myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~
Tampilkan postingan dengan label Analisa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2011

Intifhadah; Perang Batu Yang Melahirkan HAMAS



Pekan awal Desember ini bangsa Palestina baru saja memperingati tahun ke-24 dari meletusnya Intifadhah Pertama, atau yang dikenal juga dengan gerakan perlawanan rakyat dengan bersenjatakan batu. Ledakan perlawanan bangsa Palestina ini terjadi merata di seluruh wilayah Palestina, baik mereka yang berada di Tepi Barat atau pun Jalur Gaza.
Rakyat Palestina dalam jumlah besar menggelar aksi protes terhadap penjajah Israel, yang membuat kondisi kehidupan mereka kian memburuk dari hari ke hari, seperti kondisi buruk di kamp-kamp pengungsian, pengangguran yang terjadi dimana-mana, terinjak-injaknya harkat martabat bangsa, serta penindasan yang terjadi setiap hari oleh Zionis penjajah terhadap rakyat Palestina.

Tanggal 8 Desember 1987 merupakan kali pertama Intifadhah meletus di Palestina, peristiwa itu bermula setelah seorang supir truk Israel menabrak sekelompok pekerja Palestina di pos pemeriksaan Beit Hanoun (Erez), yang menyebabkan syahidnya 4 orang dari mereka dan sebagian lainnya terkena luka cukup serius.
Esok harinya, usai prosesi pemakaman terhadap 4 syuhada Palestina itu dilangsungkan, meledaklah gerakan rakyat yang meletus secara spontan menggiring langkah mereka menuju pos-pos militer Zionis penjajah. Gelombang massa itu lalu menghujani pos-pos tersebut dengan kerikil bebatuan. Serangan bersenjatakan batu itu lalu dibalas Israel dengan menembakkan timah panas, sehingga menambah jumlah angka syuhada pada saat itu.
Berangkat dari ledakan intifadhoh tersebut, para analis kemudian menyimpulkan asbab gerakan perlawanan rakyat ini terjadi, Pertama, rakyat Palestina melakukan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Zionis Israel, Kedua, tidak adanya perhatian yang diberikan oleh bangsa Arab terhadap permasalahan yang menimpa Palestina.
Sedangkan dari sisi penjajah Israel, mereka mengira bahwa gerakan perlawan rakyat intifadhoh ini tak akan berlangsung lama dan berkepanjangan, namun prediksi penjajah itu salah total. Rakyat memperluas bentuk perlawanannya dengan cara lain, diantaranya dengan serepak melakukan aksi mogok kerja. Sedangkan anak mudanya, seperti mereka para mahasiswa yang kuliah di kampus Universitas Islam di Jalur Gaza, melakukan aksi keliling kota dan menyerukan rakyat untuk melakukan revolusi.

Aksi Mogok Massal
Gerakan Intifadhoh Pertama ditandai dengan aksi demonstrasi sipil dalam jumlah besar guna menentang penjajahan yang dilakukan Zionis Israel. Tanda-tanda akan lahirnya perlawanan rakyat ini sebenarnya sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum intifadhoh meletus, namun para pemimpin PLO kala itu tidak melihat ini sebagai suatu masalah, mereka berkeyakinan bahwa rakyat yang melakukan aksi seperti itu tidak tahu masalah sesungguhnya yang terjadi di Palestina. Sedangkan para penjajah menilai aksi seperti ini berpotensi menjadi sebuah perlawanan yang besar, namun mereka tidak mengatasi hal ini dengan penuh serius.
Sejak awal meletus Intifadhoh Pertama ini Israel kemudian memberlakukan jam malam. Para penduduk Palestina di Jalur Gaza dan 80% penduduk di Tepi Barat terkena pemberlakuan jam malam itu. Kampus-kampus dan sekolah-sekolah kemudian ditutup oleh penjajah, dan sebanyak 140 orang petinggi Palestina yang dituduh terlibat dalam gerakan intifadhoh ini dideportasi, dan ratusan rumah penduduk mereka robohkan.
Perempuan Palestina pun memiliki peranan penting ketika Intifadhah pertama berlangsung, mereka telah mengerahkan dukungan yang nyata, sebuah data menyebutkan bahwa sepertiga dari korban Intifadhoh kala itu adalah wanita. Bahkan ada operasi bom syahid melawan penjajah yang eksekutornya adalah wanita, seperti peristiwa di Dimona, Negev pada tahun 1988. Dari mereka juga ada yang berhasil melakukan penculikan terhadap tentara Israel untuk kemudian ditukar dengan tawanan Palestina.
Gerakan Hamas kemudian mendeklarasikan pendirian organisasinya setelah Intifadhoh pertama itu meletus, dan berdiri pada tanggal 14 Desember 1987, gerakan ini kemudian membuat jejaring intelijen dengan nama "Majd" untuk memburu mereka yang berkhianat dan menjadi mata-mata untuk Israel. Disamping itu mereka juga melakukan perlawanan dengan menyerang pasukan militer penjajah Israel. Dan pada musim panas di tahun berikutnya, Hamas menjadi organisasi yang sangat diperhitungkan di Tepi Barat.
Pusat Keamanan Penjajah Israel kemudian memperlebar aksi militernya pada bulan Juli dan September pada tahun 1988, mereka kemudian menangkap sebanyak 120 orang petinggi Hamas, namun gerakan Islam di Palestina tetap eksis dan berkonsolidasi di internalnya hanya dalam beberapa minggu setelah itu.
Kemudian penjajah kembali menggelar aksi militernya yang kedua pada bulan Mei 1989, dan menangkap Syaikh Ahmad Yasin, pendiri Hamas, bersama dengan 260 orang aktivis Hamas lainnya, namun demikian Israel sebenarnya memahami betul, bahwa Hamas masih tetap eksis dan mampu untuk melakukan konsolidasi di internalnya, terlebih didukung dengan gerakan rakyat yang dikenala dengan Intifadhah.
Perlawanan bersenjata merupakan representasi dari 15% model perlawanan yang dilakukan rakyat Palestina. Gerakan perlawanan yang ada di Palestina seperti Hamas, Fatah, Jihad Islami dan Front Islam dan Front Rakyat & Demokrasi, mereka merupakan faksi-faksi yang memiliki peranan penting dalam mengatur Intifadhah, sehingga banyak memberikan kerugian di pihak penjajah, baik dalam jumlah korban jiwa maupun materi.
Peranan Warga Palestina yang Berada di wilayah jajahan Israel
Banyak orang yang tidak mengira pada saat itu, bahwa mereka warga Palestina yang berada di dalam wilayah penjajah Israel, dapat bereaksi lebih cepat daripada PLO yang saat itu berada di Tunisia. Apabila mereka yang berada di tanah palestina berjuang dengan senjata melawan penjajah, maka mereka yang berada di dalam wilayah “Israel” pun juga berjuang dengan menggunakan HAM mereka dengan memanfaatkan sistem demokrasi yang ada di Israel, seperti kebolehan untuk mengirim makanan bergizi dan obat-obatan kepada mereka yang berada di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Data statistik menunjukkan, bahwa dalam Intifadhah pertama mereka yang syahid berjumlah 1.162 orang, sebanyak 241 orang dari mereka adalah anak-anak. Sebanyak 90.000 orang menderita luka-luka, 15.000 orang menjadi tawanan, sebanyak 1.228 unit rumah penduduk Palestina dirobohkan, 140 pohon-pohon dari kebun warga Palestina dicabut. Sedangkan jumlah yang tewas dari pihak Israel selama Intifadhah pertama ini sebanyak 160 orang.
Intifadhah kemudian berangsur tenang pada tahun 1991, dan benar-benar berhenti total bersamaan dengan adanya penandatanganan kesepakatan Oslo antara Israel dengan PLO pada tahun 1993.
Abdullah Atturkmani
Kolumnis di koran harian "Palestina"

Rabu, 17 Agustus 2011

Kemerdekaan RI: Anugerah Allah Melalui Jihad Pahlawan dan Pejuang Islam



Oleh: Wildan Hasan
Peminat Pemikiran Islam, tinggal di Lemah Abang Cikarang

“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf 96)

66 tahun yang lalu Indonesia memerdekakan diri pada hari Jum’at, hari paling mulia dalam Islam, bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan paling mulia dalam Islam. Tak diragukan lagi, sangat jelas artinya bahwa kemerdekaan adalah anugerah dari Allah SWT. Demikianlah, maka disebut dalam muqaddimah UUD 1945 bahwa atas berkat rahmat Allah telah sampailah Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.

Dua bulan kemudian setelah Agustus, setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar kemerdekaan, Bung Tomo.

Namun naas, karena sejarah milik penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun juga, akhir sejarah, Allahlah yang menentukan. Bung Karno terkena tulah dari ucapannya yang terkenal "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya." Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya yang tidak mampu menghargai jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.

Bung Tomo yang setiap pidatonya dalam membakar semangat jihad rakyat Indonesia melawan penjajah kafir selalu diawali dan diakhiri dengan Takbir, Jum'at 7 November 2008 akhirnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional bersama Dr Mohammad Natsir dan KH Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini –seandainya masih hidup– mungkin akan bergumam "ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?" Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.

Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ulama besar yang diakui dunia, dai, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosi yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya Pak Natsir, demikian biasa disapa, dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Di mana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Pak Natsir.

Sedangkan KH Abdul Halim adalah ulama karismatik asal Majalengka Jawa Barat –penulis sendiri lahir dan besar di kota yang sama, merasakan karisma beliau yang begitu kuat pada masyarakat setempat– melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan metode pendidikannya yang khas.

Lalu apa pentingnya gelar Pahlawan Nasional bagi Bung Tomo, Pak Natsir dan KH Abdul Halim? Buat mereka bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan sejati, yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah SWT (pahala-wan). Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih; para kyai, ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang, pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta Islam.

Para pejuang kemerdekaan berjuang atas motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak akidah, umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah SWT berfirman,

“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…” (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)

Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah UNPAD, Dr Ahmad Mansur Suryanegara, tokoh pejuang kemerdekaan asal wilayah timur Nusantara, Thomas Mattulesy ternyata seorang muslim yang bernama Muhammad atau Ahmad Lesy. Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah tersebut.

Dalam buku Neiuw Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat(hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan).

…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah…

Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah. Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah Maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga detik ini.

Padahal, menurut para dai yang bertugas di sana, termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan, seorang Da’i putra asli daerah, warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka disyahadatkan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.

...Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap pada pembodohan struktural terhadap rakyatnya...

Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain semuanya adalah para ulama dan santri.

Konsekuensinya umat-umat yang lain khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!”(hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah ke-99 di Subang 22 November 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak, ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan kemerdekaan.

...umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka tidak mungkin bangkit berjuang melawan penjajah dan membunuh saudara seimannya...

Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif), apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng ataudidomplengkan oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang habis-habisan menolak Piagam Jakarta. Hingga saat ini, umat Kristiani senantiasa menolak habis-habisan bila ada perundang-undangan yang mengatur ibadah dan muamalah umat Islam. Aneh, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, sehingga engkau mengikuti millah mereka.” (Al-Baqarah: 120)

Begitu besarnya peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya:

1. Pengakuan George Mc Turner Kahin seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3 faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1) Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak hanya mengajari berjamaah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah, 3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.

…Pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara...

2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi (Bangsawan/ningrat) saja.

3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.

4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap.

Pada hakikatnya dan seharusnya negeri ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor historis yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung nilai-nilai syariat.

…Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922)…

Dengan dasar tersebut sungguh tidak logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga sebenarnya belum murni syariah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya, mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat Islam.

Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah SWT. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah SWT….” Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah SWT tidak mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata modern penjajah kafir.

Para muarrikhin (sejarawan) mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.

Sebagian besar dari kita atau anak-anak kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Di mana pemikiran dan perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.

Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!

voa-islam.com

Minggu, 14 Agustus 2011

Taqwa dan Bahagia



Oleh: Dr. Adian Husaini

Allah SWT menyeru kepada kita semua – orang-orang mukmin -- untuk melaksanakan shaum (puasa) Ramadhan, agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. (QS 2: 183). Ya, menjadi orang yang taqwa, adalah tujuan utama ibadah Ramadhan. Mungkin tidak mudah bagi banyak orang untuk membayangkan apa nikmat dan enaknya menjadi orang yang bertaqwa?

Berbeda halnya, misalnya, dengan menjadi presiden, anggota DPR, menjadi direktur, menjadi selebritis. Tergambarlah dengan mudah, enaknya jadi seorang Presiden. Kemana-mana dikawal, masuk keluar mobil pintu dibukakan. Tas dibawakan. Jika lewat di jalan raya, bisa dengan leluasa, karena semua harus menyingkir dari laluannya. Banyak anak muda membayangkan enaknya menjadi selebritis. Kemana-mana dikerubuti penggemar. Selain terkenal, uang pun mudah dia dapatkan. Cukup modal tampang cantik atau jelek sekalian; buka suara sebentar, dan berlenggak-lenggok beberapa saat, sudah bisa masuk TV dan dipuja-puji di sana sini. Sebagian lagi, cukup jual keberanian buka-bukaan, sudah langsung menjadi pujaan.

Lalu, al-Quran memerintahkan kita berpuasa, bersusah payah beribadah, pagi, siang dan malam, supaya menjadi orang yang taqwa! Seruan ini memang khusus bagi orang yang beriman. Orang kafir-materialis-sekularis-liberalis jelas tidak terkena seruan ini. Sebab, tatapan mata dan pikiran mereka hanya terhenti pada aspek materi dan dunia ini saja. Mereka merasa hebat dan merasa berhak mengatur Tuhan, sehingga hukum dan aturan Tuhan dicerca, karena – kata mereka -- tidak sesuai dengan konsep Hak Asasi Manusia.

Orang mukmin tentu berbeda dalam melihat realitas wujud yang ada. Tatapan mata dan pikirannya menembus batas-batas benda yang kasat mata. Ramadhan dilihatnya bukan sekedar bulan-bulan biasa yang datang silih berganti setiap tahun. Ramadhan dilihatnya sebagai bulan mulia, dimana pintu-pintu rahmat, ampunan, dan barokah Allah dibuka seluas-luasnya. Orang mukmin-muttaqin beriman kepada hal yang ghaib, meskipun tidak tertangkap panca indera.

Maka, memang sudah seharusnya, orang mukmin merindukan status taqwa. Sebab, status taqwa adalah posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia. Allah sudah memberitahukan kepada kita semua:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang taqwa.” (QS 49:13).
Bukan presiden, bukan menteri, bukan gubernur, dan bukan anggota DPR, yang pasti mulia. Tapi,siapa pun, dan apa pun status dan profesinya, -- jika dia bertaqwa – maka pastilah dia menjadi yang termulia di mata Allah SWT.

Menjadi orang yang taqwa memang luarrrr biasa tinggi derajatnya. Dan orang taqwa pastilah orang yang bahagia. Allah SWT sudah memerintahkan kita: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa.” (QS 3:102). “Maka, bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS 64:16). “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS 33:70). “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberikan rizki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” (QS 65:2-3).

Itulah beberapa perintah Allah agar kita semua benar-benar berusaha menjadi orang yang taqwa. Dijanjikan kepada kita dan bangsa kita, jika kita bertaqwa, maka kita akan mendapatkan berbagai kucuran barokah dari langit dan bumi. (QS 7:96). Maka, jika begitu mulia dan nikmatnya menjadi orang yang taqwa, tentu rugilah kiranya, jika puasa dan ibadah kita tidak mampu mengantarkan kita pada suatu derajat taqwa. Rasulullah saw mengajari kita untuk berdoa, agar kita menjadi orang yang taqwa: “Allahumma inni as-aluka al-huda, wat-tuqa, wal-‘afafa, wal-ghina.” (Ya, Allah aku memohon kepadamu akan petunjuk, ketaqwaan, kesucian dan kemuliaan diri, serta perasaan cukup). (HR Muslim).

Jadi, taqwa adalah suatu kondisi pikiran dan jiwa orang mukmin yang merasakan kehadiran Allah SWT di mana saja dia berada. Dia ridho dengan segala kondisi yang merupakan anugerah Allah. Dia takut untuk bermaksiat kepada Allah. Tapi sekaligus dia juga cinta dan penuh harap – tidak putus asa – dari rahmat Allah. Takwa itu indah. Taqwa itu nikmat. Dan taqwa itu suatu kebahagiaan. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berjuang keras mencapai derajat yang mulia tersebut.

Manusia yang bertaqwa pasti manusia yang bahagia. Hidupnya jauh dari perasaan takut, resah, dan sedih. Tatkala kenikmatan dikucurkan kepadanya, dia bersyukur; dia tidak lupa diri; tidak gembira yang berlebihan. Tatkala musibah melanda, dia sabar; dia yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa izin dan ketentuan Allah SWT. Dia tidak resah dengan nikmat yang diraih oleh saudara-saudara, tetangga, kawan kerja, atau rival politiknya.

Manusia akan sampai kepada derajat taqwa jika dirinya dipenuhi kecintaan dan keridhaan kepada Allah SWT. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya al-Mahabbah, menulis: “Tiap-tiap yang indah itu dicinta. Tetapi yang indah mutlak hanyalah Satu. Maha Esa. Bahagialah orang yang telah sempurna mahabbahnya akan Dia. Kesempurnaan mahabbah-nya itu adalah karena dia menginsafi tanasub (persesuaian) batin antara dirinya dan Dia.” (Dikutip oleh KH Abdullah bin Nuh dalam terjemah dan pengantarnya atas karya Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, (Bogor: Yayasan Islamic Center al-Ghazaly, 2010:v).

Tetapi, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa semua bentuk ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah adalah buah dari ilmu. Kata al-Ghazali: “Ketahuilah saudara-saudaraku – semoga Allah membahagiakan kita semua dengan keridhaan-Nya – bahwa ibadah itu adalah buah ilmu.Faedah umur. Hasil usaha hamba-hamba Allah yang kuat-kuat. Barang berharga para aulia. Jalan yang ditempuh oleh mereka yang bertaqwa. Bagian untuk mereka yang mulia. Tujuan orang yang berhimmah. Syiar dari golongan terhormat. Pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur. Pilihan mereka yang waspada. Dan jalan kebahagiaan menuju sorga.” (al-Ghazali, Minhajul Abidin (Terj. KH Abdullah bin Nuh), 2010:3).

Jadi, kata al-Ghazali, keindahan cinta kepada Allah itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang bertaqwa. Itulah bahagia (sa’adah). Di dunia ini pun kita sudah dapat meraih bahagia, dengan cara mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Bahagia bukan sesuatu yang sifatnya temporal, kondisional, dan tergantung pada faktor-faktor eksternal kebendaan sebagaimana dipahami oleh kaum sekular. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan bahagia (happiness) sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.”
Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia.
Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat-sekular sebagai berikut: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.”

Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus. Seorang yang pekerjaannya setiap hari mengangkat batu ke atas bukit. Sesampai di atas, dia gelindingkan lagi batu itu ke bawah. Sesampai di bawah, dia angkat lagi ke atas bukit. Begitu seterusnya. Katanya, dia mencari dan terus mencari. Kebenaran dan kebahagiaan tidak pernah dia temukan secara permanen. Bahkan, dia sendiri tidak percaya, dirinya bisa meyakini sesuatu.

Cobalah simak fenomena Sisyphus itu di era modern saat ini. Ada cendekiawan yang bangga bahwa setelah dia belajar Islam sampai ke manca negara, akhirnya dia mengaku, bahwa dia tidak tahu kebenaran. Kata dia, hanya Tuhan yang tahu kebenaran. Dia mengajak manusia untuk meragukan kemampuan akalnya sendiri dalam memahami dan menemukan kebenaran. Kata dia lagi, semua hasil pikiran manusia itu relatif. Yang mutlak hanya Tuhan.

Anehnya, manusia seperti ini bangga dengan pendapatnya. Mengaku tidak tahu kebenaran justru bangga! Itu sangat aneh dan merugi tentunya. Betapa tidak! Dengan doktrinnya sendiri, dia sudah mengunci dirinya sendiri dari kebenaran. Bahkan, sesungguhnya, dia telah menghina Nabi Muhammad saw. Jika dia mengatakan, bahwa hanya Allah yang tahu kebenaran, sama saja dengan dia mengatakan, bahwa Nabi Muhammad saw juga tidak tahu kebenaran, sebab beliau juga manusia. Bahkan, tanpa sadar, dia pun sebenarnya telah menghina Tuhan. Sebab, itu berarti, sama saja menuduh Tuhan telah menurunkan Kitab-Nya yang tidak bisa dipahami oleh manusia.

Dalam tataran nilai-nilai moral, pengikut jalan Sisyphus ini juga tidak percaya adanya suatu nilai moral yang mutlak benar. Semua dipandang temporal dan kondisional. Yang baik di satu tempat dan waktu tertentu, belum tentu baik di tempat dan waktu yang lain. Begitu juga dalam soal “bahagia”. Golongan ini menganut asas bahagia yang kondisional dan temporal. Mereka mendefinisikan bahagia sebagai perolehan atas suatu kenikmatan. Menurut mereka, orang akan meraih bahagia jika dia bisa makan enak, mendengar suara indah, melihat pemandangan yang indah, maraih posisi jabatan yang tinggi. Jadi, bahagia, bagi mereka, identik dengan pemenuhan syahwat keduniaan. Kata mereka: anda bahagia jika anda berhasil melampiaskan seluruh syahwat-syahwat keduniaan!

Islam bukanlah agama yang mengharamkan pemenuhan syahwat dunia, sebagaimana diajarkan sejumlah agama. Islam bukan agama ekstrim yang melarang manusia menikmati syahwat-syahwat dunia. Tapi, Islam juga tidak memerintahkan umatnya untuk melampiaskan syahwatnya semaunya sendiri. Islam memerintahkan umatnya untuk bertindak adil, mengendalikan diri dalam pemenuhan syahwat, sesuai dengan aturan Allah SWT. Syahwat mata, telinga, perut, seksual, boleh dipenuhi dalam batas dan aturan-aturan tertentu. Rasululllah saw pernah menegur sebagian sahabatnya yang mereka hendak puasa terus-menerus atau tidak mau menikah dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Itulah hakekat pengendalian diri. Di sinilah shaum Ramadhan memiliki arti yang sangat penting, yakni sebagai upaya latihan pengendalian diri atau mengendalikan hawa nafsu. Sabda Rasululullah saw: “al-Mujaahid man jaahada nafsahu” (HR Tirmidzi, shahih menurut al-Iraqi). Jadi, menahan berbagai syahwat dunia di bulan Ramadhan adalah salah satu bentuk jihad fi-sabilillah. Dengan latihan yang serius dan terus-menerus sebulan penuh, maka diharapkan naiklah derajat ketaqwaan kita. Maka, seharusnya, buah orang yang puasa adalah taqwa, takut untuk bermaksiat kepada Allah. Pejabat yang taqwa harusnya semakin takut menzalimi rakyatnya, atau membiarkan rakyatnya sengsara, sementara dia bergelimang kekayaan dari hasil uang negara yang bukan menjadi haknya.

Para pejabat seperti ini tidak mungkin meraih maqam taqwa dan bahagia. Orang-orang yang hidupnya bergantung pada pujian orang – baik ustad, kyai, ulama atau selebritis – tentulah tidak mungkin akan meraih bahagia. Sebab, pujian itu hanya sesaat saja. Pujian itu suatu ketika akan sirna. Jika dia dipuji karena kecantikannya, maka suatu ketika akan muncul manusia lain yang lebih cantik; atau kecantikannya pun semakin memudar. Seorang pejabat tidak akan selamanya diberi hormat.

Apalagi pejabat yang berakhlak bejat. Dia dihormat karena pangkat; bukan karena harkat dan akhlak. Saat menjabat dia dihormati; dan saat kedudukannya hilang, dia bukan siapa-siapa lagi!

Itu semua adalah syahwat dunia. Sifatnya sesaat, kondisional dan temporal. Itu bukan bahagia, dalam makna yang hakiki. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:

”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).

Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah r.a. merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Orang-orang kaya akan merasa bahagia jika kekayaannya diraih dengan halal dan hartanya diserahkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran. Sebab, dia sangat yakin dengan kehidupan akhirat. Dia bahagia saat menjalankan ibadah. Dia tenang, karena siap bertemu dengan Allah – Sang Khaliq – dan mempertanggungjawabkan seluruh harta yang dimilikinya: dari mana dia peroleh dan untuk apa digunakan!
Seorang muslimah, dia merasa bahagia saat mentaati suaminya – selama tidak bertentangan dengan aturan Allah SWT. Dia tidak merasa tertekan atau menderita.

Beda halnya dengan aktivis kesetaraan gender yang memandang bentuk ketaatan pada suami sebagai suatu diskriminasi dan penindasan perempuan. Seorang suami merasa bahagia tatkala bepergian membelanjakan hartanya untuk anak dan istrinya.

Meskipun dia harus bekerja siang malam membanting tulang. Perasaan bahagia yang kekal akan terjaga selama dilandasi suatu keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT.

Jalan terjal dan mendaki

Tentu saja, untuk meraih kebahagiaan tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”

Memang sudah begitu adanya! Sebab, kata al-Ghazali, Rasulullah saw sudah bersabda:

“Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).

Jadi, memang tidak mudah untuk meraih derajat taqwa dan bahagia. Perlu perjuangan berat. Jalan menuju ke sana mendaki dan tajam. Tapi, tidak ada pilihan lain. Mau sorga atau neraka. Waktu terus bergulir. Tidak memberikan pilihan lain. Kata Imam Al-Ghazali:

“Namun waktu telah berlalu, tak dapat dipanggil kembali. Pendeknya siapa yang sigap, dialah yang beruntung. Bahagia selama-lamanya dan sekekal-kekalnya. Tetapi siapa yang terlewat, maka rugi dan celakalah dia. Kalau begitu, Demi Allah, perkara ini sulit dan bahayanya besar. Karena itu makin jarang saja yang memilih jalan ini. Di antara yang telah memilihnya pun jarang sekali yang benar-benar menempuhnya. Dan diantara yang menempuhnya juga makin jarang pula yang sampai kepada tujuannya serta berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Mereka yang berhasil itulah yang merupakan orang-orang yang dipilih Allah ‘Azza wa Jalla untuk ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Diberi-Nya taufiq dan peliharaan terhadap mereka. Dan disampaikan-Nya dengan penuh karunia kepada keridhaan dan sorga-Nya. Kita mohon semoga Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan yang beruntung memperoleh rahmat-Nya.” (Ibid, hal. 4-5).

Ya! Semoga kita semua termasuk orang-orang yang terus berusaha dan berusaha serta tidak berputus asa untuk menjadi orang yang taqwa, sehingga kita mampu mendaki ke puncak tangga “bahagia” – di dunia dan akhirat. Semoga Ramadhan 1432 Hijriah ini benar-benar menjadi Ramadhan terindah dalam sejarah kehidupan yang sudah kita lalui dan kita diberi kesempatan maraih berkah Ramadhan kembali di masa yang akan datang. Amin.*/Depok, 10 Ramadhan 2011/10 Agustus 2011).

Penulis adalah Ka-prodi Pendidikan Islam-Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM

sumber : www.hidayatullah.com


Wajah Kita Ada Dalam Praktek Berzakat



Oleh: M. Anwar Djaelani

PADA 2010, potensi zakat di Indonesia diungkapkan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidudin. Bahwa berdasarkan kajian Asian Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai Rp100 triliun.

Bagaimana di 2011? Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Naharus Surur, mengatakan potensi zakat di Indonesia sangat luar biasa. Hal ini dia katakan saat memberi sambutan pada Pelatihan Da’i Baznas-MUI, 21/7/2011, di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta. “Potensi zakat di Indonesia bisa menandingi APBN,” jelas Naharus Surur.

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil riset Islamic Development Bank (IDB) pada 2010 disebutkan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 100 triliun. Sementara di 2011, jumlahnya semakin meningkat, potensi zakat mencapai Rp. 217 triliun, dengan perincian Rp. 117 triliun dari rumah tangga dan Rp. 100 triliun dari perusahaan-perusahaan milik Muslim (www.hidayatullah.com 21/7/2011).

Lalu, bagaimana potensi zakat dunia? “Fantastis, Potensi Zakat Dunia Rp 6.000 Triliun” (www.republika.co.id 19/7/2011). Dikabarkan, bahwa potensi zakat dunia mencapai Rp6.000 triliun. Potensi sebesar itu didasarkan dari hitungan potensi zakat dari masing-masing negara Muslim yang tersebar di seluruh dunia.

Angka potensi zakat itu –level nasional ataupun dunia- jelas luar biasa. Bila potensi tersebut dapat dikembangkan secara optimal, maka zakat diyakini dapat mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam seperti tingginya angka pengangguran, kebodohan, dan kemiskinan. Tapi, faktanya, sampai kini masih banyak negara Muslim yang menghadapi masalah tersebut yaitu pengangguran, kebodohan, dan kemiskinan.

Lalu, ingatlah kita dengan suruhan Allah, Tuhan yang Maha Kaya ini: “Dan, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat” (QS An-Nuur [24]: 56).

Memerhatikan ayat di atas, maka terlihat bahwa posisi zakat setara dengan shalat. Bahwa dalam kesigapan mengamalkan zakat seharusnya sama dengan saat kita bersungguh-sungguh menegakkan shalat. Mestinya segenap kaum beriman bersegera untuk menunaikan zakat persis sama dengan saat mereka mendengar muadzin berseru “hayya alash-shalah” (marilah shalat).

Zakat didesain untuk turut memerkukuh “bangunan masyarakat Islam”, sehingga sangat bisa kita mengerti jika Rasulullah SAW sangat serius mengurus masalah zakat. Kitapun mudah memahami jika Abu Bakar RA –Khalifah pertama- sangat ketat (untuk tak menyebut keras) saat menangani masalah zakat.

Maka, akan terus relevan jika kita tiada henti menelaah ilmu-ilmu di seputar zakat. Kita sangat ingin bahwa praktik kita dalam berzakat bisa turut memercepat terwujudnya kejayaan Islam dan umatnya sebagaimana dulu di zaman awal Islam pernah terjadi. Dan, sebaliknya, apa yang pernah secara getir ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha lebih dari seabad lalu menjadi tak berlaku lagi.

‘Nasib’ Zakat

Kita renungkan sebentar tentang ‘perlakuan’ umat Islam terhadap zakat dan akibat yang ditimbulkannya, lewat kesaksian ulama terkemuka Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar Jilid 20. Cendekiawan Muslim dari Universiras Al-Azhar Mesir itu, memberikan analisis yang menarik:

“Islam mempunyai kelebihan atas seluruh agama-agama dan syariat-syariat yang ada, dengan adanya kewajiban yaitu kewajiban zakat, seperti yang diakui oleh para cerdik-pandai pada seluruh bangsa-bangsa di dunia ini. Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban zakat sebagai rukun agama, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara, padahal Allah memberikan kepada mereka rizki yang berlimpah-limpah, akan tetapi kebanyakan mereka melalaikan kewajiban ini. Mereka mengkhianati agama dan umatnya, akibatnya nasib mereka sekarang ini lebih buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini (Yusuf Qardawi, 1993: 1122). Kesaksian yang ditulis lebih dari seabad lalu itu ternyata masih kita alami sekarang ini.

Padahal –sekali lagi- berdasarkan QS An-Nuur [24]: 56 yang telah dikutip di atas, tampak bahwa posisi shalat setara dengan zakat. Dengan demikian, sikap kita harus sama yaitu bersungguh-sungguh dalam menunaikan zakat sebagaimana kita bersungguh-sungguh pula saat menegakkan shalat. Kita harus bersegera menunaikan zakat sebagaimana kita bersegera menegakkan shalat kala mendengar muadzin berseru “hayya alash-shalah” (marilah shalat).

Sayang, fakta tentang pengamalan zakat belum menggembirakan. Meski potensinya besar, tetapi zakat yang terealisasi di Indonesia hanya Rp. 1,2 triliun. Artinya, kesadaran umat untuk berzakat masih tergolong rendah (www.hidayatullah.com 21/7/2011).

Jika zakat yang tergali tak sampai 1%, maka –rasanya- wajah keberislaman kita belum ‘cerah’. Artinya, sebagian (besar?) dari kita tak cukup taat mengamalkan perintah berzakat. Maka, dalam konteks ini Muhammad Rasyid Ridha benar saat menulis: “Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban zakat sebagai rukun agama, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara, padahal Allah memberikan kepada mereka rizki yang berlimpah-limpah, akan tetapi kebanyakan mereka melalaikan kewajiban ini”.

Agar Cerah

Ayo bekerja keras dan tetap jujur, sehingga kita bisa mendapat rizki yang banyak dan halal. Setelah berstatus muzakki, mari segera kita tunaikan zakat. Semoga, dengan bergegas membereskan kewajiban berzakat, kita akan segera merasakan berbagai janji Allah tentang pelipat-gandaan balasan-Nya. InsyaAllah, balasan Allah yang membuat kita bahagia akan datang secara cepat. Dan, wajah kitapun –muzakki dan mustahik- insyaAllah akan sama-sama cerah. []

Dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya

www.hidayatullah.com


Jumat, 22 Juli 2011

Isro Mi'roj Tidak Masuk Akal ?



Oleh: Dr. Adian Husaini

DALAM sebuah acara peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, di Jakarta, pembawa acara menyampaikan narasi, bahwa Isra’ Mi’raj adalah adalah sebuah peristiwa yang harus diterima dengan iman dan tidak bisa diterima dengan akal, karena peristiwa itu memang tidak masuk akal. Mungkin, kita sering mendengar ungkapan serupa; bahwa hal-hal yang ghaib harus diterima dengan iman, bukan dengan akal. Benarkah pernyataan seperti itu?

Ketika itu, saya menguraikan, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj memang tidak masuk di akalnya Abu Jahal. Tetapi, peristiwa tersebut masuk di akalnya Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.. Abu Jahal bahkan menjadikan Isra’ Mi’raj sebagai senjata untuk menarik kembali orang-orang Quraisy dari keimanan Islam. Dan memang, sejumlah orang akhirnya keluar dari Islam, karena menganggap cerita Isra’ Mi’raj sebagai kebohongan dan tidak masuk akal.

Tetapi, provokasi Abu Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak ‘mempan’ untuk membatalkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad saw, pasti cerita itu benar adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi, Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.

Persoalan akal mendapatkan kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Orang dibebani kewajiban menjalankan syariat jika dia sudah “mukallaf”, artinya, dia sudah baligh (dewasa) dan mempunyai akal. Jika hilang akalnya, maka dia bebas syariat. Itulah karunia Allah! Manusia bisa saja menuntut bebas dari melaksanakan syariat Allah, asalkan mereka sudah kehilangan akal.

Memang, dengan akal-lah manusia dikatakan sebagai manusia. Laulal aqlu la-kaanal-insaanu kal-bahaaim. Begitu sebuah ungkapan Arab yang bermakna: tanpa akal, maka manusia ibarat binatang. Manusia menjadi manusia, karena akalnya, bukan karena jasadnya. Lihatlah, seorang ahli fisika Inggris Stephen Hawking! Meskipun tubuhnya sudah lemah lunglai, terhempas di kursi roda, tanpa bisa berkata apa-apa, jalan pikirannya tetap diperhatikan oleh dunia. Meskipun dia sekular, tetapi dia tetap dipandang sebagai manusia. Akalnya masih ada!

Bandingkan dengan seorang yang masih gagah perkasa atau cantik jelita, jika hilang akalnya, maka hilang pula nilainya sebagai manusia. Karena itu, kita melihat ada hal yang kontradiktif pada kaum sekular yang memandang manusia hanya dari segi fisiknya saja. Tengoklah buku-buku sejarah atau Biologi yang diajarkan kepada anak-anak kita! Tatkala membahas tentang asal-usul manusia, mereka hanya berbicara tentang sejarah fisik atau tubuh manusia. Yang mereka teliti hanya sejarah tulang belulang. Mereka hanya meneliti fosil, karena hanya itu yang bisa mereka lihat.

Mereka tidak mengakui adanya RUH yang justru merupakan inti dari manusia. Sedangkan jasad adalah “tunggangan” RUH. Saat bicara tentang sejarah manusia, maka harusnya mereka sampai pada satu momen penting dari sejarah manusia, yaitu tatkala manusia membuat perjanjian dengan Allah di alam arwah. Ketika itu, Allah bertanya: “Apakah Aku ini Tuhanmu?” maka serentak manusia menjawab: “Benar, kami menjadi saksi!” (QS 7:172).

Itulah sebuah momen penting dari sejarah manusia. Bukan hanya menelusuri sejarah tulang belulang. Sayangnya, kaum sekularis dan materialis tidak mengakui informasi yang berasal dari wahyu sebagai “Ilmu”. Bagi mereka informasi wahyu dianggap sebagai dogma, yang tidak bisa diilmiahkan. Informasi tentang RUH, alam akhirat, dan alam ghaib lainnya, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Karena itulah, dalam struktur keilmuan yang banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi sekarang, yang dimasukkan dalam kategori “sains” hanyalah hal-hal yang bisa diindera. Mereka tidak mengakui adanya Sains tentang akhirat, sains tentang sorga dan neraka.

Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu! Informasi tentang kenabian Muhammad saw, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS 3:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti kebenarannya.

Jadi, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan masuk akal. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi pasti pula. Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.

Mungkin ada mahasiswa yang berlagak kritis dan rasional dalam segala hal. Dia mau mengkritisi semua hal. Katanya, “Saya hanya percaya kepada hal-hal yang bisa diindera secara langsung atau yang rasional. Di luar itu, saya tidak percaya!”


Kita jawab: “Anda pun tidak kritis pada diri Anda sendiri. Coba tanyakan dengan cara yang sesopan mungkin kepada kedua orang tua Anda, apa bukti ilmiah yang empiris dan rasional bahwa Anda benar-benar anak mereka?”

Seorang mahasiswa tidak akan pernah menjadi sarjana, jika dia bersikap kritis. Saat dosennya menyatakan, bahwa ini adalah rumus Phytagoras atau hukum ini ciptaan Archimides, maka si mahasiswa yang mengaku kritis tadi, harusnya bertanya kepada dosennya, bagaimana Bapak tahu, bahwa rumus itu berasal dari Phytagoras? Bagaimana membuktikannya? Apakah Bapak melihat sendiri? Kenapa Bapak percaya begitu saja.

Saat seorang dosen atau guru fisika menerangkan bahwa kecepatan cahaya adalah 270 ribu sekian km/detik, maka si mahasiswa harusnya bertanya, “Bagaimana Bapak bisa mengatakan seperti itu. Apa buktinya?”

Syahdan, dulu ada seorang ilmuwan di Indonesia yang terkenal sangat rasional dan “Western oriented”. Dia hanya mau menerima hal-hal yang empiris dan rasional. Suatu ketika, sang ilmuwan ini akan balik kampong dan menaiki Kapal Laut. Maka, temannya, yang seorang cendekiawan Muslim mengingatkan dia: “Jika kamu rasional, harusnya kamu tidak naik kapal, tetapi berenang. Sebab, ketika naik kapal, kamu sudah tidak rasional, karena kamu percaya saja kepada nakhoda atau petugas kapal yang kamu tidak kenal sama mereka!”

Tatkala kita menaiki pesawat terbang, kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis.Saat diumumkan, bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian, dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.

Itulah anehnya manusia. Kadangkala, mereka percaya kepada dukun yang jelas-jelas mengaku bodho, percaya kepada ilmuwan fosil yang belum tentu jujur, percaya kepada pramugari pesawat yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetai, ajaibnya, mereka tidak percaya kepada seorang “manusia” yang kejujurannya diakui oleh bangsanya, diakui oleh kawan maupun lawannya. Bahkan, sejak umur 25 tahun, kaumnya sudah member gelar istimewa “al-Amin”, manusia yang terpercaya.

Jika dukun yang menamakan dirinya sebagai orang bodho bisa dipercaya, mengapa kita tidak percaya kepada Nabi Muhammad saw? Itulah akal Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., yaitu akal yang jernih; akal yang sanggup mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Saat berita Isra’ Mi’raj itu tiba padanya, maka Sayyidina Abu Bakar cukup menggunakan logika yang sederhana: Jika yang mengatakan itu adalah Muhammad saw, pasti itu benar adanya!

Ada lagi sebagian kalangan yang berlagak kiritis kepada Nabi Muhammad saw, kritis kepada sahabat Nabi dan para ulama terkemuka. “Kita harus kiritis!” katanya. Bahkan, masih kata dia lagi, “Kita harus berani kritis terhadap pikiran kita sendiri!”

Dalam acara bedah Novel Kemi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 28 Juni 2011, ada seorang mahasiswa bertanya kepada saya: Apa definisi iman, kafir, dan sebagainya?”

Tentu saja, saya cukup keheranan. Bagaimana seorang yang belajar agama Islam pada level perguruan tinggi masih belum tahu, ada definisi iman dan kafir. Saya jawab, “Kenapa kita tidak merujuk saja kepada pendapat para ulama yang mu’tabarah tentang definisi-definisi tersebut? Lihat saja pendapat Imam al-Syafii, Imam al-Ghazali, dan sebagainya!”

Si mahasiswa tadi sebenarnya sedang menghadapi krisis otoritas. Dia menolak otoritas para ulama Islam, tetapi mengakui otoritas Nasr Hamid Abu Zaid, dan para orientalis. Dia lebih percaya kepada pendapat orientalis ketimbang pendapat ulama. Padahal, setiap bidang ilmu selalu menempatkan otoritas-otoritas tertentu. JIka kita belajar Fisika, maka kita diminta menerima otoritas keilmuan yang dimiliki ilmuwan-ilmuwan besar di bidang Fisika. Sama halnya dengan otoritas di bidang ilmu ekonomi, ilmu Sosiologi, dan sebagainya. Ironisnya, saat ini, otoritas keilmuan di Perguruan Tinggi kadangkala diletakkan kepada gelar formal, dan bukan pada kualitas keilmuan seseorang. Meskipun bodoh dan kurang ilmu, tetapi karena sudah bergelar professor maka dia diberikan otoritas keilmuan di bidangnya.

Jika mahasiswa tidak mengakui otoritas keilmuan seseorang, maka dia tidak akan pernah menjadi sarjana, sebab saat menyusun skripsi, tesis, atau disertasi, pasti dia mengutip sana-sini, pendapat-pendapat dari orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tertentu di bidangnya. Saat membahas tafsir UUD 1945, tentu kita lebih percaya kepada tafsiran Prof. Dr. Jimly ash-Shiddiqy dibandingkan tafsiran Inul atau Thukul.

Untuk menundukkan akal manusia agar menerima kebenaran misi kenabian, maka Allah memberikan bukti-bukti nyata berupa mu’jizat pada para utusan-Nya. Dengan itu, diharapkan, akal manusia akan menerima kebenaran yang berasal dari Allah, yang merupakan sumber kebenaran. Jadi, berita tentang misi kenabian adalah suatu Ilmu dan ilmiah. Adalah ironis, jika berita kenabian tidak dianggap sebagai ILMU, sedangkan informasi tentang kehidupan di bumi jutaan tahun lalu, dianggap sebagai ILMU.

Pintu masuk seorang menjadi Muslim adalah “syahadat”: saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Konsekuensinya, seorang Muslim pasti percaya kepada apa pun yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. Allah adalah sumber ILMU. Allah yang mengajarkan Ilmu kepada manusia, baik yang disampaikan melalui para nabinya, maupun yang diberikan kepada manusia dalam bentuk ilham, dan sebagainya.

Yang jelas, tatkala mendapatkan ILMU, maka kita yakin, bahwa Ilmu itu adalah anugerah Allah. Ilmu adalah karunia Allah. Meskipun manusia bekerja keras, jika Allah tidak menghendaki dia meraih ilmu, maka suatu ilmu tidak akan sampai padanya. Bertemunya upaya manusia dan anugerah Allah akan datangnya suatu makna pada diri manusia, itulah yang dikatakan Prof Syed Naquib al-Attas sebagai suatu Ilmu. Di sini terpadu unsur upaya manusia, sebagai syariat untuk meraih ilmu. Tetapi, pada sisi lain, bagaimana pun, keberhasilan manusia untuk meraih satu ilmu tertentu adalah merupakan anugerah Allah SWT.

Jadi, seorang Muslim adalah seorang yang sangat menghargai akalnya, dan mampu menempatkan akal manusia pada tempatnya. Akal adalah anugerah Allah. Akal digunakan untuk berpikir yang tujuan tertingginya adalah untuk mengenal Sang Pencipta (ma’rifatullah). Pengakuan akan ke-Tuhanan Allah SWT dan kenabian Muhammad saw itulah yang membedakan akal orang mukmin dengan akal orang kafir. Orang mukmin mengarahkan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah.

Orang mukmin paham akan tujuan dan makna hidup yang sebenarnya. Dengan akalnya, orang mukmin paham, bahwa kebahagiaan tertinggi di dunia ini adalah mengenal dan berzikir kepada Allah; bukan menuruti semua tuntutan syahwat. Dengan akalnya, manusia dapat mengenal Sang Pencipta. Dengan akalnya, manusia dapat memahami cara-cara menyembah Sang Pencipta, sebagaimana diajarkan oleh utusan Allah.

Jadi, meskipun sama-sama berakal, ada perbedaan yang mendasar antara akal Abu Bakar ash-Shiddiq dan akal Abu Jahal. Akal Abu Bakar adalah akal yang jernih, akal yang benar (aqlun shahihun), sedangkan akal Abu Jahal adalah akal yang salah, akal yang buruk, akal yang tidak mampu mengantarkan manusia kepada pengenalan Sang Pencipta. Wallahu a’lam bil-shawab. (***).

dari Hidayatullah.com

Rabu, 20 Juli 2011

Terorisme Marak, Jangan Kambing Hitamkan Pesantren



Pondok pesantren dan lembaga lembaga pendidikan Islam lainnya seolah menjadi kambing hitam atas maraknya aksi-aksi terorisme belakangan ini. Padahal ada pihak yang sebenarnya lebih pantas dimintai tanggung jawab atas kasus-kasus terorisme itu.


Mustofa B Nahrawardaya, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), mengatakan, sejak beberapa tahun silam hingga kejadian Bom di Pesantren Umar Bin Khattab, NTB, 11 Juli 2011, seruan demi seruan pencegahan tampaknya lebih banyak ditujukan kepada kaum pesantren, madrasah, maupun sekolah Islam. Berbagai acara roadshow kampanye pencegahan aksi teror sangat dominan dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

"Meskipun siapa saja bisa terlibat dalam aksi pemboman, anehnya lembaga pendidikan Islam seolah menjadi pihak yang patut dikambig hitamkan. Pesantren, kini menjadi sorotan dan didengung-dengungkan sebagai benteng terbaik pencegahan masuknya terorisme dan faham radikalisme," ujarnya, pada Selasa (19/7/2011).

Mustofa mengatakan, salah besar apabila ada pihak yang mengira pesantren maupun lembaga pendidikan Islam menjadi wahana paling efektif untuk menangkal faham radikalisme dan terorisme. Lembaga pendidikan termasuk pesantren hanya mampu menerapkan kurikulum pencegahan radikalisme dan itu membutuhkan waktu lama.

"Proses dan prosedur, serta langkah-langkah lembaga pendidikan Islam untuk mencegah radikalisme, tidak sebanding dengan kehebatan para pelaku, para penggagas, dan para eksekutor yang siap melakukan aksi kapan saja dan dimana saja," katanya.

Ia melanjutkan, ada pihhak yang paling menguasai dan benar-benar mampu mendeteksi adanya ancaman bom, bahkan rencana pengeboman maupun kegiatan sel-sel pelaku. Mereka bukanlah para ustadz, apalagi guru di lembaga-lembaga pendidikan Islam itu, melainkan intelijen.

Pihak yang paling berwenang dan paling bertanggungjawab dalam mencegah aksi radikal, jelas Mustofa, adalah aparat intelijen yang ada di Polri, TNI, dan juga BIN. Semua personel intelijen yang dibiayai oleh negara setiap tahunnya itu, harus menjadi garda terdepan dalam mencegah aksi teror.

"Merekalah yang dilatih, dibiayai, dihidupi, dan memiliki ketrampilan, intuisi, sensitifitas, dan kemampuan khusus untuk mengetahui adanya gerak-gerik rencana pelaku dalam melakukan tahap-tahap awal hingga aksi pengeboman," cetusnya.

Menurut Mustofa, sangat mustahil bagi lembaga selain lembaga intelijen yang mampu mendeteksi pelaku-pelaku bom maupun penyebaran faham-faham radikal yang ada. Dalam hampir 9 tahun terakhir ini, seharusnya personel intelijen sudah berada di pos-pos yang dianggap rawan tumbuhnya terorisme.

"Jika terus ada upaya-upaya penggiringan opini agar lembaga-lembaga Islam menjadi benteng pencegahan terorisme dan radikalisme, semakin menampakkan bukti bahwa tujuan utama kampanye pencegahan terorisme, sebenarnya tidak murni untuk meredam aksi teror, melainkan untuk memperkuat stigma negatif terhadap pesantren," tutupnya.

www.islamedia.web.id

Jumat, 03 Juni 2011

PKS, Pancasila & Maqasid Syariah


Islam
edia
-
Pada Munas II di Jakarta tahun 2010 lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai satu-satunya partai yang secara eksplisit menjadikan Tauhid sebagai falsafah organisasi, resmi memproklamirkan finalisasi Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila, merupakan dasar negara yang difungsikan sebagai sumber dasar hukum negara dan sumber tertib tata hukum dan urutan perundang-undangan Indonesia yang ditegaskan dalam TAP MPR II/MPR/2000.


Hal ini tentu tak lepas dari pro dan kontra yang terjadi di kalangan kader dan simpatisan ataupun masyarakat umum, karena saat itu banyak yang menilai PKS telah berubah ‘warna’nya atas keputusan ini. Ada pihak yang menilai PKS telah ‘berbalik arah’ karena ketika masa orde baru kalangan aktivis tarbiyah, sebagai under-bow PKS, sangat ‘mengharamkan’ Pancasila. Hal ini dikarenakan Pancasila dianggap sebagai thaghut (setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah SWT), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian)), dan ketika PKS telah masuk ke dalam tubuh pemerintahan, anggota PKS yang notabene adalah kalangan tarbiyah pada akhirnya telah menyetujui thaghut Pancasila.


Hal ini telah dijawab oleh ketua Majelis Syuro PKS, Ust Hilmi Aminuddin, bahwa yang ditolak di zaman orde baru itu yakni masalah tafsir tunggal soal Pancasila, karena pada saat itu Pancasila didominasi suatu kelompok untuk menafsirkan secara nasional. Diharapkan tanpa adanya tafsiran tunggal, orang Islam dapat menafsirkan Pancasila menurut versi Islam. Orang Kristen, Hindu, Katolik sesuai tafsirnya sendiri-sendiri, biarkan PKS menafsirkan sendiri.


Senada dengan jawaban ketua Majelis Syuro PKS, keputusan PKS untuk mengakui sebagai Pancasila juga sesuai dengan salah satu cabang ilmu syariah dalam Islam, yaitu Maqasid Syariah.


Pancasila dari perspektif Maqasid Syariah (Tujuan Syariah)


Secara terminologi, menurut Imam as-Syatibi, Maqasid Syariah merupakan tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT, atau penjabarannya adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Untuk dapat mengetahui tujuan hukum tersebut dapat ditelusuri lewat teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.


Maqasid Syariah ini, juga merupakan metode yang dikembangkan untuk mencapai dari dilaksanakannya syari’ah yaitu kemaslahatan umat manusia, bagi Imam as-Syatibi kemaslahatan yang hendak diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan,yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah.


Kebutuhan Daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut Imam as-Syatibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu; memelihara agama (hifd al-din), memelihara jiwa (hifd al-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifd al-nasl), dan yang terakhir adalah memelihara harta benda (hifd al-mal).


Dalam Pancasila, termaktub sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dari perspektif Maqasid Syariah jelas sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang mendukung seluruh warga negara khususnya Ummat Islam dalam memeluk agama Islam, yaitu memelihara agama (hifd al-din). Bahkan, dapat ditafsirkan sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang sesuai dengan nilai Ketauhidan dalam Islam, karena Maha Esa adalah Maha Tunggal (Ahad) yang berarti hanya dapat ditujukan kepada Allah.


Sedangkan dalam sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), ketiga (Persatuan Indonesia), keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan,Dalam Permusyawaratan Perwakilan) dapat merangkum atas kebutuhan jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-aql), dan keturunan (hifd al-nasl), kemudian memelihara harta benda (hifd al-mal) dapat tercapai dari sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).


Kebutuhan Hajiyyah adalah ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini bila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami hambatan dan kesulitan. Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifd al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total tetapi akan mengalami berbagai kesulitan. Dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pemerintah wajib mengusahakan dan membuat kebijakan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.


Kebutuhan Takhsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap atau tertier.Menurut Imam as-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat. Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk arsitekturnya baik dalam design eksterior atau interior itu akan diperindah sesuai dengan taraf perkembagan kebudayaan lokal.


Dalam hal ini, jelaslah bahwa dengan prinsip Maqasid Syariah, bagaimana nilai-nilai yang terkandung (substansi) dari Pancasila sejalan dengan syariat islam dengan mengutamakan azas kemaslahatan yang merangkul seluruh warga negara.


Konsep Musyarakah (Partisipasi Politik) dalam Bernegara


Dalam Platform Pembangunan PKS, Partai ini mempunyai visi yang jelas dalam Mewujudkan masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat yaitu dengan menerjemahkan dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik yang ada dalam rangka Islamisasi kehidupan dan menegakkan nilai-nilai Islam.


Inilah yang kita kenal dengan Musyarakah (partisipasi politik) dengan mengikuti koridor Hukum dan tata negara yang berlaku di Republik Negara Indonesia, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kenegeraan di negara yang mayoritas warga negaranya menganut agama islam baik dalam mimbar parlemen maupun pemerintahan


Sejalan dengan hal ini, Bung Hatta, proklamator Indonesia. Dalam pandangannya, beliau lebih mengedepankan isi atau substansi daripada format atau bentuk. Jadi tak perlu digemborkan judul ‘Negara Islam’ yang lebih terpenting adalah substansi kenegaraan sudah sesuai dengan syariat islam.


Visi PKS, jelas diwujudkan tanpa ‘melabrak’ konstitusi yang berlaku di NKRI, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konstitusi dasar NKRI yaitu Pancasila sudah sesuai dengan nilai syariah Islam (Maqasid Syariah). Sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Ustd Hilmi Aminuddin, jelaslah bahwa posisi Pancasila sebagai common platform atau rujukan bersama dalam lingkup kebangsaan di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, agama, golongan dan ras, sesuai dengan Maqasid Syariah sebagai salah satu cabang dalam ilmu Syariah islam.


Jikalau PKS dengan serta merta menolak Pancasila sebagai dasar negara RI yang sudah lahir sejak hampir 66 tahun yang lalu, dapat dipastikan gelombang perlawanan yang sangat kencang akan lahir dari segala penjuru negeri. Bahkan bukan tidak mustahil, dengan kekuatan yang ‘belum memadai’ bagi PKS, penolakan terhadap Pancasila hanya akan membuahkan ‘kehancuran’ dalam partisipasi politik di RI.


Anjuran untuk Ummat Islam di Indonesia


Dengan berbagai pertimbangan yang ada, pertimbangan Maqasid Syariah, sudah jelas bagi kita untuk meninggalkan pro – kontra atas sikap terhadap Pancasila. Mari kita berlomba - berlomba – lomba dalam kebaikan (Fastabiqul Khairat) dengan bekerja sebaik mungkin dengan kapabiltas yang kita punya demi terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.


Dalam menyikapi perbedaan kelompok – kelompok atau partai Islam yang ada di Indonesia, wajiblah bagi kita selaku ummat Islam mengedepankan persatuan Ummat, bukan memecah belah. Jika kita sejalan dengan prinsip ‘Musyarakah-nya PKS’ yang mendukung Panc maka dukunglah, dengan tenaga, pikiran, baik moril ataupun materil. Jika kita tidak setuju dengan cara (metode) ini, maka cukuplah bagi kita berlapang dada atas perbedaan yang ada.


Wassalam




Aji Teguh Prihatno

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons