myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tarbiyah. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Desember 2011

Toleransi Nabi SAW kepada Yahudi



Oleh : Asep Sobari
Jauh sebelum berbagai bangsa mengenal toleransi, di awal abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad saw telah memberi contoh toleransi beragama di Madinah. Termasuk terhadap kaum Yahudi. Di tengah kondisi Madinah yang cukup akomodatif, Nabi Saw menetapkan perangkat-perangkat dasar untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr. M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia (the first written constitution in the world).

Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan antar kelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara, kehidupan beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya. Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa al-ummah al-muslimah (umat muslim), isu kemajemukan juga menjadi sorotan utama Piagam Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr. Hamidullah, dari 47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut kaum Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup beragam isu, di antaranya status kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab bersama dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan.
Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2 hal. 94-96, Nabi Saw menyatakan, “wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al mu’minin (sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).” Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga negara. Salah satu yang terpenting adalah hak kebebasan beragama, “lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum (kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri).”
Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah saw pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar r.a., dikabarkan pernah masuk kedalam Midras dan “mendapati banyak sekali orang di sana.” (Jilid 2 hal. 129 dan 134).
Terkait dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu membahu mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi Saw menyatakan, “wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar).” Karena itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, “wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh).”
Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak sejak awal Rasulullah saw menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461).
Batas toleransi Nabi
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi saw menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh. Sejumlah inidividu Yahudi membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi, menghina Allah dan al-Qur’an di hadapan Abu Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 hal. 539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 hal. 4).

Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw.
Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap tegas, karena mereka orang-orang berpengaruh di masyarakat. Nabi Saw memerintahkan mereka dihukum mati. Terlebih Ka`ab bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan Madinah. (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120).
Permusuhan Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Kasus pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar Bani Qainuqa` berujung pada terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami!” (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 129). Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw pun bersikap tegas. Tantangan Bani Qainuqa’ dijawab dengan tegas. Mereka diperangi.
Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Klan terakhir Yahudi ini berkhianat dengan mendukung pasukan musuh (Ahzab) dalam perang Khandaq. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya yang sanggup berperang dieksekusi.
Itulah toleransi Nabi Muhammad saw terhadap Yahudi.

Wallahu a’lam bil-sahawab.

Kamis, 22 Desember 2011

Merindu Syurga





Tiada kebahagiaan yang paling berbunga, kecuali sebuah pertemuan dengan mereka yang kita kasihi. Setelah jarak waktu penantian dan pengembaraan di rimba dunia fana ini; akhirnya mereka berjumpa dalam pertemuan akbar di surga Adnin. Para malaikat mengembangkan sayapnya mengiringi pertemuan mereka, seraya berdendang melagukan sonata doa dan mengucapkan salam sejahtera kepada para penghuninya.

Surga Adnin tempat di mana mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari setiap pintu, seraya mengucapkan salamun ealaikum, kedamai an bagi kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan. (QS ar-Ra'du [13]: 23-24).

Dan, salah satu kunci untuk memasuki surga itu, dijelaskan pada ayat sebelumnya yaitu mereka yang memenuhi janji, yang menyambung tali silaturahim, takut dengan seburuk- buruk perhitungan, dan sabar.

Sedangkan kunci lain yang akan membuka pintu-pintu surga terletak dalam keluhuran akhlak serta rasa hormatnya yang penuh dengan ihsan (excellent) kepada kedua orang tua, utamanya ibu.

Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW, Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak diragukan lagi, yakni doa orang yang teraniaya, doa orang bepergian, dan doa orang tua bagi anaknya. (HR Al-Bukhari ). Tidak ada kebahagiaan yang paling berbinar, kecuali kita memiliki anak yang saleh, santun kepada orang tua, dan gemar mendoakan. Karena doa anak yang saleh, tidak ada penghalangnya kecuali dikabulkan Allah.

Rasulullah bersabda, Diangkat derajat seseorang setelah matinya. Dia pun bertanya, Wahai Tuhanku, mengapa engkau angkat derajatku? Allah berfirman; Anakmu memohon ampunan untukmu. (HR al-Bukhari).

Begitu dahsyatnya kekuatan doa anak yang saleh sehingga dapat mengubah kedudukan orang tuanya yang telah meninggal. Bahkan, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Ketika seseorang masuk surga ia menanyakan orang tua, istri, dan anak-anaknya. Lalu Allah berkata kepadanya, Mereka tidak mencapai derajat amalmu. Kemudian, orang itu berkata, Ya Rabbi, aku beramal bagiku dan keluargaku. Kemudian, Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke surga. (HR Thabrani).

