myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Senin, 15 Agustus 2011

Tak Perlu Menjadi Yang Paling Tinggi



Sungguh diri ini malu kepada sosok-sosok rendah hati yang ikhlas bekerja tanpa berharap ada balasan bagi mereka. Mereka tidak peduli pada akhirnya akan mendapat apa. Yang mereka pedulikan adalah bagaimana diri mereka bisa berjuang bersama kawan-kawan tercinta, menghadapi masalah dan bergerak menghidupkan dakwah ini.

Merekalah sosok yang tidak pernah berhenti, walaupun beratus masalah datang menghampiri. Merekalah sosok yang tidak akan mengeluh walaupun seribu kegagalan tak juga terlampaui. Merekalah sosok yang tidak mengenal kata putus asa, walau cacimaki dan cemoohan datang menghantui.

Merekalah sosok yang tidak pernah meminta amanah, walaupun amanah itu terlihat sangat menggiurkan. Karena mereka tahu bahwa amanah itu amat berat dan harus dipertanggung-jawabkan. Sangat berat! Sampai-sampai langit, bumi, dan gunung-gunung enggan memikul amanah itu karena khawatir akan mengkhianatinya.

Namun, mereka adalah sosok ksatria yang ketika diberi amanah, tidak akan menerimanya kecuali dengan lapang dada. Ini adalah wujud ketaatan mereka kepada Allah, Rasulullah, dan para pemimpin. Sehingga tidak keluar dari mulut mereka ketika amanah datang, kecuali sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami taat!

Ada kalanya juga mereka memperoleh bagian sebagai seorang bawahan. Dibebani berbagai macam amanah, dituntut kerja ikhlas, serta diberi arahan terkait kerja yang jelas-jelas sudah mereka pahami. Coba kita tanya pendapat mereka tentang hal itu. “Kenapa kamu mau menerima amanah itu? Pemimpinmu lho bisanya cuma menyuruh!”

Mereka pun tersenyum. Mereka berpikir sejenak, lalu membuka mulut. “Akhi, ada kalanya seorang pemimpin itu membutuhkan pendamping. Siapa lagi kalau bukan kita, yang akan mendampingi para pemimpin menggapai puncak kejayaannya?” Ah, mereka juga ingin melibatkan kita! Maukah kita, untuk sekedar menjadi bawahan? Jundi!?

Kita pun bertanya kepada mereka, “Apa yang bisa kudapatkan?”

Mereka menjawab, “Bukan jabatan, bukan harta, bukan wanita, bukan pula popularitas. Sesungguhnya balasan dari sisi Allah lah yang terbaik.”

Barangkali kita tidak puas kawan. Karena mungkin yang kita inginkan ada pada deretan terdepan dari yang mereka sebutkan. Padahal sungguh, andai kita dengan cerdas memilih yang terakhir, maka mudah bagi-Nya untuk memberi kita yang lebih baik daripada itu. Itupun kalau kita mau! Kalau tidak mau, jangan harap mereka mau berhenti demi kita. Karena tanpa kita, dakwah ini tetap akan diperjuangkan. Dan tentunya DIMENANGKAN!

Atau, kita perlu memanggil mereka lagi? Dan bertanya, apa yang harus kita perbuat dalam menapaki jalan perjuangan ini sebagai seorang jundi!? Setujukah?

“Ya akhi..” Itu sapaan hangat mereka! Sebelum kita bertanya tampaknya mereka sudah paham dengan maksud kita. Ah, bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda “Waspadalah terhadap firasat seorang mukmin. Sesungguhnya dia melihat dengan nur Allah.”!

“Ya akhi..apakah engkau pikir menjadi seorang bawahan adalah pekerjaan yang tidak mulia?” Mereka bertanya, dan kita menjawab. “Mungkin!”

Padahal, sesungguhnya hati kita berkata, “iya!”

“Ya akhi..apakah engkau merasa kalau seorang raja atau pemimpin adalah orang yang memberi kemanfaatan paling banyak bagi rakyatnya?” Mereka bertanya, dan kita menjawab. “Mungkin!”

Padahal, sesungguhnya hati kita berkata, “iya!”

“Ya akhi..kuharap apa-apa yang engkau pikirkan berubah.” Mereka begitu ingin mengajak kita kepada jalan perjuangan ini. Mata mereka menyiratkan itu. Tapi dengan apa kita bisa yakin!?

“Tahukah engkau, ya akhi.. Permainan catur, memuat hikmah bagi kita. Sangat akrab, tetapi sering tidak kita sadari. Barangkali engkau bersedia menunjukkan bidak mana yang paling menjadi andalan di setiap permainan?”

Pertanyaan mudah. Bidak mana lagi yang paling menjadi andalan selain queen!? Setiap orang yang pernah bermain catur pasti tahu itu.

“Ya akhi… untuk berkontribusi, tak perlu menjadi yang paling tinggi. Cukuplah menjadi yang paling berdaya. Seperti QUEEN. Dia bukan raja, sehingga bisa bebas berkelana. Dia bukan raja, sehingga bebas menunjukkan kontribusinya. Namun dia pendamping raja, meraih kejayaan adalah sebagian besar tanggung jawabnya!”

Lalu, siapkah kita menjadi seperti dirinya?

sumber : fimadani.com

Menunda Kebaikan



Setiap jiwa akan sangat paham, bahwa kebaikan adalah modal utama menuju sebuah kenikmatan hidup. Dengannya kita memperoleh kedamaian duniawi dan terjauh dari kegalauan hari. Kebaikan juga menumbuhkan harapan yang berarti menambah rasa betah hidup didunia walaupun kadang kala keadaan tak selalunya enak. Tapi bagi sebagian orang, kepahaman itu tak sejalan dengan perealisasian dari sikap mereka. Tuntutan kebaikan yang ingin didapatkannya, tidak diwujudkan kecuali hanya dengan sedikit sikap. Beberapa contoh dibawah ini adalah sikap yang sering kali akrab atau kita akrabi yang sayangnya Hal inilah yang akhirnya menghambat jalan kebaikan itu untuk cepat mendatangi dan memulyakan kita.

Malas berarti menunda percepatan sukses atas keberhasilan hidup kita. Seperti halnya sebuah kesuksesan yang butuh sebuah proses, pengkreasian sebuah kegagalan pun membutuhkan proses. Dan proses tercepat untuk mencapainya adalah dengan berlaku malas. Tanpa usaha apapun, dengan malas orang sudah cukup dinilai sebagai lemah. Dengan malas, orang sudah cukup berusaha maksimal untuk merendahkan diri mereka sendiri dihadapan orang lain dan pada jiwa mereka sendiri.

Marah adalah menunda proses kelembutan melingkupi hati dan jiwa kita. Marah menjauhkan rahmat kasih sayang sesama atas kita. apakah marah itu dilarang? Rasa marah itu tidak bisa dihapus dari seorang manusia, karena Allah yang mengilhamkannya kepada kita. Tapi kemudian Yang tidak disukai oleh Allah adalah ketika kita memutuskan bahwa rasa marah itu kemudian yang mengkerdilkan hidup dan kualitas diri kita dan orang lain disekitar kita. Hal itu dengan kata lain adalah semakin merentangkan jarak kita dengan buah kesuksesan.

Ketidaksabaran menunda perbaikan diri dan masa depan kita. Banyak orang merasa telah berdoa tapi banyak diantara mereka juga memaki tuhan atas ketidaksabaran tentang terealisasinya doa tersebut. Padahal mereka tidak sadar, secara tidak langsung, tingkah polah mereka telah membatalkan rahmat dari sebuah doa yang telah terpanjat. Ketidaksabaran adalah downpaymen dari sebuah kegagalan. Betapapun seseorang menganggunkan dirinya tentang tingkah laku dan masa depannya, namun jika dia tidak mendidik diri untuk sabar, maka akan sia- sialah semua usaha, karena kekacauan pasti tidak pernah absen dari dirinya.

Tidak damai menjauhkan kita dari kesyukuran hidup. Orang yang senantiasa meliarkan batinnya dan atau membiarkan batinnya begitu liar dan terus terinspirasi dengan sebuah kekurangan, lambat laun dia akan menghentikan kecepatan dirinya untuk tumbuh menjadi lebih baik. Damainya jiwa adalah kekayaan kita yang pertama. Jiwa yang damai adalah kekayaan yang utuh,
yang menjadi sandaran bagi semua kekayaan. Kedamaian jiwa menempatkan kita untuk tidak harus memenuhi semua aturan kekayaan yang dipantaskan oleh orang lain untuk diri mereka. Kedamaian jiwa menjadikan diri kita cukup untuk diri sendiri,dan apa pun yang akan dilakukan setelahnya adalah untuk kebaikan orang lain. Jika kita telah berjasa membaikkan kehidupan orang lain, maka dengan sendirinya kebaikan akan terpelihara atas kita. Maka rugilah jiwa- jiwa yang gelisah, tidak bersyukur, dan selalu merasa kurang. Hidup yang sudah sulit akan terasa lebih berat bagi siapapun pelakunya.

Kita tidak akan memiliki kepintaran yang cukup untuk mengerti apapun skenario Allah tentang masa depan dan kebaikan apa yang akan ditakdirkan untuk kita. Tapi Allah telah telah memberi kewenangan dan energi kepada para hambanya untuk berupaya mengusahakan nasib mereka sendiri demi kebaikan mereka sendiri. jika kita percaya bahwa takdir bisa dirubah dengan sebuah usaha, lalu mengapa kita tidak mengusahakan yang terbaik yang kita bisa. Hadiah dari kita melakukan kebaikan adalah kebaikan, dan Keburukan yang menjadikan kita baik adalah kebaikan. Maka tidak akan ada celah lagi bagi kita, jika kita ingin memperbaiki hidup, maka berlakulah baik, jadilah pribadi yang baik, dan kebaikan itu akan senantiasa memulyakan anda.

sumber : voa-islam.com

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons