Perdalam Samudra Keikhlasanmu
Realitas lapangan dakwah mengajarkan hal penting kepada kita, bahwa daya tahan di dalam mengarungi perjuangan sangat ditentukan oleh sebesar apa penjagaan keikhlasan.

Luaskan Cakrawala Kefahamanmu
Tak ada keberhasilan dakwah, jika tidak diawali ilmu dan kepahaman. Tidak akan ada keteguhan di jalan dakwah, jika tidak memiliki cakrawala pengetahuan yang memadai.

Blogger news
Tampilkan postingan dengan label Siyasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siyasi. Tampilkan semua postingan
Senin, 26 Desember 2011
Toleransi Nabi SAW kepada Yahudi
Oleh : Asep Sobari
Jauh sebelum berbagai bangsa mengenal toleransi, di awal abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad saw telah memberi contoh toleransi beragama di Madinah. Termasuk terhadap kaum Yahudi. Di tengah kondisi Madinah yang cukup akomodatif, Nabi Saw menetapkan perangkat-perangkat dasar untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr. M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia (the first written constitution in the world).
Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan antar kelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara, kehidupan beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya. Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa al-ummah al-muslimah (umat muslim), isu kemajemukan juga menjadi sorotan utama Piagam Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr. Hamidullah, dari 47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut kaum Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup beragam isu, di antaranya status kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab bersama dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan.
Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2 hal. 94-96, Nabi Saw menyatakan, “wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al mu’minin (sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).” Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga negara. Salah satu yang terpenting adalah hak kebebasan beragama, “lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum (kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri).”
Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah saw pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar r.a., dikabarkan pernah masuk kedalam Midras dan “mendapati banyak sekali orang di sana.” (Jilid 2 hal. 129 dan 134).
Terkait dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu membahu mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi Saw menyatakan, “wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar).” Karena itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, “wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh).”
Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak sejak awal Rasulullah saw menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461).
Batas toleransi Nabi
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi saw menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh. Sejumlah inidividu Yahudi membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi, menghina Allah dan al-Qur’an di hadapan Abu Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 hal. 539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 hal. 4).
Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw.
Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap tegas, karena mereka orang-orang berpengaruh di masyarakat. Nabi Saw memerintahkan mereka dihukum mati. Terlebih Ka`ab bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan Madinah. (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120).
Permusuhan Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Kasus pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar Bani Qainuqa` berujung pada terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami!” (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 129). Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw pun bersikap tegas. Tantangan Bani Qainuqa’ dijawab dengan tegas. Mereka diperangi.
Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Klan terakhir Yahudi ini berkhianat dengan mendukung pasukan musuh (Ahzab) dalam perang Khandaq. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya yang sanggup berperang dieksekusi.
Itulah toleransi Nabi Muhammad saw terhadap Yahudi.
Wallahu a’lam bil-sahawab.
Rabu, 16 November 2011
Menyikapi Penguasa Zhalim
Oleh : Farid Nu’man
Mukaddimah
Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq, korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Azza wa Jalla. Selalu ada sejak pasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’ untuk kepentingan status quonya. Para ulama dan da’i tersebut menjadi skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim, bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.
Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu.
Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu.
Sikap Pertama. Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)
Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)
Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)
Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam Adz Dzahabi)
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Imam Muslim. Riadhus Shalihin no. 181. Bab Fi an Nashihah. Lihat juga Bulughul Maram no. 1339, Bab at Targhib fi Makarimil Akhlaq)
Nasihat yang bagaimana?
Nasihat berasal dari kata nashaha ( ( نصحyang berarti menasehati, atau membersihkan dan memurnikan. Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.
Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim, Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.
Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut. Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati dengan bijak adalah lebih utama.
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf (terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.” (Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al Kautsar, cet. 1. oktober 1997)
Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim, konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman terhadap kedurhakaannya, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis salam, agar kekuatannya bertambah.
Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.
Beberapa kisah nasihat untuk para Penguasa
Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka mencela.”
Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu Said?”
Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa yang memanggul di atas pundakmu.”
Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya. Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi. Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan kejelekan pula.”
Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah aku nasihat!”
Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)
Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan al Banna radhiallahu ‘anhu mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah mukaddimah surat itu:
Bismillahirrahmanirahim
Segala puji bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya, beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi:10)
Kairo, Rajab 1336H
Kepada Yang Terhormat
……….
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik, bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup yang panjang.
Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah Rasail, hal.63-67. Risalah Nahwan nur, Al Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)
Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik penguasa adil atau yang yang zalim.
Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam
Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)
Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/518)
Imam al Baidhawi, berkata tentang makna Ulil Amri di antara kamu , “Para pemimpin umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan setelahnya secara umum, seperti penguasa, hakim,dan panglima perang, dimana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah perintah untuk berbuat adil. Kewajiban taat ini berlaku selama mereka dalam kebenaran.” (Anwarut Tanzil w a Asrarut Ta’wil, 2/94-95)
Imam ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas kebenaran. Sedangkan taat kepada para pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul Ghaib, 3/244)
Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepeda penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhu. Al lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)
Abu bakar Ash Shidiq radhiallahu ‘anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/248)
Khalifah Umar al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”
Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat, mufasirin dan fuqaha, semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.
Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam at Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menuruttentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya.
Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
Kamis, 08 September 2011
Kader dan Kemenangan Dakwah 2014
Tujuan Kita Ingin Memenangkan Pemilu 2014 adalahkarena merupakan bagian dari tahqiqul 'ubudiyah,cara kita merealisasikan ibadah kepada Allah SWT. Dan bagian yang paling penting dari tahqiqul 'ubudiyahitu adalah tahqiqul muradillah, merealisasikan kehendak-kehendak Allah SWT dimuka bumi ini. Dan kehendak-kehendak Allah itu -ikhwah sekalian- secara eksplisit dinyatakan dalam apa yang disebut oleh ulama-ulama sebagai maqashidu syari'ah, tujuan-tujuan dasar syari'at itu diturunkan. Mulai dari menjaga nyawa, menjaga harta, menjaga kehormatan, menjaga akal. Semua itu merupakan maqashidus syari'ah yang dengan menegakkannya, maka kita melakukan suatu hal yang merupakan tujuan hidup kita yaitu tahqiqul 'ubudiyah. Dan dengan menegakkan maqashidu syari'ah itu -ikhwah sekalian- mudah-mudahan kita telah merealisasikan derivasi selanjutnya dari ma'na 'ubudiyah yaituisti'marul ardh (memakmurkan bumi). Risalah ini menjadi jauh lebih penting bagi kita semuanya, terutama karena pemilu 2014 akan berlangsung di saat negeri kita -sekali lagi- mengalami krisis besar yang mungkin bisa lebih besar dari krisis pada tahun 1997.
Oleh karena itu kemenangan kita pada tahun 2014 -ikhwah sekaliah- bukan hanya merupakan faridhah syar'iyah, bukan hanya merupakan kewajiban syari'ah, tapi juga merupakan dharurah wathaniyah, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan nasional. Karena kemenangan kita pada tahun 2014 yang akan datang adalah suatu rangkaian proses penyelamatan bagi bangsa Indonesia.
Ikhwah sekalian, tiga belas tahun sudah kita mendobrak sistem otoriter. Dan memulai sebuah kehidupan baru dalam suatu bingkai sistem demokrasi. Tapi sampai saat ini sebagaimana demokrasi pada masa Sukarno gagal menciptakan kesejahteraan. Dan kesejahteraan pada masa orde baru harus dibayar dengan menghilangkan demokrasi. Tiga belas tahun masa reformasi ini adalah tahun-tahun kegelisahan, tahun-tahun pencarian, tahun-tahun dimana kita semua menyatakan pemberontakan. Tetapi tidak benar-benar tahu kemana seharusnya kita melangkah. Tahun-tahun dimana kita menyatakan ada enam visi reformasi mahasiswa, tetapi pada waktu yang sama tiga belas tahun kemudian kita menyaksikan bahwa visi itu sampai saat ini belum juga terealisasi. Tapi kita semua -ikhwah sekalian- bertanggung jawab secara moral. Karena kitalah yang mendobrak sistem itu. Kita yang menghancurkan dan menjatuhkan sistem itu. Lalu kemudian menggantinya dengan sistem yang baru. Tidak ada yang salah dengan sistem ini, yang salah adalah karena yang terjadi adalah bahwa syarat-syarat kebangkitan sebuah bangsa, sebagaimana yang kita pelajari dalam doktrin-doktrin dakwah kita belum sepenuhnya terpenuhi. Syarat pertama dalam kebangkitan suatu umat dalam doktrin dakwah kita adalah al-yaqizhatur ruhiyah (kebangkitan spiritual). Syarat yang kedua adalah al-wa'yul fikri (kesadaran pemikiran), adanya agenda, adanya manhaj yang jelas dalam bekerja. Dan syarat yang ketiga adalah al-qiyadatul qawiyah(kepemimpinan yang kuat).
Tiga belas tahun reformasi ini adalah tiga belas tahun kegelisahan. Karena kita semua berhasil membangkitkan masyarakat Indonesia untuk menyatakan kekecewaannya kepada sebuah rezim dan mengakhiri rezim itu dan kemudian berusaha bersama memulai suatu hidup baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Ikhwah sekalian,
Ada keinginan yang kuat pada seluruh masyarakat. Tetapi seperti orang yang baru saja bangun, kita belum berwudlu. Kita baru bangun dan baru meninggalkan tempat tidur, baru membuka mata dan baru berjalan terseok-seok. Bahkan menghadapi kenaikan harga BBM dunia pun, kita tidak tahu bagaimana caranya. Tetapi ikhwah sekalian, kebangkitan telah kita mulai pada jalurnya yang benar. Oleh karena kegelisahan itu adalah awal dari kebangkitan itu, dan kegelisahan itu tampak besar adalah wajah dari al-yaqizhatur ruhiyah(kebangkitan spiritual). Kita sudah mempunyai agenda; ada apa yang kita sebut dengan visi reformasi. Tahun ini juga kita mengeluarkan platform perjuangan kita untuk menegakkan masyarakat madani. Tetapi syarat untuk kebangkitan yang total belum sepenuhnya terpenuhi, karena masih ada syarat yang ketiga yaitu munculnya al-qiyadatul qawiyah (kepemimpinan yang kuat). Mudah-mudahan tahun 2014 itu adalah saat dimana kita menyempurnakan syarat ketiga dari kebangkitan kita semuanya di Indonesia, Insya Allah.
Ikhwah sekalian,
Seratus tahun yang lalu ceritanya persis sama seperti cerita kita malam ini. Juga adalah cerita kegelisahan. Budi Utomo, Syarikat Islam dan ormas-ormas Islam, ormas-ormas nasional yang lainnya pada waktu itu semuanya adalah ungkapan-ungkapan kegelisahan. Ada kesadaran yang begitu kuat di dalam jiwa mereka bahwasanya mereka adalah satu bangsa yang utuh. Mereka tahu namanya dan juga mereka tahu rasanya, tetapi mereka belum terlalu fasih membahasakannya. Pada tahun 1928 Sumpah Pemuda mengejawantahkan semangat itu kembali dalam sumpah yang singkat tetapi jelas menyatakan identitas bangsa kita. Dan dari situlah dimulai sebuah revolusi. Ujung dari revolusi itu adalah kemerdekaan kita pada tahun 1945. Tapi jika setelah kita merdeka dan kemudian kita berumur 66 tahun sebagai sebuah bangsa merdeka, tiba-tiba saja kita dikagetkan oleh sebuah fakta, kenapa bangsa ini pada usianya yang ke-66 tampak begitu tua dan lelah. Karena ikhwah sekalian, cita-cita mereka seratus tahun yang lalu sudah tercapai. Cita-cita mereka adalah mendirikan sebuah Negara, bangsa yang merdeka dan berdaulat dan itu sudah tercapai. Dan Imam Ghazali mengatakan “segala sesuatu yang sampai pada puncaknya, harus memulai kekurangannya”.
Oleh karena itu, ikhwah sekalian, pentinglah kita menyadari suatu fakta, suatu hakikat besar di dalam sejarah bahwasanya jika cita-cita kita di dalam hidup itu kecil dan kemudian kita sudah mencapai cita-cita itu pada umumnya kita tidak lagi mempunyai sumber energy untuk bergerak. Bangsa ini setelah merdeka kehilangan sumber energy untuk bergerak, karena cita-citanya memang sudah tercapai kalau cita-cita kita hanya sekedar memerdekakan Indonesia, mengusir penjajah Belanda, Portugis atau Jepang dari bumi pertiwi Indonesia ini. Cita-cita itu adalah cita-cita yang terlalu sederhana. Itulah sebabnya Al-qur’an sejak awal menitipkan satu cita-cita besar tanpa batas kepada Nabi Muhammad SAW:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٢٨)
“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba : 28)
Maka kebangkitan Indonesia di masa yang akan datang itu –ikhwah sekalian-, membutuhkan suatu sumber energy besar yang tidak terbatas. Dan sumber energy besar yang tidak terbatas itu adalah pada cita-cita kita semuanya. Dan cita-cita yang kita warisi dari sejarah Indonesia ini menurut saya tidak lagi memadai untuk membangkitkan bangsa ini sekarang. Kita memerlukan suatu narasi baru, satu ide baru, satu cita-cita baru yang melampaui wilayah Republik ini untuk merangkul seluruh wilayah umat manusia dimuka bumi ini. Itu sebabnya ikhwah sekalian, cita-cita kita semuanya jika kita perbesar untuk merangkul seluruh umat manusia, maka kita akan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang agama ini :
لاَ يَبْلُغَنَّ هذا الدِّينَ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ والنَّهَارُ
Agama ini akan sampai ke seluruh muka bumi ini, akan menjangkau seluruh umat manusia sepanjang siang dan malam menjangkau mereka.
Negeri kita ini membutuhkan sebuah cita-cita baru sebagai sumber energi mereka. Dan cita-cita itu adalah haruslah merupakan cita-cita kemanusiaan. Itu sebabnya, ikhwah sekalian, kebangkitan Indonesia sekarang ini membutuhkan sebuah ruh baru. Dan ruh baru itu adalah Partai Keadilan Sejahtera.
Ruh baru inilah yang hilang dari republik kita ini. Dan karena itulah kita berjalan tertatih-tatih. Ruh baru inilah yang diperlukan oleh negeri kita sekarang, oleh seluruh masyarakat kita sekarang. Ruh baru inilah yang dibutuhkan mereka untuk mengalirkan energi baru kepada mereka. Energi untuk bergerak kembali seperti sebagai sebuah bangsa besar. Tetapi kita tidak bisa mengalirkan energi ini kecuali kalau kita memenuhi syarat kebangkitan ketiga yaitu mengakselerasi dan mempercepat munculnya al-qiyadah al-qawiyah (kepemimpinan yang kuat) di republik kita ini.
Ikhwah sekalian, saya mengatakan kepada ikhwah-ikhwah kita di Kaltim. Tahukah antum semuanya mengapa kita perlu memenangkan Pilkada di Kaltim? Karena sepertiga pendapatan negara kita berasal dari propinsi ini dengan penduduk hanya sekitar tiga jutaan dan pemilih 2,2 Juta. Wilayah ini adalah salah satu zona ekonomi besar tetapi mungkin kecil secara skala politik. Tetapi dengan memenangkan wilayah ini, antum melakukan suatu hal yang sangat fundamental dalam tujuan maqashidus syari’ah yaitu hifzhul maal (menjaga harta negara kita).
Kemudian saya mendapatkan informasi begitu banyak, dan saya kira antum tahu semuanya. Betapa kayanya negeri itu. Tetapi saya berjalan dari Balik papan ke Samarinda bolak balik, siang dan di malam hari di atas jalan-jalan yang semuanya sudah rusak dan sama sekali tidak nyaman untuk kita lalui. Lalu saya teringat kepada salah satu kalimat Umar bin Khatthab : “Jika ada seekor keledai yang jatuh di jalan-jalan Irak, maka saya akan ditanya oleh Allah SWT di hari akhirat. Mengapa kamu tidak memperbaiki jalan yang ada di Irak itu?”
Jadi Ikhwah sekalian, negeri kita ini adalah negeri ironi. Dan kebangkitan spiritual yang sudah kita miliki itu sejak tahun 80-an ketika kita memulai dakwah, tahun 90-an ketika kita mengembangkan dakwah kita dan membangun basis sosial tidaklah memadai kecuali kemudian kita memperbesar kerangka kita kembali dan merebut semua bagian hati bangsa Indonesia untuk kemudian mengambil kepercayaan besar mereka. Dan berada di garda depan menyelamatkan kehidupan bangsa yang besar ini.
Saya menyatakan tentang tiga cita-cita kita, yang kita kuantifikasi dalam angka-angka. Ada yang apa kita sebut dengan cita-cita politik yang angkanya adalah 20% atau menjadi 3 besar Ada yang kita sebut dengan cita-cita dakwah, apabila gabungan suara partai-partai Islam ini sudah melampaui 50%. Dan ada yang kita sebut dengan cita-cita peradaban, apabila kita berhasil menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dunia Islam dan front linersaudara tertua Islam yang berada di baris depan berhadap-hadapan dengan peradaban lainnya. Dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi kiblat peradaban kemanusiaan baru.
Itulah sebabnya ikhwah sekalian, walaupun berada dibawah penjajahan Inggris. Dalam keadaan yang sangat sulit, kita belajar dari satu fakta sejarah dari Imam Syahid Hasan Al-Banna ketika beliau mengatakan tentang tujuh tujuah dakwah kita, dimana yang terakhir adalah ustadziyatul ‘alam. Bisakah antum membayangkan bahwa buruh-buruh, para petani, para nelayan, orang-orang papa dan nestapa di Mesir yang miskin, yang dihadapi oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna, yang tua dan renta. Diperkenalkan kepada mereka ma’na Islam pertama kali dan tujuan besar peradaban mereka ketika mereka masih hidup dibawah penjajahan. Lalu kepada mereka disampaikan doktrin bahwa pada suatu waktu kalian semuanya mempunyai satu tugas suci menjadi soko guru peradaban dunia. Bisakah kita membayangkan, apakah yang ada dalam pikiran Imam Syahid Hasan Al-Banna ketika itu? Dan apa yang ada di benak para petani, para buruh dan nelayan?
Dan sekarang ini tampak seperti eutopia, ketika PKS merencanakan menjadi bagian dari 3 Besar Pemenang Pemilu, dan tiba-tiba mempunyai mimpi besar menjadi pemimpin peradaban manusia. Ini bukan eutopia! Karena ikhwah sekalian kita ini (di PKS ini) mempunyai suatu tradisi kesadaran. Kita menyadari apa yang disebut oleh Rasulullah SAW: Rahimallahu man ‘arafa qadra nafsih. Allah merahmati kepada orang-orang yang mengetahui kadar kemampuan dirinya. Karena itu pada tahun 1997 kita membuat Rinja (Rencana Induk Jama’ah). Dan kita baru bercita-cita mendirikan partai pada tahun 2010. Tetapi Allah mempercepat target itu dan menjadikannya satu tahun kemudian dimana kita mendirikan partai pada tahun 1998. Sekarang dalam hitungan-hitungan normal, kita baru berfikir untuk melangkah menuju kepemimpinan nasional pada tahun 2014. Tetapi tampaknya Allah SWT mengirimkan tanda-tanda alam, tanda-tanda peradaban dan tanda-tanda kemanusiaan, juga tanda-tanda sejarah. Bahwa waktu yang kita rencanakan itu tampaknya akan dipercepat oleh Allah SWT.
Itulah yang bisa kita tafsirkan secara ijabiyah (positif) dalam perspektif dakwah kita ketika Allah memberikan kemenangan di Jawa Barat, di Sumatera Utara
Jadi ibarat gelombang –ikhwah sekalian- gelombang ini sedang datang. Ada pasang dalam sejarah kita saat ini. Dan oleh karena itu walaupun dengan segala kerendahan hati, kita mungkin tidak terlalu siap. Tetapi yang sangat kita khawatirkan adalah terulangnya seperti apa yang dikatakan oleh beberapa ikhwah di Jawa Barat. “Memang kami kalah dalam semua survey, tapi kami sangat khawatir dimenangkan oleh Allah SWT”. Kita juga khawatir –ikhwah sekalian- jangan-jangan kita hanya berniat masuk 3 besar, mendapatkan 20%. Tapi tiba-tiba Allah SWT mengubah peta politik kita ini dan menjadikannya lebih dari pada apa yang kita harapkan. Dan karena itu ikhwah sekalian, mental kita haruslah kita siapkan. Sebagaimana pada tahun 1997, ketika tiba-tiba mata kita terbelalak, bahwa pada tahun 1998 kita harus tiba-tiba mendirikan partai politik. Tanpa pengalaman, tanpa pengetahuan. Tetapi Allah SWT memberikan kepada kita syarat yang sering saya ulangi, niat yang baik dan kemauan belajar itu cukup untuk memimpin.
Jadi ikhwah sekalian, kita harus menghilangkan dan kita harus mulai menswitch, memindahkan, mentransformasi mental kita. Bahwa sementara kita mempunyai target-target yang sekarang kita tetapkan. Tampaknya Allah SWT mengirimkan tanda-tanda yang lain dan karena itu mental kitapun harus kita persiapkan. Dan supaya mental kita itu harus kita siapkan, perlulah kita merubah beberapa paradigma di dalam pikiran kita.Yang selalu saya ulang-ulang dan sering saya sebut sebagai polisi tidur. Yang menghambat lajunya kita bergerak. Karena ikhwah sekalian kita ini (PKS ini) ibarat mobil, engine (kekuatannya) itu adalah 5000 cc, sopirnya jelas, penumpangnya jelas, tujuannya jelas, rutenya juga jelas, dilengkapi dengan GPS, semua sudah pasang seatbelt. Kita sedang akan masuk ke highway (jalan tol). Tetapi jika kendaraan besar ini, yang CC-nya besar ini disertai dengan jalanan yang mulus ini tidak berpadu maka akan ada masalah. Kita tidak akan sepenuhnya efektif. Dan karena itu perlu kita hilangkan polisi tidur ini.
----
Polisi tidur yang pertama ini adalah ‘uqdatul khaufi minan nashr (sindrom ketakutan untuk menang). Ada banyak ikhwah kita semuanya yang merasakan sindrom ketakutan ini. Takut untuk menang. Mereka takut menang karena merasa bahwasanya kemampuan kita belum memadai untuk memimpin republik ini. Itu ada benarnya, kalau kita benar-benar ingin rendah hati dan jujur di depan Allah SWT. Tetapi ikhwah sekalian, Allah itu tidak menurunkan ilmu sekaligus. Allah menurunkan ilmu bertahap-tahap.
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (٨٥)
“….. dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (al-isra : 85).
Dan sebagian dari cara Allah SWT menurunkan ilmu adalah melalui benturan-benturan, melalui pengalaman-pengalaman, melalui kesalahan-kesalahan dan melalui amal. Dan karena itu Allah mengatakan kepada kita tentang cara Allah mengajar :
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
Bertakwalah kamu kepada Allah, nanti Allah yang akan mengajarkan kamu ilmu-ilmu. (al-baqoroh : 282)
Kita semua –ikhwah sekalian- tidak pernah tahu bagaimana mengelola dewan. Karena memang kita tidak punya pengalaman. Tapi hanya beberapa saat ketika kita masuk ke dewan, kita tahu bagaimana cara mengelolanya. Pimpinan partai ini –ikhwah sekalian- pada periode yang lalu, tidak satupun di antara mereka yang profesor-doktor dalam bidang ilmu politik. Tidak ada satupun di antara mereka yang profesor-doktor dalam bidang hukum tata negara, profesor-doktor dalam ilmu pemerintahan. Ada doktor dalam bidang akidah spesialis dalam aliran-aliran sesat, ada doctor dalam perbandingan madzhab. Tapi ketika beliau menjadi ketua MPR, bisa juga beliau menjalankan amanah itu dengan baik. Dan ketika doktor menjadi dubes, bisa juga beliau menjalan amanah itu lebih baik dari para pendahulunya.
Jadi ikhwah sekalian, Allah mengajarkan kita ilmu itu sedikit demi sedikit. Bisa antum bayangkan bumi yang bulat ini pada mulanya hanya dihuni oleh dua orang yang namanya Adam dan Hawa. Beratus-ratus kemudian, tiba-tiba penduduknya menjadi enam milyard. Pada mulanya hanya dua orang. Bisakah antum membayangkan? Jangankan bumi yang luas ini, antum ada di Cibubur saja kalau cuma dua orang , bisa antum bayangkan ngerinya menghadapi malam. Tapi coba lihat cara Allah mengelola kehidupan. Yang pertama kali dilakukan Allah kepada Adam begitu turun ke bumi ini adalah pembelajaran.
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (al-baqorah : 31)
Semua benda, semua perbuatan, semua pikiran diberi nama dan satu persatu dipelajari. Ketika pertama kali adam dan hawa melakukan hubungan seksual, Hawa bertanya kepada Adam; Ya Adam, Ma hadzaa? (apa namanya ini). Kata Adam : hadzaa jima’ (ini namanya jima’). Kata Hawa : zidnii minhu (tambah lagi). Berkat pengajaran itulah kita hadir sekarang di sini.
Jadi ikhwah sekalian, yang kita perlukan dalam memimpin itu adalah niat baik dan kemauan belajar. Itu sebabnya saya selalu mengulang-ulangi kalimat ini. Bagaimana caranya kita menjadi pembelajar yang cepat. Jadi kita tidak perlu ragu-ragu.
Jadi ada gejolak yang terjadi di luar tetapi kita disini tidak pernah memikirkan antisipasinya. Padahal dulu Imam Abu Hanifah sudah pernah mengatakan, “Orang yang berilmu itu adalah orang yang menyiapkan jawaban sebelum dia diberi pertanyaan”. Jadi saya mengatakan bahwasanya protes besar pada pemerintah saat ini adalah badai yang dituai oleh pemerintah karena kemalasannya berfikir secara antisipatif menyediakan jawaban-jawaban, sikap-sikap, alternative-alternatif, kebijakan-kebijakan baru jika mereka menghadapi tantangan fluktuasi harga minyak dunia ini.
Dan sekarang ikhwah sekalian, Insya Allah salah satu bagian dari agenda kita yang terpenting nanti adalah begitu Partai Keadilan Sejahtera memimpin negeri ini, kita akan memunculkan apa yang kita sebut dengan New Economic Policy (kebijakan ekonomi baru). Saya bertemu dengan beberapa doktor ekonomi. Saya bilang, saya tidak terlalu ahli dalam ekonomi. Tetapi yang bisa saya pahami adalah hal-hal berikut ini. Ilmu ini adalah ilmu empiris. Dan yang namanya teori itu adalah kebenaran yang terulang-ulang. Yang kemudian dirumuskan, diformulasikan. Dia tidak ada sebelum pengalaman itu ada.
Teori itu adalah suatu rumusan atau suatu pengalaman. Dan apa yang kita pelajari dalam ilmu ekonomi makro dalam teori-teori makro ekonomi itu, pada mulanya adalah pengalaman rosevelt di Amerika. Ketika dia memimpin Amerika dalam sejarah, waktu Amerika menghadapi depresi ekonomi besar. Dan lucunya ikhwah sekalian, Rosevelt ini adalah satu-satunya presiden Amerika yang memimpin Amerika selama empat periode dan melanggar konstitusi Amerika. Dan orang ini lumpuh. Karena itu kalau beliau akan memberikan motivasi selalu menggunakan radio. Supaya tidak banyak orang yang tahu kalau dia itu lumpuh. Dia memang punya penasehat ekonomi yang namanya Kens. Tapi kemudian yang lebih penting adalah bahwa dia mempunyai suatu pengalaman yang kemudian dicatat dan diformulasi menjadi sebuah ilmu. Lalu orang perlahan-lahan mulai belajar bahwa ada sesuatu yang kita sebut dengan ekonomi makro.
Jadi kita kembalilah kepada persoalan ekonomi dasar ini. Ini adalah masalah yang sederhana, jangan dibikin rumit oleh para ilmuwan. Saya bilang kepada seorang ahli ekonomi yang sering muncul di TV, kalau teori itu adalah satu formulasi terhadap satu kebenaran yang terulang dalam praktek. Kan akhirnya teori itu sama seperti obat. Ada masa berlakunya. Apakah ibu yakin bahwa teori-teori ini, sekarang ini belum expired? Masih bisa kita pakai?.
Jadi ikhwah sekalian, janganlah kita semuanya dibuat ragu oleh teori yang diperumit untuk masalah yang sebenarnya tidak terlalu rumit kalau kita benar-benar mau bekerja untuk rakyat kita semuanya. Dari dulu juga kita belajar dalam Sirah Nabawiyah, bahwa Bilal Bin Rabbah seorang budak. Pada suatu waktu pernah menjadi Gubernur di Syam dan kita tidak pernah menemukan suatu catatan dalam Sirah. Sejak kapan Bilal belajar di Lemhanas misalnya. Apalagi kuliah di Harvard. Yang kita temukan dalam fakta sejarah kita di Indonesia sekarang ini adalah bahwasanya negeri kita ini bangkrut di tangan para doktor-doktor itu semuanya. Bukan karena doktor negeri kita bangkrut, tapi saya ingin mengatakan bahwa itu sering kali tidak ada hubungannya.
Lebih dari itu persoalan masalah kompentensi tehnik itu yang kita perlukan. Yang lebih kita perlukan ikhwah sekalian adalah cara mengelola orang. Cara mengelola potensi-potensi terbaik bangsa ini. Dan Alhamdulillah kita di PKS ini mempunyai pengalaman yang sangat kaya dalam mengelola orang. Dan itu semuanya merupakan suatu modal yang cukup, jika kita memang benar-benar mendapatkan amanah memimpin bangsa ini. Jadi ikhwah sekalian kita tidak perlu ragu. Mengelola negara itu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan mengelola SDIT. Dua-duanya adalah organisasi, sifat-sifat dasar pada organisasi itu sama pada kedua-duanya. SDIT punya bendahara, negara juga punya bendahara. Dulu sahabat Rasulullah ketika masuk ke Persi setelah menang dalam perang Qadisiyah, ada sahabat yang mendapat perak, dia tidak tahu kalau itu perak. Lalu dia makan, karena dia pikir bahwa itu garam. Tapi walaupun demikian mereka menjadi pemimpin peradaban. Apalagi antum semua adalah orang-orang yang terdidik. Tidak benar-benar mulai dari nol sama sekali. Karena itu, ikhwah sekalian. Sindrom ketakutan untuk menang ini yang disebabkan karena kita tidak percaya diri kepada kemampuan kita, itu perlu kita hilangkan pertama kali.
Yang kedua ikhwah sekalian yang membuat sindrom ini muncul adalah karena ada pemahaman yang berkembangan di kalangan kita semuanya dan menurut saya ini adalah pemahaman yang perlu kita luruskan. Kita perlu hati-hati pemahaman yang selalu memisahkan antara tarbiyah dengan politik. Kita perlu hati-hati menerjang kekuasaan karena itu adalah fitnah. Ikhwah sekalian, kekuasaan jelas adalah fitnah. Harta juga adalah fitnah, wanita juga adalah fitnah. Bukan hanya tiga ini, anak-anak juga adalah fitnah. Istri-istri kita juga semuanya adalah fitnah.
Wahai orang-orang yang beriman, ada diantara isteri-isteri dan anak-anak kamu yang merupakan musuh bagi kamu, maka hati-hatilah kepada mereka. (at-taghabun : 14)
Kalau antum pulang, jangan membawa satu potong ayat ini. Insya Allah antum akan berubah pandangan kepada isteri antum semuanya. Juga berubah cara antum memandang anak-anak.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلاَدُكُمْ فِتْنَة
Sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah. (at-taghabun ; 15)
Tapi coba kita lihat Rasulullah Saw. Ketika menyuruh kita menikah :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج
wahai pemuda barang siapa yang mampu menikah, maka menikahlah.
Yang belum menikah niatkan segera untuk menikah. Sebelum pemilu 2014. Karena Rasulullah Saw mengatakan :
سراركم عزابكم وسرار ماتاكم عزابكم
Yang paling buruk diantara kalian adalah yang bujangan dan seburuk-seburuk orang yang mati adalah yang mati dalam keadaan bujang.
Begitu kita menikah Rasulullah mengatakan : tanaakahu takaatsaruu, menikah dan perbanyaklah anak-anak kalian.
Khalid bin Walid ketika anak-anaknya semuanya meninggal karena diserang tha'un semua anaknya 42 meninggal sekaligus. Yang paling terakhir meninggal di kalangan sahabat rasulullah adalah Anas bin Malik, anaknya lebih dari 100 dan umurnya pun lebih dari 100 tahun. Dulu waktu Rasulullah hidup rasio umat Islam dengan penduduk bumi adalah 1 : 1000. Seribu lima ratus kemudian rasio penduduk muslim dengan muslim adalah 1:5.
Apa rahasia dari pertumbuhan demografi yang dahsyat ini? Bahkan beberapa bulan yang lalu vatikan secara resmi mengumumkan bahwa jika agama-agama Kristen itu tidak dianggap satu (maksudnya sekte-sektenya dipecah; katolik, protestan) maka agama terbesar didunia ini adalah Islam, terhitung sejak tahun ini. Jumlah penduduk Islam di seluruh dunia adalah 20%. dan umat katolik turun menjadi 17%. Memang kalau digabungkan semuanya umat Kristiani ini menjadi 33%. Saya ingin menjelaskan kepada antum rahasia dari pertumbuhan demografi ini. Sebagian dari rahasia pertumbuhan demografi itu adalah : tanaakahu takaatsaru fa innii mukatsiron bikumul umamaa yaumal qiyamah. Wanita itu adalah indah. Tapi al-qur'an mengatakan pada waktu yang sama: Fankihuu maa thaabaalakum minann nisa matsnaa wa tsulaatsa
Begitu juga dengan harta, begitu juga dengan kekuasaan. Jadi ikhwah sekalian kalau iqomatuddiin(menegakkan agama) itu adalah faridhah syar'iyyah.
وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Wa maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib.
Dimana bagian dari proses iqomatud diin itu adalah iqomatud dunya – iqomatud daulah. Maka iqomatud daulah itu menjadi wajib bagi kita semuanya. Dan kalau itu semuanya merupakan suatu kewajiban -ikhwah sekalian- maka tentu ada rahasia yang perlu kita ketahui di sini. Rahasianya adalah karena ini adalah perintah. Tetapi di dalam perintah ini terkandung jebakan yang banyak. Jebakan itu adalah fitnah. Oleh karena itu yang bisa memikul beban perintah ini adalah orang-orang kuat. Maka ketika Abu dzar al-ghifari datang kepada Rasulullah SAW : يا رسول الله وليني Yaa Rasulallah walliinii (jadikan aku gubernur ya rasulullah). Rasululah mengatakan :
يا أبا ذر إنك ضعيف إنها أمانة وإنما يوم القيامة لندامة
Yaa Abaa dzar innaka dha'iif, innahaa amanah wa innamaa yaumal qiyaamah lanadaamah. Wahai Abu dzar sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya ini adalah amanah dan tentunya ini di hari kiamat menjadi sumber penyesalan. Jadi kita semua ikhwah sekalian sedang memikul amanah yang sangat berat. Dan itu sebabnya Ibnu Taimiyah dalam as-siyaasah asy-syar'iyyah mengungkapkan
أفضل الأعمال الصالحة الأخذ بالولاية
afdhalul al-a'maala shalihah al-akhdzu bil wilayah
(amal shaleh yang paling afdhal adalah merebut kekuasaan).
Jadi antum sekarang -ikhwah sekalian- ada diambang pekerjaan amal shaleh yang paling afdhal itu. Sekarang coba antum lihat konflik apakah yang terjadi dikalangan sahabat begitu Rasulullah Saw wafat. Yaitu Bani Tsaqifah. Dan salah seorang pembesar Anshar itu, bahkan meninggal tidak sempat membai’at Abu Bakar. Tetapi ini semuanya memberikan kita kesadaran, bahwa ketika Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasanya afdhalul al-a'maala shalihah al-akhdzu bil wilayah (amal shaleh yang paling baik adalah merebut kekuasaan). Dia juga tahu bahwasanya di dalam perintah ini terkandung banyak jebakan dan hanya orang kuat yang benar-benar bisa lolos di sini. Memiliki anak yang banyak –ikhwah sekalian- itu beban. Yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang kuat. Begitu juga yang lain-lainnya.
Ikhwah sekalian, oleh karena itu pengingatan Qur’an ini tentang adanya unsur fitnah dan jebakan di dalamnya ini; di dalam kekuasaan, di dalam harta, di dalam wanita dan lain-lainnya semuanya itu peringatan. Ini sama sekali tidak mengandung unsur larangan, melainkan disertai dengan perintah. Tetapi peringatan ini penting untuk diberikan kepada kita semuanya. Supaya kita tidak mengubah apa yang sebenarnya yang merupakan sarana ini menjadi tujuan. Itu adalah intinya.
Maka, negara itu adalah alat yang kita perlukan. Harta itu juga alat bukan tujuan. Kita memerlukan hal itu sebagai sumber daya. Karena kita semua mengetahui suatu kaidah: Innallaha layaza’u bi shulthoni ma laa yaza’uhu bil qur’an. Sesungguhnya Allah bisa memberlakukan kehendaknya dengan kekuasaan, sesuatu yang tidak diberlakukannya dengan hanya al-qur’an. Inilah polisi tidur pertama yang harus kita hilangkan dari pikiran kita semua.
Polisi tidur yang kedua yang harus kita hilangkan dari pikiran kita semuanya adalah ‘uqdatul khaufi minal ‘aduw (sindrom ketakutan kepada lawan). Karena kita berpikir partai-partai besar itu masih terlalu besar untuk kita lampaui. Tetapi ikhwah sekalian, perlahan-lahan saya kira sindrom ini mulai hilang dari kepala kita semuanya. Kita sudah mempunyai pengalaman dikeroyok 20 partai di Jakarta. Dan kita telah menunjukkan eksistensi kita bahwa kita mampu bertahan. Bahkan ikhwah sekalian setelah Pilkada Jakarta ini, banyak sekali orang yang datang kepada kita di PKS ini untuk meminta dukungan PKS. Bukan terutama untuk menang dalam Pilkada, tetapi terutama untuk merasakan romantika perjuangan seperti itu. Jadi mereka merasakan bagaimana caranya partai ini bisa bertahan. Partai-partai lain mengatakan ini PKS tahu bahwa mereka akan kalah dalam pilkada, tapi mereka tetap menyuruh kadernya untuk maju karena mereka sedang menguji daya tahan kader-kadernya sendiri.
Ikhwah sekalian, apalagi ada lingkungan media, lingkungan hawa politik dan juga hawa sosial, ada semacam tuntutan baru dari kalangan masyarakat ini. Karena telah bosan menyaksikan kegagalan para pemimpin transisi ini. Begitu kita menang di Jawa Barat, begitu kita menang di Sumatera Utara, mengapa tiba-tiba muncul isunya adalah pemimpin muda? Karena itu benar-benar adalah suara hati nurani masyarakat. Oleh karena itu ikhwah sekalian, panggilan hati nurani masyarakat inilah yang harus kita jawab sekarang. Dan menurut saya sepuluh tahun pembelajaran dan sepuluh tahun performance politik dalam tahun-tahun yang sulit ini, cukuplah bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa PKS lahir di tengah krisis, tumbuh di tengah krisis dan Insya Allah akan keluar sebagai pemimpin di tengah krisis.
Sindrom yang ketiga yang harus kita hilangkan dari pikiran kita semuanya adalah kita sering kali berfikirjanganlah kita terlalu terburu-buru memimpin negara. Nanti kejadian FIS di Al-jazair akan terjadi. Bagaimana nanti kalau kita gagal? Bagaimana nanti kalau kita diboikot oleh kekuasaan asing adidaya di dunia ini? Kita juga semua tahu bahwa untuk memimpin republik ini diperlukan empat hal. Dalam platform politik: yang pertama adalah bahwa kita diterima oleh kekuatan-kekuatan adidaya khususnya Amerika dan Eropa. Yang kedua kita diterima oleh kekuatan regional seperti China, Australia, dan Asia. Yang ketiga kita diterima oleh kekuatan-kekuatan politik lain di negeri kita sendiri. Dan yang keempat kalau kita punya solusi ekonomi.
Tapi ikhwah sekalian, kemarin di Kalsel ada Bedah buku platform. Saya ditanya oleh salah seorang pegawai Bank Indonesia yang menjadi panelis dan mengkritik buku platform kita ini. Saya mengatakan kepada mereka bahwa kita dari sekarang ingin mengatakan kepada dunia. Bahwa mereka sama sekali tidak punya alasan menolak kehadiran Partai Keadilan Sejahtera. Itu sebabnya sejak tahun 2005 kita sudah memasukkan ini dalam poin keempat dalam visi PKS 2004-2009. Meningkatkan penerimaan internasional terhadap PKS. Dan Insya Allah ikhwah sekalian, alhamdulillah semua draft-draft ini sudah kita siapkan. Kita akan menunjukkan juga kepada dunia bahwasanya kita mampu bekerja sama dengan semua kekuatan-kekuatan dunia saat ini. Kita kemarin sudah kedatangan Partai Buruh dari Australia dan meminta untuk segera kita menandatangani MOU kita dengan mereka setelah kita datang ke sana pada tahun lalu. Dan Insya Allah ini akan kita lakukan pada tahap ketiga dari tahapan kerja TPPN. Kita juga sudah mendapatkan draft surat dan kita sudah jawab draft surat dari Partai Komunis Cina untuk menandatangani MOU dan kerjasama bersama. Kita sudah menyampaikan kepada mereka bahwa rombongan PKS, karena kita diundang tahun ini ke sana, akan datang ke Beijing Insya Allah pada bulan Oktober tahun ini. Kita juga sudah mempunyai rencana kunjungan Insya Allah ke Turki. Semua akan kita tunjukkan bahwa sengaja kita ambil sample ini; Australia, Cina dan Turki. Semuanya bisa bersatu dan bekerja sama dengan Partai Keadilan Sejahtera.
Dan dengan begini ikhwah sekalian, kita belajar dari salah satu siasat Rasulullah Saw sebelum fathu makkah. Sebelum fathu makkah itu pada tahun ke-7 terjadi perang Mu’tah. Perang Mu’tah itu ikhwah sekalian, adalah perang yang terjadi antara tiga ribu pasukan kaum muslimin melawan dua ratus ribu pasukan romawi. Itulah pertempuran pertama jazirah arab dengan romawi. Empat orang komandan lapangan disitu syahid semuanya; Ja’far bin Abi thalib, Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah dan seterusnya. Kemudian tongkat komando diambil alih oleh Khalid bin Walid. Khalid bin walid berusaha menarik mundur pasukan ini. Begitu beliau kembali ke madinah, Khalid bin Walid dilempari batu oleh anak-anak madinah karena dianggap lari dari perang. Tapi Rasulullah disaat itu justeru memberi gelar kepada Khalid bin Walid, Syaifullah al-mashub (pedang Allah yang terhunus). Dan satu tahun kemudian terjadilah fathu makkah itu. Itu adalah diplomasi, bahwa pada tahun ke tujuh itu jika kaum muslimin sudah berhasil melawan Romawi. Sebenarnya Rasulullah ingin menyampaikan pesan kepada Quraisy: lawan kami sekarang ini bukan lagi Quraisy tapi Romawi. Dan secara perlahan-lahan ikhwah sekalian, kita mencoba membangun partai kita ini sebagai satu institusi politik yang mempunyai kualifikasi dan standard global, Insya Allah. Dan karena antum memiliki semua kelayakan untuk memimpin negara kita di kemudian hari.
Ikhwah sekalian, sindrom-sindrom inilah yang harus kita hilangkan semua dari kepala kita semuanya. Dan jika sindrom ini kita hilangkan, mengertilah kita mengapa kita pula perlu menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran kita semuanya untuk menang dalam pemilu 2014 nanti. Sekaligus pula kita perlu mengerti alasan yang mengharuskan kita menang. Bukan sekedar sebuah kebanggaan sejarah. Tetapi ini adalah suatu gerakan penyelamatan bangsa dan negara kita semuanya. Mudah-mudahan di tangan kita semuanya, di tangan-tangan yang setiap hari berwudlu ini. Di tangan-tangan yang setiap hari berwudlu dan mensucikan diri ini dan di depan / dihadapan wajah-wajah yang setiap hari bersujud ini. Insya Allah, Allah SWT membuka wajah Indonesia menjadi pusat peradaban dunia.
Sumber : beritaihima.com