Para orang tua beserta seluruh penghuni yang berada di bawah atap rumahnya, merasakan bahwa mereka adalah satu jamaah yang kelak akan reuni di surga. Seluruh keluarga merindukan pertemuan ulang di alam baka dan menjadi penghuni surga Adnin.

Sehingga, seseorang yang sudah berumur 40 tahun sangat dianjurkan agar senantiasa berdoa, sebagaimana doa yang difirmankan Allah: Ya Tuhanku, jadikan hamba mampu bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan serta bersyukur kepada kedua orang tuaku, dan untuk menunaikan amal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kebaikan padaku dan keturunanku. (QS al-Ahqaf [46]: 15). Semoga kita dapat berkumpul untuk reuni di surga Adn.


Ust. Toto Tasmara
Republika.co.id

Kamis, 15 Desember 2011

Amal Pembimbing Masyarakat



Islam turun ke muka bumi ini untuk menetapkan prinsip-prinsip kehidupan yang mulia dan syariat yang lurus serta kewajiban berdakwah setiap muslim untuk menegakkan syariatnya dan menjadikan Islam sebagai guru bagi semesta alam.

Namun kenyataannya agak berbeda sekarang ini di mana Islam tidak sepertimana yang diharapkan berbanding kejayaan di zaman lampau bahkan permasalahan menjadi sangat kompleks dan rumit apabila perdebatan agama (furu’iyyah) berlaku di mana-mana.

Perubahan yang sistemik itu menjadikan hukum dan kekuasaan ‘kuffar’  mengganas di muka bumi ini sehingga merusakkan tanaman Islam yang telah dibangunkan oleh para pendahulu.

Namun, kini masih ada segolongan para reformis sejati yang membawa bendera Islam dengan memperjuangkan perbaikan jiwa dan juga memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sungguh indah firman Allah swt :
“Kerana itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran : 148)

Pahala dunia mungkin berupa kemenangan-kemenangan, memperolehi harta rampasan, pujian-pujian dan lain-lain.

Para reformis tersebut menjadi pelaku utama dan :
1.   Menjadikan Kalimah ‘At-Taqwa’ sebagai pelopor dalam bergerak.
2.   Mengambil Tarbiyah Ruhiyah sebagai landasan untuk memberikan pelayanan kepada umat.
3.   Memperhatikan prinsip bahwa perubahan dalam masyarakat dengan memperbaiki hukum yang ada menuju sebuah perubahan yang lebih baik dan menyeluruh di segenap sisi kehidupan.

Adapun syarat yang mesti dipenuhi oleh para pelopor kebaikan ini adalah perlu berdiri tegak di atas asas :
1.   ‘Amal Jama’ie’. 
2.   Keikhlasan.

Sungguh indah apa yang ditulis oleh Imam Hasan Al-Banna di dalam risalahnya dengan meletakkan rukun amal setelah rukun faham dan ikhlas.

Tidak boleh dikatakan seseorang itu beramal jika tidak dibekalkan dengan kefahaman dan tidak akan diterima sebuah amal jika tidak diasaskan dengan rasa ikhlas.

Sudah terbukti sepanjang sejarah Islam, kejayaan para aktivis dakwah yang memahami al-Islam yang bersandarkan kepada keimanan dan amal.

Imam Hasan Al Banna menjadikan rukun amal itu berfasa-fasa dan masing-masing fasa mempunyai peranannya masing-masing dan juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

Dimulai dengan manhaj amal peribadi kemudian keluarga, masyarakat hingga kepada kekhalifahan Islam dan ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika menyeru kepada kaumnya.

Kemudian berpindah kepada fasa memberikan petunjuk dan jalan yang benar dengan membentuk peribadi muslim, rumah tangga Islam dan suasana masyarakat yang Islamik sehingga beliau fokus kepada fasa ini dan sangat berhati-hati dan teliti dalam memilih manhaj yang benar dan lurus untuk merubah suasana masyarakat kepada yang lebih Islamik dan ideal yang diinginkan oleh Islam itu sendiri.

Kita sebagai seorang muslim mengimani manhaj ini dan sentiasa berusaha untuk dapat memberikan bimbingan kepada umat yang dengan manhaj ini akan terbentuk aturan masyarakat di seluruh alam di mana aturan itu adalah bernama : ‘Al-Islam’.

PENGERTIAN AMAL PEMBIMBING MASYARAKAT

Secara bahasanya :
‘Amal’ didefinasikan sebagai mengerjakan sesuatu dan mempunyai tujuan. Manakala ‘Mujtama’ pula adalah kumpulan manusia dalam sebuah komuniti tertentu dan ‘Irsyad’ adalah ‘Petunjuk atau Pembimbing’.

Secara istilahnya, Amal Pembimbing Masyarakat adalah :
“Segala daya dan usaha serta kesungguhan yang dilakukan untuk menerapkan tujuansyariah di atas muka bumi ini.”

‘Al-Amal’ di sini yang dimaksudkan adalah amal kebaikan sebagaimana dalam Al-Qur’an yang termaktub di dalamnya ibadah, muamalah atau amal lainnya.

Allah swt tidak menginginkan sesuatu amal itu hanya  sebatas amal kebaikan, namun yang perlu dipersembahkan adalah amal yang terbaik.

Firman Allah swt :
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk : 2)

Imam Hasan Al Banna menulis dalam majalah Al-Ikhwan Al Muslimun pada tahun 1352 H :
“Wahai para aktivis! Sesungguhnya saat ini umat sedang menunggu kamu, hiasilah dirimu dengan kebaikan, umat memerlukan ajaran Islam dari rijal dakwah seperti kamu……”.

Islam tidak hanya dimanifestasikan dalam keperibadian seorang muslim semata-mata tetapi nilai-nilai Islam juga dilihat dari keadaan sosial masyarakatnya. Jika keadaan masyarakatnya baik, maka secara automatiknya baik pulalah masyarakat yang ada di dalamnya.

Oleh kerana itu Al-Quran sentiasa memakai kalimah jama’ (yâ ayyuhal ladzina âmanu) dan bukan memakai kalimat (yâ ayyuhal mu’min) sehingga bebanan dakwah yang kita pikul memerlukan :
1.   Amal jama’ie.
2.   Kesabaran.
3.   Ketenangan.
4.   Kekuatan.

untuk dapat membawa risalah yang mulia ini.
Begitu juga dalam ibadah dan muamalah di mana semuanya tercermin di dalam suasana  kemasyarakatannya.
Setiap pendakwah pasti akan di uji dalam kesehariannya, semakin dia laju dalam melakukan perubahan di dalam masyarakat, maka tentangan itu akan semakin nyata dan terlihat.

Ujian dan tentangan itu boleh datang dalam bermacam-macam cara dimulai dari :
1.   Diasingkan.
2.   Diusir dari negaranya.
3.   Dicampakkan ke dalam penjara sehingga sampai kepada ancaman hukuman mati.

Oleh kerana itu Al-Islam telah memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang hubungan antara peribadi seorang pendakwah dengan masyarakat dan keduanya saling mempengaruhi.

Jika peribadi seorang  muslim itu baik, maka keadaan masyarakatnya akan baik pula dan apabila keadaaan masyarakatnya sudah baik, maka keadaan itulah yang juga akan membantu dirinya untuk sentiasa iltizam memegang ajaran Islam.

Ini seperti yang berlaku di zaman Rasulullah saw ketika berhijrah ke Madinah, maka perancangan besar Rasulullah saw pada waktu itu adalah ingin :
1.   Mewujudkan masyarakat yang memegang prinsip-prinsip Aqidah Islamiyah.
2.   Menegakkan ajarannya.
3.   Sentiasa mensyi’arkan syariat Allah swt.

Ini seperti  yang dinukilkan oleh Allah swt di dalam Al Quran :
“Wahai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujuraat : 13)

Melakukan aktiviti dan beramal untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat adalah hukumnya wajib syar’ie kerana sebab-sebab berikut :

PERTAMA : MENUNAIKAN KEWAJIBAN KITA SEBAGAI SEORANG MUKMIN KEPADA ALLAH SWT UNTUK MENJADIKAN KHALIFAH DI DUNIA DAN MELAKUKAN KEBAIKAN.

Firman Allah swt :
“(Iaitu) mereka yang beriman(1) kepada yang ghaib(2), yang mendirikan solat(3), dan menafkahkan sebahagian rezeki(4) yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS Al Baqarah : 3)

(1) – Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

(2) – Yang ghaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada yang ghaib iaitu beri’tiqad adanya sesuatu yang ‘maujud’ yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, kerana ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.

(3) - Sholat menurut bahasa Arab : doa manakala menurut istilah syara’ ialah ibadah yang sudah dikenali, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan solat ialah menunaikannya dengan teratur dengan melengkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, samada yang lahir ataupun yang batin seperti khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.

(4)  Rezeki: segala yang dapat diambil manfaatnya. Menafkahkan sebahagian rezeki ialah memberikan sebahagian dari harta yang telah dikurniakan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyariatkan oleh agama memberinya seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.

Sesungguhnya kaum muslimin dianjurkan oleh Allah swt untuk melakukan kebaikan di muka bumi ini walauapapun keadaan yang menimpa kita ketika ini seperti firman Allah swt :
“Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)

Sesungguhnya manusia mempunyai keperluan yang asasi sehingga kita sebagai pendakwah mempunyai kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan, iaitu menegakkan Daulah Islamiyah dan melakukan perbaikan di dalam lingkungan kita.

Di antara kewajiban itu adalah memberi makan para fakir miskin, merawat orang-orang yang sakit, mengajar manusia dan membenteras kebodohan, memberikan petunjuk dan menyebarkan kebaikan dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Oleh kerana itu kita sebagai pendakwah mempunyai kewajiban untuk sentiasa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan hal ini menjadi asas untuk kejayaan dakwah.

Firman Allah swt :
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS Al Maaidah : 2)

KEDUA : MENUNAIKAN KEWAJIBAN KITA SEBAGAI SEORANG AKTIVIS DAKWAH UNTUK MELAKUKAN AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNGKAR

Islam tidaklah cukup untuk melakukan perbaikan kepada manusia untuk dirinya sahaja, namun juga untuk orang lain bahkan kepada setiap muslim, samada laki-laki atau perempuan.

Firman Allah swt :
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan solat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah : 71)

Syiar amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih diutamakan daripada solat dan zakat dan juga dalam masalah keimanan, Al-Quran mendahulukan amar ma’ruf dan nahi mungkar seperti firman Allah swt berikut :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran : 110)

Amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan sifatnya lebih khusus serta mempunyai makna yang lebih besar dari memberikan nasihat dan tazkirah di mana setiap muslim diberikan kemampuan untuk menasihati dan memberi peringatan dan untuk mencegah kemungkaran.

KETIGA : DAKWAH KEPADA ALLAH SWT

Sesungguhnya risalah dakwah untuk menyeru kepada agama Islam adalah beban yang dipikul oleh kita secara langsung dari Allah swt :

Firman Allah swt :
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf : 108)  

Ayat di atas adalah merupakan kewajiban kita untuk menyampaikan Islam kepada individu ataupun masyarakat.

Kewajiban ini terkandung dalam empat perkara seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat berikut :
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al Baqarah : 151)

KEEMPAT : KEWAJIBAN MASYARAKAT UNTUK MENEGAKKAN SYARIAH ISLAMIYAH

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkara-perkara yang berkaitan dengan halal-haram, hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara peribadi dan masyarakat tentang syariat Islam ketika ini sedang mengalami kemunduran dan tidak akan pernah berlaku perubahan di dalam masyarakat kecuali para pemegang amanah dakwah (para murabbi, qiyadah, pendakwah dan pemikir Islam) sentiasa ‘muraqabatullah’ dan mempunyai semangat untuk menegakkan syariat Allah.

KELIMA : ORANG-ORANG MUKMIN YANG SENTIASA MENEPATI JANJI KETIKA BERBAIAH KEPADA ALLAH

Menunaikan baiah untuk menegakkan syariat Allah adalah kewajiban bagi setiap mukmin.
Imam Hasan Al-Banna menempatkan rukun amal ke dalam salah satu rukun dalam rukun sepuluh.

Oleh yang demikian, sesungguhnya melakukan aktiviti dan amal dalam masyarakat adalah sebuah bentuk aktiviti tarbawi dan hal ini adalah salah satu bentuk strategi dalam tahap untuk menegakkan‘Khilafah Islamiyah’ di atas manhaj nabawi dan ‘Ustaziyatul Alam’.
”Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS Al Hajj : 78)

Ya Allah, jadikanlah kami golongan yang beramal memberi pencerahan kepada umat di samping membimbing mereka ke jalanMu yang lurus. Kekalkan kami di atas semangat amal jamai’e yang disulami keikhlasan kepadaMu. Kurniakanlah kepada kami kekuatan, ketenangan dan kesabaran sehingga kami mampu menarik kembali masyarakat untuk menyahut seruanMu serta berjihad di jalanMu hingga akhir hayat kami.

Ameen Ya Rabbal Alameen

Wan Ahmad Sanadi (www.dakwah.info)

Kamis, 01 Desember 2011

Kewajiban Melaksanakan & Mentaati Syura



Ikhwah wa akhawat fiLLAAH hafizhakumuLLAAH, tidak semua masalah itu harus ada ashalah-nya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah & mawaqif para ulama As-Salafus Shalih, dan inilah perbedaan kita dengan kelompok zhahiriyyah- judud (neo-zhahiriyyah) yang dalam berbagai masalah selalu bertanya: Siapa pendahulu antum dalam masalah ini?
Oleh sebab itu maka para ulama salaf yang lurus membagi permasalahan ke dalam Al-Ushul & Al-Furu’, ada hal – hal yang sebagian besar kandungannya adalah masalah ushul seperti dalam aqidah & ibadah (sekalipun ada juga urusan furu’ dalam aqidah & ibadah), sementara ada hal – hal yang sebagian besarnya adalah masalah furu’ seperti dalam mu’amalah (sekalipun ada hal – hal yang bersifat ushul dalam masalah mu’amalah).[ 1]
Dalam berbagai masalah furu’ mu’amalah, siyasah, iqtishadiyyah, inilah berbagai kreatifitas (ibtida’) merupakan hal yang dibenarkan, didukung, bahkan dalam beberapa keadaan diwajibkan oleh syariat. Para fuqaha menamakan bab ini dengan nama Al-Ijtihad, dimana di dalamnya ada yang dinamakan qiyas (reasoning by analogy), ishtishhab (preference) dan mashalih al-mursalah (utility). Lihatlah kreatifitas Yusuf dalam inovasi menghadapi kelaparan Mesir, Dzulqarnain dalam menghadapi serangan makhluk Ya’juj wa Ma’juj, Salman Al-Farisi saat membuat parit (Khandaq), dll.[2]
Maka dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang bahwa Nizham Syura’ berdasarkan pendapat yang rajih adalah merupakan sebuah kewajiban syariah, dan oleh karenanya menetapi hal yang sudah menjadi keputusan syura’ hukumnya adalah mengikat, berdasarkan kaidah ushul-fiqh: Maa laa yatimmul waajib illa bihii fahuwa waajib. Hal ini dikarenakan kita saat ini bukan lagi sebuah harakah dakwah biasa, melainkan sudah menjadi bagian dari Ulil Amri (pemerintah) yang legal & sah, maka berlakulah sebagian hukum Ulil Amri berdasarkan tingkat syaitharah (keterlibatan) dalam hukumah (pemerintahan) tersebut.
DEFINISI SYURA’ (تَعْرِيْفُ الشُّوْرَى):
1. Secara Bahasa (لُغَةً) asal katanya, شَارَ- يَشُوْرُ- شَوْرًا- شِيَارًا- شِيَارَةً – مَشَارَ- مَشَارَةً yang maknanya:
a. Mengeluarkan Saripatinya, seperti dalam kalimat: شَرَعَ العَسْلَ يَشْرُهُ شَوْرًا= يَدَعَ أَنْ يَخْرَجَ
b. Menguji, seperti dalam kalimat: شُرْتُ الدَّابَّةَ وَشَوَّرْتُهَا
2. Secara Definisi (إِصْطِلاَحًا):
a. Mengeluarkan pendapat (mencari pemecahan) dari orang yang memiliki pengetahuan/ pengalaman tentang masalah tersebut.
b. Memahami permasalahan melalui pengujian dari berbagai aspek/sudut pandang dengan melalui pertolongan orang lain.

