myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Minggu, 15 Mei 2011

Puasa Itu Memang Untuk Orang Yang Beriman

 “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa“. (Al-Baqarah: 183)
Ramadhan adalah ” الشهر كله “, bulan segala kebaikan: bulan ampunan, bulan tarbiyah (pembinaan), bulan dzikir dan doa, bulan Al-Qur’an, bulan kesabaran, bulan dakwah dan jihad. Masih banyak lagi makna-makna lain bulan Ramadhan yang memberikan tambahan kebaikan dan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan dunia dan akhirat kaum beriman.
Seluruh kebaikan dan keutamaan itu, dalam bahasa Rasulullah, diistilahkan dengan ‘syahrun mubarak‘. Ini seperti yang tersebut dalam sebuah haditsnya, “Akan datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan mubarak. Allah mewajibkan di dalamnya berpuasa. Pada bulan itu dibukakan untuk kalian pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu, serta pada salah satu malamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Barangsiapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikan di bulan itu, maka ia telah terhalang selamanya.” (Ahmad dan Nasa’i)
Mubarak dalam konteks Ramadhan artinya ‘ziyadatul khairat‘, bertambahnya pahala yang dijanjikan oleh Allah bagi para pemburu kebaikan dan semakin sempitnya ruang dan peluang dosa dan kemaksiatan di sepanjang bulan tersebut. Sungguh satu kesempatan yang tiada duanya dalam setahun perjalanan kehidupan manusia.
Ayat di atas yang mengawali pembicaraan tentang puasa Ramadhan jika dicermati secara redaksional mengisyaratkan beberapa hal, di antaranya:  
pertama, hanya ayat puasa yang diawali dengan seruan ‘Hai orang-orang yang beriman’. Sungguh bukti kedekatan dan sentuhan Allah terhadap hambaNya yang beriman dengan mewajibkan mereka berpuasa, tentu tidak lain adalah untuk meningkatkan derajat mereka menuju pribadi yang bertakwa ‘La’allakum tattaqun‘.
Ibnu Mas’ud ra merumuskan sebuah kaidah dalam memahami ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan ‘Hai orang-orang yang beriman’, “Jika kalian mendengar atau membaca ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan ‘hai orang-orang yang beriman‘, maka perhatikanlah dengan seksama; karena setelah seruan itu tidak lain adalah sebuah kebaikan yang Allah perintahkan, atau sebuah keburukan yang Allah larang.” Keduanya, perintah dan larangan, diperuntukkan untuk kebaikan orang-orang yang beriman. Memang hanya orang yang beriman yang mampu berpuasa dengan baik dan benar.
Kedua, bentuk perintah puasa dalam ayat di atas merupakan bentuk perintah tidak langsung dengan redaksi yang pasif: ‘telah diwajibkan atas kalian berpuasa‘. Berbeda dengan perintah ibadah yang lainnya yang menggunakan perintah langsung, misalnya shalat dan zakat: ‘Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat‘. Demikian juga haji: ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah kalian karena Allah‘. Redaksi sedemikian ini memang untuk menguji sensitifitas orang-orang yang beriman bahwa bentuk perintah apapun dan dengan redaksi bagaimanapun pada prinsipnya merupakan sebuah perintah yang harus dijalankan dengan penuh rasa ‘iman‘ tanpa ada bantahan sedikitpun, kecuali pada tataran teknis aplikasinya.
Ketiga, motivasi utama dalam menjalankan perintah beribadah dari Allah sesungguhnya adalah atas dasar iman -lihat yang kalimat ‘Hai orang-orang yang beriman‘– bukan karena besar dan banyaknya pahala yang disediakan. Sebab, pahala itu rahasia dan hak prerogatif Allah yang tentunya sesuai dengan tingkat kesukaran dan kepayahan ibadah tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Pahala itu ditentukan oleh tingkat kesukaran dan kepayahan seseorang menjalankan ibadah tersebut.”
Dalam konteks ini, hadits yang seharusnya memotivasi orang yang beriman dalam berpuasa yang paling tinggi adalah karena balasan ampunan ‘maghfirah‘ yang disediakan oleh Allah swt. Bukan balasan yang sifatnya rinci seperti yang terjadi pada hadits-hadits lemah atau palsu seputar puasa, karena tidak ada yang lebih tinggi dari ampunan Allah baik dalam konteks shiyam (puasa) maupun qiyam (shalat malam) di bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda tentang shiyam, “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka sungguh ia telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. (Muttafaqun Alaih). Dengan redaksi yang sama, Rasulullah bersabda juga tentang qiyam di bulan Ramadhan, “Barangsiapa yang shalat malam (qiyam) di bulan Ramadhan karena iman dan semata mengharapkan ridha Allah, maka sungguh ia telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (Muttafaqun Alaih). Demikian juga doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah di bulan puasa adalah “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai maaf, maka maafkanlah aku.” Ampunan Allahlah yang menjadi kunci dan syarat utama seseorang dimasukkan ke dalam surga.
Yang juga menarik untuk ditadabburi adalah ibadah puasa merupakan ibadah kolektif para umat terdahulu sebelum Islam; ‘sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian‘. Hal ini menunjukkan bahwa secara historis, puasa merupakan sarana peningkatan kualitas iman seseorang di hadapan Allah yang telah berlangsung sekian lama dalam seluruh ajaran agama samawi-Nya. Puasalah yang telah mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan sisi kebaikan umat terdahulu yang kemudian dikekalkan syariat ini bagi umat akhir zaman. Prof. Mutawalli Sya’rawi menyimpulkan bahwa syariat puasa telah lama menjadi ‘rukun ta’abbudi‘ pondasi penghambaan kepada Allah dan merupakan instrumen utama dalam pembinaan umat terdahulu. Dalam bahasa Rasulullah saw. seperti termaktub dalam haditsnya, “Puasa adalah benteng. Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa pada hari tersebut, maka janganlah ia berkata kotor atau berbuat jahat. Jika ada seseorang yang mencaci atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan (dengan sadar): ‘Aku sedang berpuasa’.” (Bukhari Muslim)
Ungkapan ‘agar kalian menjadi orang yang bertakwa‘ pada petikan terakhir ayat pertama dari ayat puasa merupakan harapan sekaligus jaminan Allah bagi ‘orang-orang yang beriman‘ dalam seluruh aspek dan dimensinya secara totalitas. Sebab, mereka akan beralih meningkat menuju level berikutnya, yaitu pribadi yang muttaqin yang tiada balasan lain bagi mereka melainkan surga Allah tanpa ‘syarat‘ karena mereka telah berhasil melalui ujian-ujian perintah dan larangan ketika mereka berada pada level mukmin. Allah swt. berfirman tentang orang-orang yang bertakwa, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di dalam surga dan kenikmatan.” (Ath-Thur: 17). “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di taman-taman surga dan di mata air-mata air.” (Adz-Dzariyat: 15). “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di tempat yang aman, yaitu di dalam taman-taman dan mata air-mata air.” (Ad-Dukhan: 51-52)
Itulah hakikat kewajiban puasa yang tersebut pada ayat pertama dari ayatush shiyam: perintah puasa adalah ditujukan untuk orang yang beriman. Berpuasa hanya akan mampu dijalankan dengan baik dan benar oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Motivasi menjalankan amaliah Ramadhan juga karena iman. Orang-orang beriman yang sukses akan diangkat oleh Allah menuju derajat yang paling tinggi di hadapan-Nya, yaitu muttaqin. Semoga kita termasuk yang akan mendapatkan predikat muttaqin setelah sukses menjalankan ibadah Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisaban.

Dr.Attabiq Lutfi, MA

Dakwatuna

Israel Tahan Dana Pajak, Palestina Tak Mampu Bayar Gaji Pegawai


KNRP - Pemerintah Otonomi Palestina mengatakan pemerintah tak bisa membayar gaji pada Mei ini untuk pertama kali sejak 2007, akibat keputusan Israel untuk menghentikan penyerahan dana pajak yang dikumpulkannya atas nama Palestina.

Perdana Menteri Salam Fayyad mengatakan keputusan Israel itu telah membuat pemerintah yang berpusat di Ramallah, Tepi Barat, berada dalam posisi keuangan yang sangat sulit.

Fayyad mengatakan Pemerintah Otonomi telah membayar gaji untuk 150.000 pegawainya tepat waktu pada tanggal 5 setiap bulan sejak pertengahan 2007.

"Kami sekarang memasuki tanggal 9 dan kami belum bisa memenuhi kewajiban ini," katanya.
Pemerintah Israel, yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, memutuskan pada 1 Mei lalu untuk menghentikan penyerahan dana pajak dan bea kepada Palestina. Dana pajak itu merupakan 70% penghasilan Palestina.

Pemerintah Yahudi takut uang itu akan mengalir kepada kelompok Hamas setelah adanya kesepakatan persatuan Palestina antara Hamas dan Fatah.

Jejak - Jejak NII (2)

 Dulu Berjasa, Sekarang Diperalat Intelijen (2)

Hidayatullah.com--SEMENJAK ditandatanganinya “Perjanjian Renville” antara Pemerintahan RI dengan Penjajah Belanda, di mana salah satu kesepakatannya adalah berupa gencatan senajata dan pengakuan garis “Demarkasi Van Mook”, maka ini telah menjadi pil pahit bagi Indonesia, termasuk bagi Kartosoewirjo yang telah lama merasa berdarah-darah.
Perjanjian yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menarik semua pasukannya dan mengakui beberapa wilayah yang dikuasi Belanda dinilai Kartosoewirjo sebagai sikap 'tunduk' pada penjajah kafir.
Ketika semua pasukan harus menarik diri dan pindah ke Jawa Tengah, sebagai konsekwensi Perjanjian Renville, Kartosoewirjo justru bersikap sebaliknya. Bersama Hizbullah dan Sabilillah –keduanya adalah salah satu sayap mujahidin dan kesatuan santri pembela tanah air— dan lebih memilih tetap tinggal untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah (Belanda).
Kekecewaan terhadap Perjanjian Renville ini bahkan sempat membuat Kartosoewirjo menyebut Amir Sjafroedin sebagai seorang ‘laknatoellah’ (yang dilaknat Allah) dan penghianat yang telah ‘menjual’ Jawa Barat serta sikap lemah Soekarno.
Sebagai sikap tegas penolakan Renville, maka 10 Januari 1948 bertemulah perwakilan para pejuang (mujahidin) yang mewakili sekitar 160 sayap organisasi Islam. Mereka adalah sayap santri yang telah menyerahkan tenaga, pikiran dan nyawanya untuk membela negara melawan penjajah kafir. Hadir beberapa komandan teritorial penting. Di antaranya; Sanusi Partawidjaja, Ketua Masyumi Daerah Priangan, Raden Oni, pemimpin Sabilillah Priangan, Dahlan Lukman, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Siti Murtaji’ah, Ketua GPII Puteri, Abdulullah Ridwan, sebagai Ketua Hizbullah Priangan dan Ketua Masyumi Cabang Garut, Saefullah.
Mereka bertemu di desa Pangwedusan distrik Cicayong untuk membentuk Majelis Islam atau Majelis Umat Islam dan akhirnya mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Ketua Majelis Islam dipimpin oleh SM Kartosoewiryo, Sekretaris oleh Supradja dan Bendahara dipegang oleh Sanusi Partawidjaja. Sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing.-masing oleh Toha Arsjad dan Abdulkudus Gozali Tusi. Adapun tugas Majelis Islam adalah melanjutkan dan memimpin perang gerilya melawan Belanda di daerah-daerah yang telah dilepaskan/hijrah TNI ke Jawa Tengah.
Sejak itulah Tentara Islam Indonesia (TII) berjuang keras menahan kehadiran tentara Belanda yang akan menguasai Jawa Barat.
Dalam buku “Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo”, karangan Al Chaidar (1999) disebutkan, ide pendirian TII ini murni karena sikap rasa juang para santri yang sesunnguhnya tidak mau tunduk pada tentara penjajah, akibat sikap ‘lemah’ pemerintah RI  yang mudah tunduk pada penjajah. 
Sebagaimana dikutip Al Chaidar, tercatat ucapan penting Kamran, salah satu peserta pertemuan ini ingin agar Perjanjian Renville dibatalkan.
”Kalau pemerintah RI tidak sanggup membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita bubarkan dan membentuk lagi pemerintahan baru dengan tjorak baru. Di Eropa dua aliran sedang berdjuang dan besar kemungkinan akan terjadi perang dunia III, ja’ni aliran Rusia lawan Amerika. Kalau kita di sini mengikuti Rusia kita akan digempur Amerika, begitu djuga sebaliknja. Dari itu kita harus mendirikan negara baru, ja’ni Negara Islam. Timbulnya Negara Islam ini,jang akan menyelamatkan Negara.” (“Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo”, Al Chaidar, 1999)
Jelas sekali jika awal gagasan pendirian NII ingin menyelamatkan negara. Seperti diketahui, semanjak Indonesia dalam wilayah jajahan, banyak sayap-sayap milisi pejuang lahir untuk membela Negara. Apalagi karena Indonesia mayoritas Muslim, hampir semua organisasi Islam memiliki sayap militer. Sebagai bentuk bela Negara ini, ulama bahkan banyak berperan ambil bagian penting mensupport masyarakat melawan penjajah kafir hingga ke desa-desa.
Dalam buku “API Sejarah 2” (2010), karya Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan,  saat terjadinya protes sosial di Pesantren Sukamanah 18 Februari 1944 yang melahirkan resolusi politik dalam bentuk ‘jihad fi sabilillah’ yang dipimpin para ulama untuk menuntut Indonesia  Merdeka berdasarkan Islam.
Peran para mujahid (pejuang Islam) dalam membela kemerdekaan ini tak bisa dianggap kecil. Ahmad Mansur Suryanegara mengutip perbedaan kekuatan massa partai politik Islam Masyumi yang memiliki sayap militer bernama Laskar Hizbullah dan Laskar Fi Sabilillah.  
“Nampaknya, Soetan Sjahrir baru menyadari realitas kekuatan Partai politik Islam Indonesia, Masyumi. Memiliki massa pendukung partai yang konkrit dan sangat besar serta memiliki Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang sangat kuat. Kebesaran massa politik Islam Masyumi pada massa itu, dapat diukur dengan perbandingan massanya satu kabupaten saja, sama dengan massa partai non Islam lainnya untuk seluruh Indonesia.”
Umumnya para pejuang kemerdekaan adalah dimotori ulama dan para santri. Wajar jika besar harapan mereka Indonesia menjadi Negara Islam. Jadi ide dan gagasan seperti ini  sebenarnya bukan semata ada pada diri Kartosoewirjo. Bahkan ide seperti ini makin tajam taktala penentuan  Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar  1945.
Prof Dr Soepomo sempat menyampaikan pendapatnya soal ini:
“Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai  Negara Islam. Dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan Tuan Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang semisalnya urusan agama dan urusan Islam dengan perkataan lain, bukan Negara Islam.” (API Sejarah 2, 2010).
Lagi pula adalah hal yang wajar jika saat itu ada keinginan pendirian Negara Islam. Sebab, menurut Ahmad Masnyur Suryanegara, sebelum pendudukan tentara Jepang,  Nusantara Indonesia telah berdiri sekitar 40 Kesultanan Islam.
Tapi entahlah, mengapa dalam sejarah belakangan, kiprah para mujahidin dan pejuang kemerdekaan itu lebih ditonjolkan (tepatnya lebih diperkenalkan ke masyarakat) dari sisi pemberontakannya?  Dan mengapa pula di wilayah Nusantara yang dikenal memiliki banyak kesultanan Islam ini masyarakat sering ‘ditakut-takuti’ meski hanya untuk menyebut kata “Negara Islam”?*/bersambung

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons