Mempersembahkan suatu persembahan
kepada Tuhan sebagai bentuk ritual peribadatan adalah keyakinan yang telah
dikenal manusia sejak dahulu bahkan telah dilaksanakan sejak generasi pertama
manusia penghuni bumi ini. Dalam Kisah Habil & Qabil yang merupakan
keturunan Nabi Adam AS dan diabadikan Al Quran menjelaskan hal itu (QS 5 : 27).
Bahkan hal itu dijadikan syariat agama oleh Allah SWT kepada beberapa kaum,
diantara kaum Nabi Idris AS, kaum Nabi Nuh AS, kaum Nabi Musa AS, bahkan kepada
yahudi & Nasrani hingga kaum Nabi Muhammad SAW. Tetapi kisah tentang
berqurban yang sangat inspiratif adalah pelaksanaan qurban oleh Nabi Ibrahim AS
dan Nabi Ismail AS.
Adalah Nabi Ibrahim AS yang
begitu lama merindukan kelahiran seorang anak yang diharapkannya dapat menjadi
penerusnya, tetapi ketika apa yang diharapkannya itu dikabulkan Allah hingga di
usia cukup dewasa untuk menjadi pendukung akan tugas – tugas kenabian beliau, dan ditengah kerinduannya untuk bercengkrama setelah
sekian lama tidak membersamai karena tugas- tugas kenabian, Allah turunkan
sebuah perintah kepadanya sebagai sebuah ujian akan ketaatan melalui mimpi – mimpi yang terus terulang.
Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar". (QS. 37 : 102)
Meskipun kemudian Allah mengganti
dengan seekor sembelihan yang lain.
Dan kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar (QS. 37 : 107)
Islam
mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa pemotongan hewan, namun
mengarahkannya sehingga selaras dengan nilai- nilai tauhid dan bebas dari unsur
penyekutuan terhadap Allah, serta selaras dengan nilai kemanusiaan. Islam
memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis
berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor
domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin
pada saat hari raya. Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari
Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk aapa sembelihan
ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim
a.s." lalu sahabat bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau
menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya:
"Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit
itu menjadi kebaikan".
Dimensi Ibadah Qurban.
1.
Dimensi Ketuhanan (habl-min-Allah)
Hal ini terkait erat dengan makna literal “Qurban”
yang berarti dekat atau mendekatkan diri, yang bermaksud bahwa seorang hamba
sejatinya harus senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah lewat apa yang
dimilikinya bahkan yang paling dicintai
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS 3 : 92)
Lebih dalam ibadah ini juga mentarbiyah manusia untuk
senantiasa melandaskan ibadahnya pada keimanan dan keikhlasan semata-mata Allah
yang menjadi orientasi, kisah Habil & Qabil menjelaskan hal itu
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS 5 : 27)
2.
Dimensi Kemanusiaan (habl-min-annas)
Ibadah qurban sesungguhnya memiliki kekuatan untuk
membangun kesadaran esensial, bahwa untuk menegakkan bangunan sosial dibutuhkan
pengorbanan dalam arti yang seluas-luasnya dari masing – masing individu elemen
masyarakat, disamping juga membentuk solidaritas hingga hal ini mampu
memarginalkan anasir – anasir negatif, seperti sifat hedonis, egois, oportunis
dsb, yang menjadi virus dari kekokohan bangunan sosial.
Akan tetapi menjadi pemahaman yang keliru jika dipahami
bahwa ibadah qurban ini semata-mata kebutuhan bagi orang – orang fakir miskin
saja. Jika dikembalikan pada dimensi ketuhanan dan makna literal qurban itu
sendiri, maka mendekatkan diri kepada Allah merupakan kebutuhan siapapun, baik
ia kaya ataupun miskin dan keuntungannya pun akan kembali kepada ahli qurban.
Dengan demikian, ibadah qurban
merupakan alat ukur akan seberapa besar ketaatan, kesetiaan, pengorbanan dan
pengabdian kita terhadap nilai-nilai ketuhanan dan terhadap nilai-nilai sosial.
Maka ibadah qurban haruslah berdampak secara maknawi terhadap pribadi dan
berdampak positif terhadap bangunan sosial.
Wallahualam...