SYURA’ DLM AL-QUR’AN (اَلشُّوْرَى فِى اْلقُرْآنِ):
1. Dalam surat Al-Baqarah:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
” …apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan diantara keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya…”[3]
2. Dalam surat Ali-Imran:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“…karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…”[4]
3. Dalam surat Asy-Sura’:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”[5]
SYURA’ DLM AS-SUNNAH (اَلشُّوْرَى فِى اْلسُّنَّةِ):
1. Hadits Al-Miswar & Mirwan ra sebelum peristiwa Hudhaibiyyah:
“… maka nabi SAW bersabda: Berikan pendapat kalian wahai manusia…”[ 6]
2. Hadits Anas ra:
“… maka sabda nabi SAW: Maka ALLAH SWT mewahyukan & memerintahkan 50 kali shalat setiap harinya… sampai kemudian beliau SAW bertemu Musa as… maka Musa berkata: Wahai Muhammad, ummatmu tidak akan sanggup, maka kembalilah dan mintalah keringanan.. . maka nabi SAW melirik pd Jibril seakan-akan meminta pendapatnya, maka Jibril memberi isyarat: Silakan saja, jika engkau mau…”[7]
3. Hadits Aisyah ra saat peristiwa Haditsul ‘Ifki:
“…maka nabi SAW memanggil Ali bin Abi Thalib & Usamah bin Zaid ra untuk meminta saran tentang keluarganya. ..”[8]
SYURA’ DLM AS-SIRAH (اَلشُّوْرَى فِى اْلسِّيْرَةِ):
1. Saat Perang Badr:
Dilakukan majlis syura’ dalam penentuan penyusunan pasukan & saat berangkatnya pasukan kaum muslimin.[9]
2. Saat Perang Uhud:
Dilakukan majlis syura’ mengenai apakah akan keluar menyongsong musuh ke luar kota Madinah atau cukup menunggu di dalam kota saja.[10]
3. Saat Perang Khandaq & Peristiwa Hudhaibiyyah. [11]
ATSAR SALAFUS-SHALIH (اَلشُّوْرَى فِى اْلآثاَرِ):
1. Bersabda Nabi SAW kepada Abubakar & Umar ra: “Seandainya kalian berdua sepakat atas suatu masalah, maka aku tidak akan mengingkarinya selamanya.”[ 12]
2. Berkata Hukaim bin ‘Arab: Aku tidak pernah melakukan suatu perbuatanpun sebelum meminta pendapat pada seseorang.[13]
3. Berkata Imam Bukhari: Para ahli Qur’an berkata bahwa orang yang paling banyak bermusyawarah adalah Umar, baik kepada yang lebih tua maupun pada yang lebih muda.[14]
URGENSI SYURA’ (أَهَمِيَّةُ الشُّوْرَى):
1. Dinamakannya salah satu surat dalam Al-Qur’an dengan nama surat Asy-Syura’. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sifat ini bagi kaum muslimin, sehingga ia dijadikan sebagai penamaan atas surat tersebut.
2. Disandingkannya syura’ dengan perintah shalat & zakat[15]. Hal ini menunjukkan betapa penting & mulianya syura’, sehingga ia disebutkan bersama 2 kewajiban Islam yang paling utama (shalat & zakat).
3. Hadits-hadits berkenaan dengan masalah ini amatlah banyak, dan ini menjadi penjelasan kayfiyyah (mekanisme) & tathbiqiyyah (aplikasi) dari syura’ tersebut.
4. Demikian pula aplikasinya dimasa salafus-shalih juga demikian banyak, menunjukkan ihtimam (perhatian) mereka atas pentingnya & wajibnya masalah ini.
HUKUM SYURA’(حُكْمُ الشُّوْرَى):
1. Sunnah (أَلنَّدْبُ):
a. Dinukil pendapat Imam Asy-Syafi’I mengenai masalah ini, beliau berkata: “Sesungguhnya perintah dlm ayat ‘dan bermusyawarhlan kalian dalam urusan itu’ menunjukkan hukumnya sunnah.”[16]
b. Dinukil dari Imam Al-Baihaqi tentang sunnahnya bermusyawarah. [17]
2. Wajib (أَلْوُجُوْبُ):
a. Dari Ibnu Khariz Mindad berkata: “Wajib bagi setiap penguasa untuk bermusyawarah dengan para ulama pada hal-hal yang mereka tidak ketahui dan dalam masalah yang sulit.”[18]
b. Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya ALLAH SWT memerintahkan untuk menyatukan hati para sahabatnya dan agar diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan agar mereka mau mengeluarkan pendapatnya dalam masalah yang tidak diturunkan wahyu tentangnya, seperti dalam masalah peperangan dan masalah-masalah cabang dan yang selainnya.”[ 19]
c. Imam Al-Qurthubi bahkan menyatakan: “Jika penguasa tidak mau bermusyawarah maka wajib diturunkan, hal ini juga dinukil dari Ibnu ‘Athiyyah, ia berkata: Syura’ adalah kaidah syar’iyyah dan kewajiban hukum ALLAH, maka jika penguasa tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu maka memisahkan diri dari penguasa tersebut hukumnya wajib.”[20]
ETIKA DALAM SYURA’ (مِنْ آدَابِ الشُّوْرَى):
1. Syura’ harus dibarengi keikhlasan, kasih-sayang, kelembutan, sikap mudah memaafkan.[21]
2. Rendah hati & tidak mengkritik pendapat qiyadah sebelum meminta penjelasan rinci.[22]
3. Tidak menyalahkan pendapat orang lain (karena semua pendapat merupakan ijtihad), melainkan cukup mengemukakan pendapatnya disertai hujjah ataupun pengalaman.[ 23]
4. Mengikuti & mentaati hasil syura’ yang telah memenuhi syarat sebuah syura’[24].
MANFAAT SYURA’ (فَوَاإِدُالشُّوْرَى):
Diceritakan dari Ali ra menyatakan ada 7 keutamaan syura’:[25]
1. Lebih mendekati kebenaran (إِسْتِنْبَاطُ الصَّوَابِ)
2. Menggali ide-ide cemerlang (وَاكْتِسَابُ الرَّأْيِ)
3. Terhindar dari kesalahan (وَالتَّحَسُّنُ مِنَ السَّقْطَةِ)
4. Terjaga dari celaan (وَ حِرْزٌ مِنَ اْلمُلاَمَةِ)
5. Selamat dari penyesalan (وَ نَجَاةُ مِنَ النَّدَامَةِ)
6. Persatuan diantara hati (وَ أُلْفَةُ اْلقُلُوْبِ)
7. Mengikuti atsar salafus-shalih (وَالتِّبَاعُ اْلأَثَرِ)
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Oleh : Ust. Nabil Al – Musawa

Kamis, 17 November 2011

Kemenangan Dakwah Tidak Diukur dari Hasil




Oleh: Abu Maryam

” الأجر يقع بمجرد الدعوة ولا يتوقف على الاستجابة “
“Pahala didapat karena melaksanakan dakwah, bukan tergantung kepada penerimaannya”
Kaidah ini meluruskan pemahaman yang sering disalahartikan oleh banyak orang, bahwa pahala haruslah berbanding lurus dengan hasil yang didapat secara zahir, sehingga penilaiannya dapat dihitung secara matematis seperti umumnya pekerjaan duniawi. Apabila cara pandang seperti ini yang dijadikan acuan, maka para nabi bisa dikatagorikan gagal dalam mengembankan amanah dakwah, karena dakwah mereka hanya menghasilkan pengikut yang jumlahnya sedikit.
Kita bisa mengambil contoh kisah Nuh As. yang mendakwahi kaumnya siang dan malam hingga memakan waktu beratus-ratus tahun lamanya. Allah Swt. berfirman dalam Al Quran: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al Ankabut: 14)
Inti dari ayat ini sebagaimana yang termaktub dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa nabi Nuh As. mendakwahi kaumnya untuk beriman kepada Allah Swt. selama seribu kurang lima puluh tahun (950 tahun) lamanya, dan dalam kurun waktu itu, nabi Nuh As. hanya mendapatkan sedikit sekali pengikut, dan itu termaktub di dalam Al Quran:
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Huud: 40)
Perhatikan akhir dari ayat di atas secara seksama, bagaimana Allah menjelaskan, “dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit” (QS. Huud: 40), kalau kemudian takaran kesuksesan dakwah diukur dari kuantitas hasil, maka pastilah Nabi Nuh telah gagal mengemban misinya, namun pada hakekatnya tidaklah demikian, karena para Nabi dan Rasul merupakan hamba pilihan yang mendapatkan tempat mulia di sisi Allah Swt.
Jumlah pengikut yang sedikit juga didapat oleh para nabi lainnya. Ketika pada hari kiamat nanti, para Nabi dan Rasul dikumpulkan dan mereka datang dengan umatnya masing-masing, dari mereka ada yang membawa satu, dua, tiga, bahkan ada yang sama sekali tidak membawa pengikut seorangpun.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis. Imam Tirmidzi mentakhrij dari jalur Ibnu Abbas Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberapa Nabi yang bersama mereka pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun.”
Oleh karena itulah Allah Swt. kemudian mengarahkan kepada Rasulullah Saw. agar setelah berdakwah secara optimal, janganlah sekali-kali menakar kesuksesannya melalui jumlah yang didapat. Allah Swt. sendiri telah berfirman: “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). (QS.Asyu’araa’ :48)
Dan dalam ayat lainnya, Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An nahl :35)
Dan dalam ayat: “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (An nur: 54)
Adapun terkait dengan hal hidayah, sesungguhnya itu semua adalah urusan Allah untuk memberikannya.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al Qashash: 56)
Oleh karenanya, barang siapa yang memahami kaidah ini secara baik, maka ia akan berdakwah tanpa beban, tidak merasa kecewa ataupun stress hanya dikarenakan dakwah yang siang malam ia lakukan berakhir dengan penolakan dan jumlah pengikut yang sedikit.
Allah Swt. melalui firman-firman-Nya kerap menghibur Rasulullah Saw. dalam hal ini, karena tidaklah Allah memberi sebuah tanggungjawab, melainkan sesuai dengan kadar kemampuan yang telah Allah berikan kepada beliau. Allah Swt. berfirman:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya (QS. Al Baqarah: 272)
Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (QS. Faathir: 8)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl : 127)
Ayat-ayat di atas menjadi hiburan tersendiri bagi Rasulullah Saw., menghilangkan kesedihannya selama ini, dikarenakan kesungguhan beliau dalam berdakwah untuk menuntun kaumnya beriman kepada Allah ditanggapi dengan sikap “buta dan tuli.”
Para da’i pada hakekatnya adalah mereka yang memiliki hati-hati yang lembut, penuh cinta, perasa sehingga itu semua menjadi tenaga bagi mereka dalam menunaikan dakwah. Ia merasa sedih ketika melihat hamba Allah yang lebih memilih berada dalam kesesatannya, mengabaikan ajakan kebaikan yang selama ini ia serukan. Kesedihan seperti ini pulalah yang dirasakan oleh Rasulullah Saw. ketika melihat kaumnya, maka Allah Swt. kemudian berfirman:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). (QS. Al Kahfi: 6)
Dengan kata lain, ayat ini menanyakan kepada nabi Muhammad Saw., apakah dengan kehancuran kaum yang tidak mau diajak beriman itu, telah membuatnya menjadi putus asa dan merasa kasihan karena pengingkaran mereka terhadap Al Quran?
Imam Qatadah, sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir menjelaskan ayat ini:“Seolah-olah engkau ingin bunuh diri sebagai ekspresi kemarahan dan kesedihan terhadap perilaku mereka.” Sedangkan Mujahid mengatakan, sebuah kegelisahan, dan artinya tak jauh beda yakni jangan bersedih atas mereka, namun teruslah sampaikan risalah Allah ini, barang siapa yang mendapatkan hidayah maka itu untuk dirinya, dan barang siapa yang sesat sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri.
Dengan demikian, sesungguhnya Allah pun telah mencabut dosa bagi para da'i apabila orang yang mereka dakwahi tidak mendapat petunjuk dan merespon dakwah yang mereka lakukan, tentunya setelah mereka berusaha dengan penuh optimal, hal itu dikarenakan Allah tidak akan memberikan beban kepada seorang hamba melainkan sesuai dengan batas kemampuan yang telah Ia berikan.
Kaidah ini juga menjadi obat bagi mereka yang tergesa-gesa memetik hasil dari dakwah yang selama ini mereka kerjakan. Yaitu mereka yang menunggu hasil yang nampak secara kasat mata duniawi, dan kemudian menjadikannya syarat dan takaran pilihan, antara melanjutkan perjuangan di jalan dakwah ini atau tidak. Cara pandang seperti ini sebenarnya cara pandang yang salah, sehingga bertolak belakang dengan kaidah dakwah yang diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Al Quran telah menekankan, bahwa tidak ada kemestian seiringnya antara dakwah yang dijalankan dengan respon yang di dapat (Istijabah). Seorang dai, bisa saja telah berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan dalam berdakwah, namun sang mad'u tetap pula dengan sikap kerasnya, menolak segala bentuk ajakan kebaikan kepada dirinya. Namun demikian, pada fase seperti inilah sebenarnya akhir dari segalanya itu ditentukan. Tahapan-tahapannya dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.(QS. Yusuf: 110)
Fase pertama adalah pada masa dakwah itu dirasa tidak mempunyai harapan lagi untuk mengarahkan mereka kepada keimanan, sehingga mereka merasa telah didustai, maka berakhirlah fase dakwah yang kemudian ditutup dengan pertolongan dari Allah Swt. Ibnu Katsir dalam tafsirnya kemudian menjelaskan, bahwa pertolongan dari Allah akan diturunkan kepada para Rasul-Nya ketika mereka berada dalam kondisi genting dan dalam masa pengharapan akan hadirnya kemenangan, dan itu terjadi di masa yang sangat kritis. Sebagaimana diterangkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah : 214)
Wallahu a’lam bishowab
Al-Intima.com

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons