myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Rabu, 03 Agustus 2011

Apakah Kita Sudah Tarbiyah?



Pertanyaan apakah kita sudah tarbiyah atau belum dapat dijawab dengan berbagai jawaban. Kita dapat mengiyakannya dengan berbagai alasan formal. Alasan formal yang kerap menggoda untuk kita munculkan adalah:

a. kita telah tarbiyah, karena kita telah memiliki murabbi,

b. kita telah tarbiyah, karena kita telah memiliki liqa’ pekanan,

c. kita telah tarbiyah, karena kita telah mendapatkan materi yang berkelanjutan.

Benarkah kita telah tarbiyah karena alasan-alasan tersebut di atas? Benarkah sesungguhnya kita telah tarbiyah dengan ’sekadar’ memiliki murabbi? Apakah dengan ’sekadar’ memiliki liqa’ pekanan dan menerima materi tarbiyah, kita telah tarbiyah? Adakah parameter yang lebih dapat dipertanggungjawabkan pada masa depan kita dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan pula di hadapan Allah Swt.?


Visi adalah ide tentang hasil yang dinilai dan dijadikan motivasi kerja suatu tim. Ada dua kata kunci dari deskripsi ini, yaitu

a. visi adalah hasil yang nanti akan menjadi standar penilaian,

b. visi adalah sesuatu yang memotivasi tim dalam bekerja.

Bila disandingkan dengan konsep sederhana tentang visi tersebut di atas, visi tarbiyah adalah ide tentang hasil yang diharapkan dari proses tarbiyah serta sesuatu yang memotivasi tim tarbiyah dalam bekerja. Dari konsepsi sederhana tentang visi di atas, tarbiyah sejatinya mengharapkan suatu hasil yang spesifik dibanding bila diproses dengan selain tarbiyah maupun bila tidak diproses. Hasil spesifik itulah yang kemudian disebut dengan visi tarbiyah.

Visi tarbiyah diformulasikan sebagai berikut,

a. Tarbiyah menjadikan seseorang menjadi seorang da’i yang produktif dan mampu menanggung beban dakwah.

b. Tarbiyah menjadikan seseorang menjadi pribadi yang memiliki wawasan ilmiah dengan berbagai ilmu pengetahuan.

c. Tarbiyah mendukung potensi setiap orang demi mendukung dan mewujudkan cita-cita secepat mungkin.

Paparan tersebut di atas menunjukkan bahwa impian (hasil yang diharapkan) tarbiyah tidak berhenti pada aspek-aspek formal semata. Sebaliknya, visi tarbiyah melompati aspek formal dan menyentuh aspek substantif dalam tarbiyah. Sesungguhnya, lebih penting untuk menjawab pertanyaan ’sudahkah kita tarbiyah?’ dengan jawaban substantif daripada aspek formal.

Untuk memberikannya pada aspek substantif, perlu didefinisikan apa yang menjadi nilai substantif tarbiyah. Dengannya, kita dapat lebih bertanggung jawab dalam menjawab pertanyaan ’sudahkah kita tarbiyah’ tersebut. Tentu saja-sekali lagi pendefinisian nilai substantif ini tidak dalam rangka menafikan aspek formal tarbiyah.

Ada banyak ayat dalam Al-Quran yang memakai kata rabb atau ar-rabb. Rabb adalah nama Allah dalam makna sebagai pendidik dan pemberi perhatian. Materirububiyatullah kita ‘mengajarkan’ tentang peran Allah dalam menciptakan alam semesta, memberinya rezeki, dan sekaligus menguasainya. Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan tiga akar kata untuk tarbiyah, yaitu sebagai berikut.

a. Raba-yarbu yang bermakna bertambah dan berkembang.

b. Rabiya-yarba yang bermakna tumbuh dan berkembang.

c. Rabba-yarubbu yang bermakna memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga, dan memerhatikan.

Imam Baidhawi menyebutkan bahwa kata ar-rabb memiliki makna tarbiyah yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Tarbiyah adalah sebuah proses yang menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya. Berdasarkan makna tumbuh dan kembang tersebut, Abdurrahman Al-Bani mengambil empat unsur penting dalam pendidikan,

a. menjaga dan memelihara fitrah objek didik,

b. mengembangkan bakat dan potensi objek didik sesuai dengan kekhasan masing-masing,

c. mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan, dan

d. dilakukan secara bertahap.

Satu hal yang dirasakan sangat menonjol dalam beberapa makna tarbiyah di atas adalah tentang pemberdayaan, memperbaiki, menjaga, menumbuhkan, memberi penekanan pada kekhasan personal, dan kesemuanya dilakukan secara bertahap. Tarbiyah dilakukan sesuai tahap-tahap demi sebuah proses pemberdayaan, perbaikan, penjagaan, penumbuhan, dan penguatan karakter. Tahapan tarbiyah dilakukan dengan sebuah jaminan bahwa akan terjadi pemberdayaan, perbaikan, penjagaan, penumbuhan, dan penguatan karakter; bukan sebuah proses yang mekanis dan berdasarkan urutan. Apakah kita tarbiyah jika semakin tarbiyah justru kita semakin tidak berdaya, semakin hilang karakter positifnya, semakin buruk akhlak dan etosnya, serta semakin kerdil jiwa dan pemikirannya? Sudahkah kita tarbiyah bila hal-hal tersebut terjadi?

Untuk memberikan penekanan pada aspek pemberdayaan, uraian berikut ini mencoba menawarkan kepada saudara sebuah alat bantu untuk menjawab pertanyaan sudahkah kita tarbiyah?

1. Kita sudah tarbiyah jika kita terbuka terhadap perubahan

Kita telah tarbiyah ketika kita mengembangkan sikap terbuka terhadap perubahan. Hasil akhir dari semua proses pembelajaran adalah perubahan; termasuk tarbiyah. Hasil akhir dari tarbiyah adalah adanya perubahan.

Perubahan dipercaya banyak orang sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan, perubahan diyakini sebagai sesuatu yang tetap di dunia ini. Oleh karena itu, sikap terbuka dan kemampuan beradaptasi menjadi syarat utama seorang kader dakwah. Seperti ulat, insan-insan produk tarbiyah bagaikan makhluk yang selalu melakukan metamorfosis menuju kondisi yang lebih baik. Insan tarbiyah bukanlah ulat yang bertahan menjadi ulat, meski kondisi dan ulat-ulat lainnya telah melangkah ke fase kepompong. Ulat tarbiyah rela meninggalkan lezatnya dedaunan untuk sebuah masa depan. Demikian pula ketika fase kepompong berakhir, ulat tarbiyah juga segera merobek kantung tidurnya dan terbang tinggi ketika saat untuk terbang telah tiba. Hangatnya kantung kepompong dengan segera mereka tinggalkan. Efektivitas tarbiyah patut kita pertanyakan ketika kita menganggap diri kita telah purna atau setidaknya telah merasakan keletihan untuk terus berubah.

Dalam beberapa kasus, insan tarbiyah ‘telanjur’ besar dalam kondisi tertentu dan sulit berubah ketika kondisi telah berubah. Perasaan telah menjadi sesuatu yang besar itulah yang membunuh tujuan akhir dari tarbiyah. Sudahkah kita tarbiyah?

2. Kita sudah tarbiyah jika mampu bersikap tegas dan menghindari sikap agresif

Kita tarbiyah ketika menjadi manusia yang tegas, bukan agresif. Menjadi insan yang tegas tidak harus menumbuhkan agresivitas. Menolak praktik syirik, menolak kemaksiatan, mempertahankan strategi dakwah, menjelaskan tujuan dakwah, dan menegakkan disiplin memang membutuhkan ketegasan, tetapi tidak membutuhkan agresivitas. Mendiskreditkan, menjelek-jelekkan lawan, menciptakan stereotipe, atau menfitnah rival, bahkan mencederai kompetitor adalah tindakan-tindakan agresif yang kontraproduktif. Para praktisi tarbiyah mesti menyadari urgensi siasat jangka panjang dan penjagaan determinasi dalam dakwah. Oleh karena itu, produk dari tarbiyah adalah insan yang tegas dalam prinsip, memiliki determinasi yang tinggi, sabar dan ulet, serta tidak dapat diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif. Sudahkah kita tarbiyah?

3. Kita sudah tarbiyah jika kita menjadi pribadi yang proaktif

Kita tarbiyah ketika proaktif dalam hal-hal yang bermanfaat. Penanggung jawab proses pemberdayaan adalah murabbi dan memang tidak dapat digeser kepada pihak lain. Tetapi, pernyataan tersebut tidak dapat diartikan sebagai hujah bagi sikap pasifmad’u.

Nabi Muhammad Saw. berpesan, ”Bersungguh-sungguhlah kamu dalam hal yang memberikan manfaat dan janganlah kamu lemah/mudah menyerah.

Sebuah kemanfaatan mesti kita upayakan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan dengan segenap upaya saja belumlah pasti kita berhasil, apalagi mengharapkan kebaikan dengan cara pasif. Kesempatan belajar, kesempatan bisnis atau penghasilan, dan kesempatan-kesempatan lainnya tidak boleh disia-siakan hanya karena belum mendapat’restu’ dari murabbi. Atau kita berpangku tangan menunggu wasilah-wasilah(sarana) yang direkomendasikan oleh murabbi. Hanya mengonsumsi wasilah yang direkomendasikan dalam suasana kompetisi yang sedemikian tinggi adalah sikap pasif yang pada gilirannya akan merugikan praktisi tarbiyah. Rekomendasi memang diperlukan dan syura memang harus dilakukan, tetapi kedua hal tersebut bukan alasan untuk tidak proaktif. Justru syura akan dinamis dan rekomendasi akan bervariasi jika peserta syura melakukannya dengan proaktif. Lalu sudahkah kita tarbiyah?

4. Kita sudah tarbiyah jika menjadi pribadi yang memiliki sikap mawas diri

Kita tarbiyah ketika tidak mudah menyalahkan orang hin. Bahkan sebaliknya, di lembaga tarbiyahlah kita mengembangkan sikap mawas diri. Karena, komunitas tarbiyah adalah komunitas manusia dengan segenap keunggulan dan sekaligus kelemahannya. Interaksi kemanusiaan ini memang potensial menonjolkan kelemahan orang lain dan menyembunyikan kelemahan diri.

Gajah di pelupuk mata memang kerap kali tampak terlampau kecil. Sebaliknya, kuman atau bahkan ‘bayi kuman’ orang lain tampak jelas di depan mata. Tarbiyah mengantarkan seseorang untuk sadar akan pentingnya berinstitusi atau berjamaah dalam menegakkan agama; sebuah kesadaran bahwa tulang punggung dan pundaknya tidak akan kuasa menanggung beratnya beban dakwah ini seorang diri. Namun, kesadaran ini juga mesti diikuti dengan kesadaran bahwa sebuah jamaah atau institusi dakwah apa pun adalah institusi manusia dengan segenap kemanusiaannya. Ada keunggulan di sana, ada kecerdasan, ada kehebatan, tetapi juga berserak kealpaan, keteledoran, ego, dan juga kepentingan individual. Tarbiyah menjadikan seseorang memiliki kesadaran bahwa berjamaah atau berorganisasi tetaplah lebih baik daripada sendiri dengan kelemahan dan keunggulan pribadi. Proses tarbiyah dengan segenap sarananya haruslah sangat dekat dengan pelajaran-pelajaran mawas diri dan tidak mudah menyalahkan orang lain serta memiliki kecukupan sarana latihan untuk menekan sifat takaburnya terhadap orang lain.

5. Kita sudah tarbiyah jika menjadi pribadi yang mandiri

Kita tarbiyah ketika menjadi insan yang mandiri dan merdeka, bukan manusia yang tergantung pada orang lain. Fakta empiris menyajikan data bahwa para pahlawan kita memiliki jiwa merdeka yang membangkitkan energi besar dalam perjuangannya. Muhammad Saw. adalah sosok yang mandiri dan merdeka, jauh dari intervensi siapa pun. Demikian pula para sahabat Nabi yang tercinta, tidak terkecuali sahabat yang dulunya dikenal sebagai budak. Yasir, Bilal bin Rabah, dan Sumayah bukan lagi insan yang mudah diintervensi oleh tuannya sekalipun ketika berhadapan dengan prinsip yang mereka yakini. Penjajahan nafsu atas jiwa manusia merupakan bahaya laten. Jiwa sangat mungkin tunduk oleh harta benda, jabatan, fasilitas, atau lainnya. Apakah kita pribadi yang mandiri? Sudahkah kita tarbiyah dengan menjadi pribadi yang mandiri?

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, hati yang diisi dengan hal-hal yang buruk akan menyebabkan pola pikir dan pola gerak seseorang menjadi tidak teratur dan rapuh. Misalnya saja, hati seseorang diisi dengan dengki terhadap kenikmatan mobil baru saudaranya. Maka pola pikir seseorang yang hatinya dijajah oleh kedengkian menjadi tidak teratur, tidak produktif, dan pola geraknya pun menjadi rapuh. Segenap potensi pikir dan geraknya terfokus pada saudaranya dan menjadi sangat sensitif terhadap hal itu. Pada akhirnya, hidupnya menjadi tidak produktif karena terjadi kemubaziran potensi diri.

6. Kita sudah tarbiyah jika kita adalah sosok yang berperasaan, tetapi tidak emosional

Kita tarbiyah ketika tarbiyah menjadikan hati dan perasaan kita hidup tanpa terjebak dalam sikap emosional. Kita juga siap menghadapi ujian dan tidak cengeng menghadapi ujian, serta tidak mudah terpukul oleh sebuah kegagalan. Emosi keagamaan adalah sebuah energi yang mendorong untuk berperilaku serba religi. Sedangkan sikap emosional dalam beragama adalah ekspresi yang tidak menguntungkan dan biasanya ditimbulkan oleh pribadi yang tidak siap menghadapi kenyataan.

Konon, dalam menyongsong setiap pertempuran, para samurai selalu menyiapkan diri untuk kalah. Meski kenyataannya justru sering berbeda, karena lawan-lawan merekalah yang kerap kali harus tunduk di tangan para samurai Jepang ini. Demikian pula, para syuhada dalam menyongsong syahid. Hidup mulia atau mati syahid menjadikan mereka tak gentar menyongsong kematian. Meski kenyataannya, sering kali sebaliknya. Sebagian para sahabat bahkan harus menunggu-nunggu kapan syahid menyongsongnya. Emosionalkah kita?

7. Kita sudah tarbiyah jika kita sanggup belajar dari kesalahan

Sebagai manusia, manusia tertarbiyah tentu tetap tidak terbebas dari kesalahan. Ia tetaplah manusia yang mungkin salah. Justru penyikapan seseorang terhadap kesalahan yang dilakukannya itulah yang menjadi indikasi apakah ia tarbiyah atau tidak.

Seseorang yang tertarbiyah adalah seseorang yang menjadikan kesalahan yang dilakukannya sebagai salah satu cara untuk belajar. Terpukul dan sakit adalah hal yang wajar ketika seseorang melakukan kesalahan. Hal yang tidak wajar adalah perasaan sakitnya membunuh kemampuan belajarnya. Ketika kemampuan belajarnya telah mati maka kemampuan untuk berubahnya pun menjadi sirna.

Kita sudah tarbiyah jika kita adalah manusia yang siap menghadapi segala sesuatu di masa depan. Menghadapi sesuatu di masa depan pasca kesalahan memang tidak

sederhana. Krisis kepercayaan diri, berkurangnya kepercayaan dari lingkungan, dan ketakutan adalah hal-hal yang traumatis dan tidak mudah untuk menghadapinya. Namun, kita harus bertanggung jawab dengan menjawab pertanyaan,’sudahkah kita tarbiyah’ dengan menjadi pribadi yang sanggup belajar dari kesalahan.

8. Kita sudah tarbiyah jika hidup di masa sekarang, bersikap realistis, dan berpikir relatif

Kita tarbiyah ketika kita tidak menjadi bagian dari masa lalu; mampu bersikap realistis, berpikir secara relatif, dan tidak mutlak-mutlakan, serta memiliki kepercayaan yang tinggi. Dunia kita ini tidak hitam putih. Tidak ada sosok, oknum, maupun institusi yang serba putih, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dunia adalah pribadi yang mampu berpikir realistis dan memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan konsep atau idealismenya di dunia ini. Menghakimi atau menuding sebagian pihak oleh pihak yang lain akan lebih banyak menghasilkan kenikmatan beragama secara sepihak. Sedangkan di sisi yang lain, dunia tidak merasakan kemanfaatan dari implementasi sebuah idealisme. Oleh karena itulah mengapa ditargetkan agar tarbiyah menghasilkan da’i bukan menghasilkan hakim. Maka sudahkah kita tarbiyah?

www.beranda.blogsome.com

Renungan Ramadhan




"Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang."-

KH Rahmat Abdullah- Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah dan semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti dari keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan grativasi “bumi jasad” memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini –dibulan ini (Ramadlan)– ia begitu ringan, menjelajah langit ruhani. Carilah bulan diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama dimalam hari, saat orang menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan “ular harta” yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya. Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ as-shiyami Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ al-qiyami.

Keqariban ditengah keghariban (pendekatan diri ditengah keterasingan)
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya : “Ya Rasul ALLAH, dekatkah tuhan kita? Sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-NYA?” Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika beban-beban orang bertuhan telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat dan seterusnya, padahal mereka masih berpijak dibumi-NYA. Betapa menyedihkan orang yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-NYA. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikutnya, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya. Semua ayat dari 183 – 187 surah Al Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. “Dan apabila hamba-hambaku bertanya tentang Aku, maka katakanlah : sesungguhnya Aku ini dekat…( Al Baqarah : 185). Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban (kedekatan) ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung kebangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukangtiru yang rakus. Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi Negara, bisniskan hukum, atau jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa berstatus bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit? Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak lagi kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Al Qur’an dulu baru yang lain
Bacalah Al-Qur’an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscahya Islam itu terasa nikmat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Al-Qur’an membentuk frame berfikir. Al-Qur’an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolak ukur keadilan, kewajaran, dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz’i. penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh, aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi umat. Betapa da’wah Al-Qur’an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan dijantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad digaris depan, jauh sejak awal sejarah ini bermula. Bila Rasullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur’annya. Bila menyusun komposisi pasukan, diletakannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan dimasa awal sekali ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan “Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di ka’bah?” Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukul musyrikin kota Makkah.

Nuzul Qur’an di Hira, Nuzul Qur’an di hati
Ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi petunjuk sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalakan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan jadi kacau. Ada juga orang berfikir malam qodar itu selesai sudah karena ALLAH menyatakan dengan anzalnahu ( kami telah menurunkannya) tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Malaikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah para malaikat dan ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, munafiqnya dan shiddiqnya. Yahudi dan nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang dikawasan? Jadi ketika Ramadhan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahaginya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al-Qur’an dihati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badanpun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan dalam setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah keterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan dipuncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Puasa: Da’wah, Tarbiyah, Jihad dan Disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) disaat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan, setelah siangnya berlapar haus atau menahan semua pembantal lahir bathin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan.
Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air diakhir malam, lapar dan haus diterik siang.
Mereka biasa berburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai keakhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? “Fadiqu’s Syai’la Yu’thihi’ (yang tak punya apa-apa tak kan mampu memberi apa-apa). Wahyu pertama turun dibulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman. Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yang menunggu jawaban serius.

~KH. Rahmat Abdullah~

Panduan Zakat : Harta Yang Wajib Zakat



Persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu ada lima:
  • Al-milk at-tam. Harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau disimpan. Harta yang bersifat haram tidaklah sah dan tak akan diterima zakatnya.
  • An-namaa. Harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dlsb.
  • Telah mencapai nisab. Harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653kg, emas / perak telah senilai 85gr emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dsb.
  • Telah melebihi kebutuhan pokok. Yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungannya untuk kelangsungan hidupnya.
  • Telah mencapai satu tahun (haul) khusus untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Tetapi untuk harta jenis lain, misalnya pertanian, zakatnya dikeluarkan pada saat harta tersebut didapatkan.
Ada sementara ulama yang hanya membatasi wajib zakat itu pada delapan benda saja, yaitu unta, sapi, kambing, gandum, sorgum, kurma, emas, dan perak. Pendapat ini adalah didasarkan pada kenyataan bahwa hadits-hadits yang ada hanya secara eksplisit mengatur ke delapan benda ini. Namun pendapat umumnya ulama saat ini adalah bahwa semua harta baik yang tersurat maupun yang tidak, selama memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka wajib dizakati. Alasannya, sesungguhnya keumuman dalil dari Al-Quran dan Hadits menetapkan pada setiap harta yang berkembang terdapat hak bagi orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan dalam harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak meminta-minta" (QS Adz-Dzariyat [51]:19).
Oleh karena itu, semua harta benda, apa pun bentuk dan jenisnya, apabila telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, maka wajib dizakati.

sumber : www.portalinfaq.org

Panduan Zakat : Zakat Profesi



Zakat profesi

Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab. Contohnya adalah profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, seniman, dll.

Kewajiban zakat ini berdasarkan keumuman kandungan makna Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 103:

"Ambillah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (At-Taubah: 103)
dan surat Al-Baqarah ayat 267
"Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah olehmu sekalian sebaik-baik hasil usahamu ..." (Al-Baqarah: 267)
Zakat profesi sejalan dengan tujuan disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta serta menolong para mustahiq. Zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan.

Mengenai nisab, besar, dan waktu pembayarannya, ada dua pendekatan untuk zakat profesi, yaitu

  1. setelah diperhitungkan selama satu tahun
    Nisabnya adalah jika pendapatan satu tahun lebih dari senilai 85gr emas dan zakatnya dikeluarkan setahun sekali sebesar 2,5% setelah dikurangi kebutuhan pokok.
  2. dikeluarkan langsung saat menerima
    pendapat ini dianalogikan pada zakat tanaman. Jika ini yang diikuti, maka besar nisabnya adalah senilai 653 kg beras dan dikeluarkan setiap menerima penghasilan/gaji sebesar 2,5% tanpa terlebih dahulu dipotong kebutuhan pokok (seperti petani ketika mengeluarkan zakat hasil panennya).
Sumber : www.portalinfaq.org

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons