya dan diberiNya kesenangan, Maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya Maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku”. (QS Al-Fajr :15-16)

Di sini nampak bahwa ukuran berhasil atau tidaknya seseorang bukan terletak kepada kekayaan atau kemiskinannya, melainkan terletak kepada keimanannya. Oleh yang demikianlah, panggilan Allah swt pada ayat di atas adalah mereka yang beriman kerana kaya dan miskin di sisi Allah swt adalah ujian.

Apalah ertinya seseorang itu kaya jika ia tidak beriman dan mentaati Allah swt bahkan semua itu hanyalah kesia-siaan. Sebaliknya sungguh sangat mulialah seseorang sekalipun dalam kedudukan yang sangat miskin tetapi ia beriman dan mentaatiNya dan ia akan tergolong mereka yang Allah swt panggil dalam ayat di atas.

KETIGA : Bahwa untuk melaksanakan ibadah puasa syaratnya haruslah beriman terlebih dahulu. Tanpa iman, ibadah puasa seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt. Allah swt hanya mengakui ibadah puasa hambaNya yang beriman. Oleh kerana itulah, dalam banyak hadits Rasulullah saw, sentiasa menyebutkan kata “iimaanan wahtisaaban”, untuk menunjukkan bahwa ibadah yang Allah swt terima adalah berdasarkan iman dan harapan atas ridhaNya.

Marilah kita semak beberapa hadits berikut :

“Sesiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan akan ridhaNya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan :

“Sesiapa yang menegakkan solat malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan akan ridhaNya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Muslim)

Secara khusus mengenai solat pada malam Al Qadr pula, Rasulullah saw bersabda :

“Sesiapa yang menegakkan solat malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan harapan akan ridhaNya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

DENGAN IMAN PUASA RAMADHAN TERASA LAZAT

Setelah memanggil orang-orang beriman dengan “yaa ayyuhalladziina aamanuu”, Allah swt menegaskan : “kutiba ‘alaikumush shiyaam” (diwajibkan ke atasmu berpuasa).

1. Apakah hubungan puasa dengan iman?

2. Mengapa hanya orang beriman yang diwajibkan berpuasa?

3. Apakah puasa Ramadhan merupakan bukti keimanan seseorang?

PERTAMA :

Ketika seseorang beriman kepada Allah swt, seharusnya ia sedar bahwa Allah swt sentiasa bersamaNya. Di dalam dirinya menggelora hakikat keagunganNya. Setiap disebut namaNya hatinya bergetar penuh ketakutan.

Allah swt berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gementarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS Al Anfaal : 2)

Dengan keimanan, seluruh kegiatan sehariannya sentiasa dalam rangka mentaatiNya. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang ia lakukan kecuali dengan petunjukNya.

Ia menjauhi sama sekali dari apa sahaja yang disebut kemaksiatan. Baginya, kemaksiatan adalah bencana yang tidak hanya menghancurkan harga dirinya melainkan juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan di muka bumi.

Kesedaran ini membuatnya sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai langkahnya terjerumus ke dalam kemaksiatan sehingga yang “syubuhat” (samar-samar) pun ia jauhi kerana dari yang“syubuhat” akan lahir daya tarikan kepada yang haram.

Puasa adalah ibadah menahan diri dari yang halal. Dari sini nampak betapa hakikat puasa adalah sebagai benteng supaya pelakunya terhindar dari yang haram kerana kebiasaan menahan diri dari yang halal akan membangunkan lapisan-lapisan baja yang menjaganya supaya tidak terjatuh kepada perkara yang Allah swt haramkan.

Perhatikan betapa untuk menegakkan puasa, seseorang mesti mempunyai iman kerana hanya dengan iman yang jujur seseorang akan benar-benar merasakan lazatnya puasa. Tanpa kesedaran iman, puasa akan menjadi suatu bebanan. Di saat orang-orang berbahagia dengan puasa, ia malah merasa sempit hatinya dengan puasa.

KEDUA :

Ketika seseorang melakukan puasa, ia sedang berjuang menutup segala pintu yang selama ini syaitan selalu masuk darinya.

  1. Pintu nafsu makan ia tutup di mana ramai di antara manusia yang mengambil benda-benda yang haram hanya kerana nafsu makan.
  2. Pintu nafsu permusuhan juga ia tutup di mana selama ini banyak berlaku konflik saling menyakiti, saling menjatuhkan, saling menzalimi bahkan tidak jarang pula saling membunuh di antara manusia adalah kerana nafsu ini. Lidahnya ia tahan dari perbuatan yang keji. Setiap ada orang yang mengajaknya bertengkar, ia menjawab: “Maaf saya sedang berpuasa”.
  3. Pintu nafsu seks pun ia tutup di mana selama ini ramai manusia yang terjerumus ke dalam dosa-dosa kerana nafsu ini. Perhatikan betapa puasa mencerminkan hakikat perlawanan yang dahsyat seorang hamba Allah swt terhadap syaitan.

Di dalam dirinya menggelora semangat untuk tidak tunduk kepada syaitan, bilapun dan di manapun ia berada. Ia sedar bahwa syaitan adalah musuhnya.

Allah swt berfirman :

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), kerana sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Fathir : 6)

Ketika seseorang masuk ke medan pertarungan melawan syaitan, bererti ia masuk ke dalam pertempuran yang tidak akan pernah berakhir. Dalam rangka ini ia mesti mempunyai bekalan iman yang kukuh kerana jika imannya lemah ia tidak akan mampu untuk

‘istiqamah’.

Maka ketika Allah swt memanggil di awal ayat ini : “yaa ayyuhalladziina aamanuu”, itu maksudnya adalah orang-orang yang benar-benar jujur dalam imannya bukan orang-orang munafik yang pura-pura beriman kerana tidak mungkin seseorang yang tidak jujur dalam imannya boleh melaksanakan ibadah puasa dengan jujur.

Dari sini nampaklah rahsia firman Allah swt dalam hadits Qudsi:

“Semua amal anak Adam itu untuk dirinya kecuali puasa, itu untukKu dan Aku akan memberikan langsung pahalanya.” (HR Bukhari)

Perhatikan betapa puasa merupakan bukti kejujuran iman seseorang sehingga Allah swt mengagungkannya dan terlibat secara langsung untuk memberikan pahala kepada pelakunya.

KETIGA :

Puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu tiang ajaran Islam. Untuk menegakkan tiang ini secara kukuh, tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai iman atau pura-pura beriman.

Allah swt Maha Mengetahui, benar-benar tahu siapa di antara manusia yang benar-benar patut diundang untuk menegakkan tiang ini. Itulah mereka yang benar-benar beriman kepada Allah swt secara jujur dan kerana itulah, Allah swt panggil mereka dengan :

“yaa ayyuhalladziina aamanuu”.

Perhatikan bentuk panggilan ini di mana Allah swt memanggil mereka hanya dengan kualiti keimanannya, bukan yang lain-lain. Ini menunjukkan bahwa yang Allah swt inginkan dari manusia melalui puasa ini adalah bagaimana ia benar-benar beriman kepada Allah swt secara kukuh dan jujur.

Iman yang menghidupkan jiwanya sehingga ia sentiasa merasa bersama Allah swt. Bukan iman yang semata-mata diucapkan dengan lisan, diiklankan di sepanduk-sepanduk atau tayangan televisyen sementara hatinya tidak pernah menikmati lazatnya iman tersebut.

Ya Allah, kami menyahut seruanMu untuk melaksanakan ibadah puasa ini yang juga merupakan ibadah kesinambungan dari umat-umat sebelum kami. Kurniakanlah di dalam hati kami, keimanan yang mendalam serta niat hanya mengharapkan keridhaanMu sehingga kami dapat melaksanakan puasa ini semata-mata keranaMu dan mendapat balasan yang terus dariMu.

Sumber : Dakwah.info

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons