myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Kamis, 17 November 2011

Kemenangan Dakwah Tidak Diukur dari Hasil




Oleh: Abu Maryam

” الأجر يقع بمجرد الدعوة ولا يتوقف على الاستجابة “
“Pahala didapat karena melaksanakan dakwah, bukan tergantung kepada penerimaannya”
Kaidah ini meluruskan pemahaman yang sering disalahartikan oleh banyak orang, bahwa pahala haruslah berbanding lurus dengan hasil yang didapat secara zahir, sehingga penilaiannya dapat dihitung secara matematis seperti umumnya pekerjaan duniawi. Apabila cara pandang seperti ini yang dijadikan acuan, maka para nabi bisa dikatagorikan gagal dalam mengembankan amanah dakwah, karena dakwah mereka hanya menghasilkan pengikut yang jumlahnya sedikit.
Kita bisa mengambil contoh kisah Nuh As. yang mendakwahi kaumnya siang dan malam hingga memakan waktu beratus-ratus tahun lamanya. Allah Swt. berfirman dalam Al Quran: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al Ankabut: 14)
Inti dari ayat ini sebagaimana yang termaktub dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa nabi Nuh As. mendakwahi kaumnya untuk beriman kepada Allah Swt. selama seribu kurang lima puluh tahun (950 tahun) lamanya, dan dalam kurun waktu itu, nabi Nuh As. hanya mendapatkan sedikit sekali pengikut, dan itu termaktub di dalam Al Quran:
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.’ dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Huud: 40)
Perhatikan akhir dari ayat di atas secara seksama, bagaimana Allah menjelaskan, “dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit” (QS. Huud: 40), kalau kemudian takaran kesuksesan dakwah diukur dari kuantitas hasil, maka pastilah Nabi Nuh telah gagal mengemban misinya, namun pada hakekatnya tidaklah demikian, karena para Nabi dan Rasul merupakan hamba pilihan yang mendapatkan tempat mulia di sisi Allah Swt.
Jumlah pengikut yang sedikit juga didapat oleh para nabi lainnya. Ketika pada hari kiamat nanti, para Nabi dan Rasul dikumpulkan dan mereka datang dengan umatnya masing-masing, dari mereka ada yang membawa satu, dua, tiga, bahkan ada yang sama sekali tidak membawa pengikut seorangpun.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis. Imam Tirmidzi mentakhrij dari jalur Ibnu Abbas Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberapa Nabi yang bersama mereka pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun.”
Oleh karena itulah Allah Swt. kemudian mengarahkan kepada Rasulullah Saw. agar setelah berdakwah secara optimal, janganlah sekali-kali menakar kesuksesannya melalui jumlah yang didapat. Allah Swt. sendiri telah berfirman: “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). (QS.Asyu’araa’ :48)
Dan dalam ayat lainnya, Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An nahl :35)
Dan dalam ayat: “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (An nur: 54)
Adapun terkait dengan hal hidayah, sesungguhnya itu semua adalah urusan Allah untuk memberikannya.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al Qashash: 56)
Oleh karenanya, barang siapa yang memahami kaidah ini secara baik, maka ia akan berdakwah tanpa beban, tidak merasa kecewa ataupun stress hanya dikarenakan dakwah yang siang malam ia lakukan berakhir dengan penolakan dan jumlah pengikut yang sedikit.
Allah Swt. melalui firman-firman-Nya kerap menghibur Rasulullah Saw. dalam hal ini, karena tidaklah Allah memberi sebuah tanggungjawab, melainkan sesuai dengan kadar kemampuan yang telah Allah berikan kepada beliau. Allah Swt. berfirman:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya (QS. Al Baqarah: 272)
Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (QS. Faathir: 8)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl : 127)
Ayat-ayat di atas menjadi hiburan tersendiri bagi Rasulullah Saw., menghilangkan kesedihannya selama ini, dikarenakan kesungguhan beliau dalam berdakwah untuk menuntun kaumnya beriman kepada Allah ditanggapi dengan sikap “buta dan tuli.”
Para da’i pada hakekatnya adalah mereka yang memiliki hati-hati yang lembut, penuh cinta, perasa sehingga itu semua menjadi tenaga bagi mereka dalam menunaikan dakwah. Ia merasa sedih ketika melihat hamba Allah yang lebih memilih berada dalam kesesatannya, mengabaikan ajakan kebaikan yang selama ini ia serukan. Kesedihan seperti ini pulalah yang dirasakan oleh Rasulullah Saw. ketika melihat kaumnya, maka Allah Swt. kemudian berfirman:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). (QS. Al Kahfi: 6)
Dengan kata lain, ayat ini menanyakan kepada nabi Muhammad Saw., apakah dengan kehancuran kaum yang tidak mau diajak beriman itu, telah membuatnya menjadi putus asa dan merasa kasihan karena pengingkaran mereka terhadap Al Quran?
Imam Qatadah, sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Tafsir Ibn Katsir menjelaskan ayat ini:“Seolah-olah engkau ingin bunuh diri sebagai ekspresi kemarahan dan kesedihan terhadap perilaku mereka.” Sedangkan Mujahid mengatakan, sebuah kegelisahan, dan artinya tak jauh beda yakni jangan bersedih atas mereka, namun teruslah sampaikan risalah Allah ini, barang siapa yang mendapatkan hidayah maka itu untuk dirinya, dan barang siapa yang sesat sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri.
Dengan demikian, sesungguhnya Allah pun telah mencabut dosa bagi para da'i apabila orang yang mereka dakwahi tidak mendapat petunjuk dan merespon dakwah yang mereka lakukan, tentunya setelah mereka berusaha dengan penuh optimal, hal itu dikarenakan Allah tidak akan memberikan beban kepada seorang hamba melainkan sesuai dengan batas kemampuan yang telah Ia berikan.
Kaidah ini juga menjadi obat bagi mereka yang tergesa-gesa memetik hasil dari dakwah yang selama ini mereka kerjakan. Yaitu mereka yang menunggu hasil yang nampak secara kasat mata duniawi, dan kemudian menjadikannya syarat dan takaran pilihan, antara melanjutkan perjuangan di jalan dakwah ini atau tidak. Cara pandang seperti ini sebenarnya cara pandang yang salah, sehingga bertolak belakang dengan kaidah dakwah yang diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Al Quran telah menekankan, bahwa tidak ada kemestian seiringnya antara dakwah yang dijalankan dengan respon yang di dapat (Istijabah). Seorang dai, bisa saja telah berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan dalam berdakwah, namun sang mad'u tetap pula dengan sikap kerasnya, menolak segala bentuk ajakan kebaikan kepada dirinya. Namun demikian, pada fase seperti inilah sebenarnya akhir dari segalanya itu ditentukan. Tahapan-tahapannya dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.(QS. Yusuf: 110)
Fase pertama adalah pada masa dakwah itu dirasa tidak mempunyai harapan lagi untuk mengarahkan mereka kepada keimanan, sehingga mereka merasa telah didustai, maka berakhirlah fase dakwah yang kemudian ditutup dengan pertolongan dari Allah Swt. Ibnu Katsir dalam tafsirnya kemudian menjelaskan, bahwa pertolongan dari Allah akan diturunkan kepada para Rasul-Nya ketika mereka berada dalam kondisi genting dan dalam masa pengharapan akan hadirnya kemenangan, dan itu terjadi di masa yang sangat kritis. Sebagaimana diterangkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah : 214)
Wallahu a’lam bishowab
Al-Intima.com

Rabu, 16 November 2011

Menyikapi Penguasa Zhalim




Oleh : Farid Nu’man


Mukaddimah

Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq, korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Azza wa Jalla. Selalu ada sejak pasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’ untuk kepentingan status quonya. Para ulama dan da’i tersebut menjadi skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim, bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.

Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu.

Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu.

Sikap Pertama. Memberikan Nasihat

Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.

Allah Ta’ala berfirman:

“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)

“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)

Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)

Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)

Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)

Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam Adz Dzahabi)

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Imam Muslim. Riadhus Shalihin no. 181. Bab Fi an Nashihah. Lihat juga Bulughul Maram no. 1339, Bab at Targhib fi Makarimil Akhlaq)

Nasihat yang bagaimana?

Nasihat berasal dari kata nashaha ( ( نصحyang berarti menasehati, atau membersihkan dan memurnikan. Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.

Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Ta’ala berfirman:

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim, Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.

Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut. Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati dengan bijak adalah lebih utama.

Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf (terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.” (Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al Kautsar, cet. 1. oktober 1997)

Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim, konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman terhadap kedurhakaannya, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis salam, agar kekuatannya bertambah.

Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.

Beberapa kisah nasihat untuk para Penguasa

Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka mencela.”

Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu Said?”

Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa yang memanggul di atas pundakmu.”

Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya. Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi. Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan kejelekan pula.”

Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah aku nasihat!”

Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)

Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan al Banna radhiallahu ‘anhu mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah mukaddimah surat itu:

Bismillahirrahmanirahim

Segala puji bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya, beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi:10)

Kairo, Rajab 1336H

Kepada Yang Terhormat

……….

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik, bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup yang panjang.

Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah Rasail, hal.63-67. Risalah Nahwan nur, Al Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)

Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik penguasa adil atau yang yang zalim.

Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam
 
Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya

Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)

Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/518)

Imam al Baidhawi, berkata tentang makna Ulil Amri di antara kamu , “Para pemimpin umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan setelahnya secara umum, seperti penguasa, hakim,dan panglima perang, dimana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah perintah untuk berbuat adil. Kewajiban taat ini berlaku selama mereka dalam kebenaran.” (Anwarut Tanzil w a Asrarut Ta’wil, 2/94-95)

Imam ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas kebenaran. Sedangkan taat kepada para pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul Ghaib, 3/244)

Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Berkata Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”

Ayat lain:

“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)

Taat kepeda penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)

Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhu. Al lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)

Abu bakar Ash Shidiq radhiallahu ‘anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/248)

Khalifah Umar al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”

Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat, mufasirin dan fuqaha, semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.

Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya

Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.

Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.

Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).

Imam at Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.

Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”

Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.

Imam al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”

Imam al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”

Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”

Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menuruttentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya. 

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah 

Jumat, 11 November 2011

It's All bout The Money






Anis Matta, Lc

PKS di masa yang akan datang tidak bisa mengendalikan kehidupan ini
semuanya kalau hanya berkuasa di Negara tetapi tidak menguasai pasar. Tidak mungkin.  Sekarang ini kita akan menemukan secara individu, banyak individu yang lebih kaya dari Negara. Oleh karena itugabungan dari beberapa individu justru dapat dengan mudah mengintervensi Negara dan memiskinkan Negara. Kalau kita hanya masuk  ke  dewan,  padahal  dewan  itu  hanyalah  bagian  kecil  dalam panggung Negara, masih ada eksekutif masih ada yudikatif. Kita hanya punya sedikit di dewan itu, dan di dewan itu masih sedikit pula. Kita lihat daerah kekuasaan kita, dakwah ini ke depan hanya bisa menekan, menguasai, mengendalikan situasi kalau kita punya orang yang terdistribusi secara merata, memimpin Negara, memimpin  civil society, dan memimpin pasar. Baru kita akan digjaya sebagai sebuah gerakan dakwah.

Ketiga, bagaimana kita memulai membangun kehidupan financial kita. Pertama,  perbaiki  ide kita tentang uang. Ide itu adalah wilayah kemungkinan, “space of possibility”. Semua yang menjadi mungkin dalam  ide  kita  pasti  akan  menjadi  mungkin  dalam  realita.  Ide itu adalah tempat penciptaan pertama sedangkan realitas itu adalah tempat penciptaan kedua. Jadi tidak ada realitas yang terjadi dalam kehidupan ini tanpa sebelumnya tercipta pertama kali dalam ide-ide kita.  Sebelum  pesawat  terbang  itu  di  ciptakan  yang  pertama  kali dahulu adalah ide bagaimana manusia dapat terbang seperti burung.

Jadi  begitu  sesuatu  jadi  mungkin  dalam  ide  kita,  ia  bisa  menjadi mungkin dalam kenyataan.
Sekarang  perbaikilah  ide-ide  kita  tentang  uang.  Belajarlah  utuk mempunyai  mimpi  besar  tentang  uang.  Belajarlah  untuk  membuat daftar  rencana,  Insya  Allah  ketika  saya  meninggal  nanti  saya mewariskan sekian banyak uang. Buatlah step ide ini luas. Karena kalau space of possibility kita ini luas maka space of reality kita jadi luas. Kalau kita lihat mobil, belajarlah mempunyai selera yang bagus.
Supaya  ide-  ide  ini  tumbuh  dengan  baik  kita  perlu  dari  sekarang membaca sebuah buku tentang uang. Bacalah buku diantaranya The Millionaire Mind, ada dua buku yang ditulis oleh penulis yang sama karena ini adalah risetnya. Selanjutnya The Millionare Dead. Ini adalah penelitian yang dilakukan terhadap cara berpikir orang- orang kaya
yang ada di Amerika.  

Kemudian  buku  One  Minute  Millionaire (Bagaimana  menjadi  Milliuner  dalam  1  menit)  dan  ini  juga  punya website, kita bisa masuk websitenya, mereka punya psikotest kalau kita ingin mengetahui apakah kita punya talenta jadi orang kaya atau tidak. Alamat websitenyawww.oneminutemillionaire.com.


Buku yang ketiga adalah semua buku Robert T. Kiyosaki. Yang ke-4 ini buku lama tapi termasuk buku- buku awal yang dibaca orang tentang uang yaitu buku yang ditulis oleh Napoleon Hill, Think and Grow Rich, Berfikir dan menjadi Kaya. Buku terakhir ini adalah buku yang sangat lama karena diterbitkan pada tahun 80-an dan ditulis tahun 70-an, tapi menurut saya, saya rasa masih relevan untuk dibaca. Ini buku- buku dasar  semuanya  bagi  pemula.  Dan  saya  rasa  penting  juga  untuk mendapatkan landasan syar’i yang bagus tentang hal ini apabila kita baca juga buku yang ditulis oleh syeikh Yusuf Qordlowi tentang nilai- nilai moral dalam ekonomi Islam.

Perbaiki dahulu ide kita tentang uang, perbaiki tsaqafah tentang uang dan  mulailah  mempunyai  mimpi  besar  untuk  menjadi  orang  kaya, supaya  kita  Insya  Allah  naik  derajatnya  dari  amil  zakat  menjadi muzakki. Supaya kita datang kepada orang jangan lagi bawa proposal, itu yang benar. Sering-seringlah ke tempat-tempat mewah, jalan-jalan saja untuk memperbaiki selera.

Saya  punya  1  halaqah  yang  terdiri  dari  anak-  anak  LIPIA.  Mereka datangnya dari kampung, dari pesantren semuanya. Saya tahu mereka membawa  background,  di  backmind-nya  itu  ada  psikologi  orang kampung yang tidak pernah bermimpi menjadi orang kaya. Saya Tanya kamu nanti setelah selesai dari LIPIA mau kemana? Mereka bilang Insya Allah kita mau pulang ke kampung mengajar ma’had, mengajar bahasa Arab. Suatu hari saya ajak mereka, hari ini tidak liqa’, tetapi saya tunggu kalian di Hotel Mulia. Saya ada di suatu tempat dan mereka tidak melihat saya. Saya suruh mereka berdiri di lobby. Mereka datang pakai ransel karena mahasiswa datang pakai ransel, diperiksa lama  oleh  security,  karena  penampilannya  sebagai  orang  miskin dicurigai membawa bom. 

Saya lihat dari atas. Itu masalah strata, kalau antum datang pakai jas dan dasi tidak ada yang periksa antum di situ, karena yang datang pakai ransel tampang kumuh. Kemudian mereka bertanya dimana antum ustadz, saya bilang antum tunggu saja disitu. Saya  dekat  mereka  tapi  mereka  tidak  bisa  melihat,  saya  hanya memperhatikan apa yang mereka lakukan. Kira- kira 2 jam mereka saya suruh di situ, mondar-mandir di lobby. Minggu depan saya Tanya apa yang antum lihat disana. Orang lalu lalang, jawab mereka. Saya Tanya, pertama, apakah ada satu orang yang lalu lalang yang antum lihat yang mukanya jelek, dia bilang tidak ada. Semuanya ganteng semuanya cantik-cantik. Jadi ada korelasi antara wajah dan kekayaan. Makin kaya seseorang makin baik wajahnya. Kedua, ada tidak yang memakai pakaian yang tidak rapi kecuali antum. Dia bilang tidak ada, semuanya rapi. Jadi dengan latihan seperti ini pikirannya sedikit  mulai  terbuka.  Karena  ia  membawa  bibit  dalam  pikirannya untuk menjadi orang miskin. Sekarang Alhamdulillah, mereka bertiga sekarang ini sedang kuliah di UI ambil S2 Ekonomi Islam.


Ikhwah sekalian
Jadi kita perbaiki insting kita. Pertama kali kita perbaiki tsaqafah kita. Jadi hadirkan buku-buku itu ke dalam rumah dan mulai dari sekarang anak-anak kita juga mulai di ajari tentang uang. Ikutilah kursus-kursus tentang entrepreneurship supaya kita dapat memperbaiki dulu citra kita  tentang  uang.  Kedua,  menyiapkan  diri  untuk  menjadi  kaya. Orang- orang kaya yang bijak itu mempunyai nasehat yang bagus,
mereka mengatakan “sebelum anda menjadi kaya latihanlah terlebih dahulu menjadi kaya”. Hiduplah dengan hidup gaya orang kaya. Orang kaya itu optimis. Bagi orang kaya biasanya tidak ada yang susah. Bagi mereka semuanya mungkin, karena itu mereka selalu optimis. Jadi yang harus dihilangkan dari kita adalah pesimis.

 Saya punya seorang teman sekarang jadi kaya, dia datang ke Jakarta hanya sebagai pelatih karate dan tidak ada duitnya, tapi supaya tidak ketahuan oleh istrinya bahwa dia tidak punya pekerjaan, setiap habis sholat subuh dia pergi lari untuk olahraga, setelah itu dia memakai pakaian rapi lalu keluar rumah. Dia juga tidak tahu mau kemana yang penting keluar rumah. Istrinya tidak tahu kalau dia tidak punya pekerjaan. Nanti di jalan baru ditentukan siapa yang dia temui hari ini. Langkah pertama perbaiki dahulu sirkulasi darah kita, olahraga dulu, supaya  wajah  segar,  makan  yang  banyak.  Banyaklah  makan  yang enak, daging. Sering- seringlah makan yang enak. Menurut Utsman bin Affan  makanan  paling  enak  itu  adalah  kambing  muda.  Setiap  hari mereka  makan  kambing  muda.  Makan  yang  enak,  olah  raga  yang bagus supaya wajah kita berseri. 

Syeikh Muhammad Al-Ghozali dalam kitab  Jaddid  Hayataka  mengatakan  kenapa  orang-orang  Barat  itu pipinya  merah,  karena  sirkulasi  darahnya  bagus,  gizinya  bagus. Sedangkan kita orang- orang Timur kalau ketemu itu auranya pesimis, tidak ada harapan. Biasakanlah kalau orang ketemu kita ada harapan yang terlihat, makanya kalau pilih warna baju pilihlah yang cerah-
cerah. Ibnu Taimiyah mengatakan ada hubungan antara madzhab dan batin  kita,  pakaian  apa  yang  kita  pakai  itu  mempengaruhi  kondisi kejiwaan kita. Jangan pakai pakaian orang tua. Ada anak umur 25 tahun pakaiannya pakaian orang tua, bagaimana nanti kalau umurnya 50 tahun pakaiannya seperti apa. Tampillah sebagai anak muda. Cukur rambut yang bagus, cukur kumis yang rapi janggut dirapikan. Rapi,
supaya  kita  kelihatan  ada  optimisme. Belajarlah sedikit latihan menatap supaya sorotan mata kita kuat, perlu sedikit latihan menatap

Misalnya di pagi hari atau sore hari menjelang matahari terbenam, antum tatap matahari dan tidak berkedip matanya. Kalau bisa antum bertahan 1 menit itu bagus. Latihan saja sendiri. Di dalam kamar ambil lilin, matikan lampu, antum tatap lilin dan matanya tidak berkedip dan tidak berarir. Nanti kalau sudah terbiasa pandangan matanya kuat. Jadi
kalau  olahraga  teratur,  sirkulasi  udara  bagus,  pikiran  jadi  segar, tsaqafah kita bertambah mulai memakai pakaian yang cerah-cerah. Makanya Rasulullah itu senangnya memakai baju putih. Jangan pakai yang  gelap-gelap  atau  warna  yang  tidak  menunjukkan  semangat hidup. Jangan juga berpenampilan seperti orang tua.


Sekadar untuk menunjukkan kita ini kelompok orang-orang shaleh kita pakai baju taqwa, itu pakaian orang Cina. Pakailah baju yang segar agar dapat menunjukkan bahwa kita ada semangat. Walaupun anda sudah  berumur  pun  tetap  pakai  pakaian  yang  muda,  jangan berpenampilan tua. Artinya kita harus merendahkan diri, sebab uban tanpa diundang dia akan datang. Jadi tidak perlu menua-nuakan diridengan sekadar tampil kelihatan dewasa, tua, bijak. Tampillah sebagai anak muda yang gesit dan optimis. Ketiga, bergaullah dengan orang- orang kaya, perbanyak teman-teman antum dari kalangan tersebut. Ini tidak bertentangan dengan hadits yang mengatakan bahwa bab rezeki lihatlah  kepada  yang  dibawah  dan  jangan  lihat  yang  ada  di  atas. Antum tidak sedang tamak ke hartanya, tetapi antum sedang belajar kepada mereka.

Dahulu saya suka ceramah di kalangan orang- orang kaya. Waktu saya ceramah di rumahnya Abu Rizal Bakrie yang saat itu sedang berduit-duitnya, saya duduk dalam 1 karpet, ketika krismon pada waktu itu, sekretarisnya bilang pada waktu itu, tahu tidak berapa harga karpet ini. Saya bilang saya tidak tahu, saya pikir sajadah biasa. Dia bilang
karpet  itu  harganya  100  ribu  Dollar.  Karpet  kecil  harganya  1,6  M. Waktu saya selesai ceramah dikasih amplop, amplopnya tipis. Saya bilang sama sekretarisnya. Ini amplop kembalikan kepada dia. Bilang sama beliau saya cuma ingin berkawan dengan dia. Dia belajar agama sama saya, saya belajar dunia sama dia. Kalau saya terima ini, nanti saya dianggap ustadz dan dia tidak dengar kata- kata saya. Saya mau
bersahabat dengan dia. Jangan kasih saya amplop lain kali. Supaya kita bergaul. Setiap kali saya datang ke kelompok yang pengusaha kaya itu saya selalu menolak, saya tidak terima ini saya ingin bergaul dengan bapak, saya ingin jadi  teman.  

Alhamdulillah dari situ saya banyak teman dari kelompok orang- orang kaya, dan kalau datang,
kita belajar. Saya bertanya sama mereka kenapa begini, bagaimana
caranya, bertanya kita belajar. Memang di jurusan saya dia belajar dari saya kalau ada yang perlu dido’akan panggil saya, bisa. Tapi kan saya tidak punya ilmu bikin duit sebelumnya, saya perlu belajar dari orang yang ahli. Jadi dalam bab itu saya murid, dalam bab saya dia murid.
Jangan karena kita sering ceramah, terus semua orang kita anggap murid dalam segala aspek. Saya bergaul dengan orang-orang kaya dan saya belajar dengan mereka. Saya belajar bagaimana caranya bikin duit, bagaimana caranya bikin perusahaan sama-sama dan saya tidak malu. Bergaul dengan mereka itu dari sekarang. Jangan tamak pada
hartanya tetapi ambil ilmunya. Jangan minder bergaul dengan orang
kaya seperti itu.

Awal lahirnya reformasi, setelah kalah dalam pemilu 1999, kita Poros Tengah kumpul di rumahnya Fuad Bawazir. Semua orang diam, ada Amin Rais, Yusril, semuanya diam karena malu. Karenanya kita semua kalah, tadinya sombong semua. Pak Amin Rais mengatakan sebelum Pemilu “Nanti Golkar kita lipat-lipat, kita tekuk-tekuk, kita kuburkan di masa lalu”. Tidak tahunya Golkar masih di nomor 2. Partainya Pak
Amin  rendah  perolehan  suaranya.  Suara  umat  Islam  rendah.  Jadi berkumpullah orang- orang kalah ini semua dalam 2 hari. Waktu itu Pak  Amin  sedang  dikejar-kejar  terus  oleh  Dubes  Amerika  untuk membuat pernyataan bahwa pemenang pemilu legislatif yang paling layak jadi Presiden, tapi Pak Amin menghindar. Jadi saya datang ke rumah Pak Fuad Bawazier. Saya bilang Pak Fuad, saya ini bukan orang politik, saya ini ustadz. Yang saya pelajari dalam syariat kita ini kalau kita sedang kalah seperti ini jalan keluarnya adalah i’tikaf, kita belajar banyak  istighfar,  tilawah  dan  seterusnya.  Jauhi  dulu  wartawan, mungkin dosa-dosa kita banyak sehingga kita kalah. Dia bilang bener juga  ya.  Cuma  kalau  kita  i’tikaf  di  Indonesia   tetap  saja  diketahui wartawan. Kalau begitu kita umrah. Antum ikut ya dari PKS umrah. 4 orang dari PAN, dari PKS sekitar 3 orang. 4 orang ini naik bisnis first class, sedang kita dikasih ekonomi. Yang beli tiket dia soalnya. Mau diprotes bagaimana. Kita cuma dihargai begini, terima apa adanya
dahulu. Tapi waktu itu dengan lugu datang menghadap Pak Fuad. Saya bilang Pak Fuad berapa harga tiket first class. Dia bilang pokoknya 2 kali lipat harga ekonomi. Jadi kalau tiket ekonomi pada waktu itu 1000 Dollar harga first class itu sekitar 2000 Dollar. Kenapa kita tidak sama- sama saja di kelas ekonomi, dan selisihnya kita infaqkan untuk orang miskin. Ini kan masyarakat kita lagi susah. Dia ketawa dia bilang ya akhi, nanti ana infaq lagi insya Allah untuk orang faqir, tapi ana tolong dong di first class tidak mungkin ana turun di kelas bawah.


Kita  tidak  tahu  apa  nilai  yang  berkembang  pada  orang  kaya, kenyamanan itu adalah nilai pada mereka. Mereka menghemat energi, tenaga. Dan, angka besar pada kita itu angka kecil bagi mereka. Uang 1 Milyar 2 Milyar itu uang jajan. Kalau kita, belum tentu punya tabungan sampai mati seperti itu. Itu masalah cita rasa. Cita rasa pada orang kaya itu berbeda. Ini yang kita pelajari, yang dianggap besar oleh mereka adalah ini. Dengan begitu kita menjiplak sedikit emosinya. Karena dalam pergaulan itu, kalau kita bergaul dengan seseorang itu, kalau bukan api dia parfum. Kalau dia parfum dia menyebarkan wangi, kalau dia api menyebarkan panas. Orang jahat itu api, kalau antum
dekat-dekat akan menyebarkan panas. Orang baik itu parfum, kalau antum dekat-dekat  setidak-tidaknya  bau  badan  kita  tertutupi  oleh parfum tersebut. Jadi ikut-ikut karena kita perbaiki selera. Jadi kalau antum punya waktu kosong jalan-jalanlah ke mall, lihat-lihat orang kaya  tidak  usah  belanja,  lihat-lihat  saja  dulu,  memperbaiki  selera.
Datanglah ke showroom mobil, datang ke pameran mobil. Lihat-lihat, pegang-pegang.  Rajinlah  berdo’a.  Bergaullah  dengan  orang  kaya. Selain  itu,  rajinlah  berinfaq  walaupun  kita  miskin.  Gunanya  apa? Supaya antum tetap menganggap uang itu kecil dan supaya tidak ada angka besar dalam fikiran kita. Misalnya kita punya 10 juta, infaqkan. Supaya antum meneguhkan, mesti ada yang lebih besar dari ini. Jadi
angka   itu   terus   bertambah   di   kepala   kita,   walaupun   dalam kenyataannya  belum.  Tetapi  dengan  berinfaq  seperti  itu,  kita memperbaiki cita rasa kita tentang angka. Bukan sekedar dapat pahala tetapi efek tarbawi-nya bagi kita akan bertambah terus.

Kita belum pernah merasakan bagaimana menginfaqkan mobil, sekali waktu kita berusaha untuk menginfaqkan mobil. Begitu antum punya uang sedikit terus berinfaq, terus seperti itu kita latih sampai menjaga jarak.  Kita  membuat  sirkulasi  jadi  bagus.  Kelima  adalah  mulailah melakukan bisnis real. Terjun ke dalam bisnis secara langsung. Karena Rasulullah  SAW  mengatakan 9  per 10  rezeki  itu  ada  dalam  hal perdagangan. Saya juga ingin menasehati ikhwah-ikhwah yang sudah jadi anggota DPR dan DPRD, jangan mengandalkan matapencaharian dari gaji DPR dan DPRD. Itu bahaya. Sebab belum tentu kader-kader di Riau  ini  nanti  masih  menginginkan  Pak  Khairul  untuk  periode selanjutnya. Belum tentu juga juga jama’ah menunjuk kita lagi sebagai anggota dewan, padahal gaya hidup sudah berubah. Anak-anak kita kalau kenalan dengan orang, bapak saya anggota dewan padahal itu hanya sirkulasi. Jadi setiap kali kita mendapatkan pendapatan dari gaji karena  pekerjaan  seperti  ini,  kita  harus  hati-hati  itu  bahaya.  Jadi pendapatan paling bagus itu tetap dari bisnis. Oleh karena itu, mulai sekarang itu belajarlah terjun ke dunia bisnis.

Jatuh bangun waktu bisnis tidak ada masalah, terus saja belajar. Tidak ada juga orang langsung jadi kaya. Yang antum perlu terus berbisnis. Begitu juga dengan para ustadz, teruslah bisnis. Begitu juga dengan seluruh pengurus  DPW-DPD  dan  seterusnya.  Teruslah  berbisnis. Lakukan  bisnis  sendiri  sekecil-kecilnya.  Tidak  boleh  tidak.  Itulah sumber rezeki yang sebenarnya. Kalau antum mau kaya sumbernya adalah dagang. Rezeki itu datangnya dari 20 pintu, 19 pintu datangnya dari  pedagang  dan  hanya 1  pintu  untuk  yang  bekerja  dengan keterampilan tangannya, yaitu professional. Misalnya akuntan itukan professional, pekerja pintar, tapi kalau sumber rezekinya satu makanya uangnya terbatas. DPR juga begitu sumbernya satu, yakni gaji bulanan itu hanya 5 tahun. Itu pun kalau tidak di PAW sebelumnya. Jadi kalau saya  ketemu  dengan  ikhwah  dari  dewan,  hati-hati  jangan  sampai mengandalkan mata pencaharian dari situ.


Selain itu potongan dari DPP, DPW, DPD juga besar. Untuk ma’isyah sendiri kita harus cari sumber lain. Waktu kita terjun ke bisnis, kita pasti gagal. Gagal pertama, gagal kedua, gagal ketiga, gagal keempat tapi teruslah jangan pernah putus asa. Saya punya partner bisnis. Dia mulai bisnis umur 16 tahun, semua jenis pekerjaan sudah dia lakukan.
Pada  suatu  waktu  dia  mempunyai 38  perusahaan  tapi  dari 38 perusahaan ini hanya 6 yang menghasilkan uang. Kita lihat berapa ruginya. Jadi seringkali kita salah pandang terhadap orang kaya. Kita pikir tangan dingin semua yang disentuh jadi uang. Ternyata tidak juga. Jadi hal-hal seperti itu harus kita hadapi secara wajar jangan shock kalau rugi. Jangan berfikir dengan berdagang antum akan cepat kaya, yang menentukan antum cepat berhasil dalam dagang itu adalah secepat apa antum belajar. Cara belajar itu ada dua: baca buku atau sekolah atau bergaul dengan orang- orang sukses, nanti kalau sudah baca buku sudah bergaul dengan orang sukses masih gagal juga. Teruslah berdagang, teruslah bergaul, teruslah seperti itu karena setiap orang tidak tahu kapan saatnya dia ketemu dengan momentum lompatannya.

TAMAT

Islam Itu Mudah dan Ringan







Diantara modal utama berdirinya benteng yang kokoh pada setiap jiwa muslim adalah membangun kesan bahwa Islam itu sebenarnya mudah dan ringan.
Sepertinya masih menjadi fenomena yang melekat pada diri ummat Islam kalau keberadaannya dalam Islam telah memaksanya untuk melaksanakan perintah-perintah keislaman yang dirasanya memberatkan dan menyulitkan. Kenyataan ini terjadi karena dua  factor utama,
pertama mentalitas keislaman ( internal ), 
kedua, rongrongan dari musuh terutama syetan ( eksternal ).

Satu diantara strategi musuh tersebut yang harus kita waspadai karena sudah cukup berhasil adalah menimbulkan kesan bahwa keta'atan akan ajaran Islam menjadi sesuatu yang sangat memberatkan dan penyimpangan terhadap ajaran Islam dikemas seperti bagian dari ajaran Islam. Keberhasilan strategi inilah yang telah membuat rapuhnya mental ummat Islam dalam menjalani segala peraturan Islam yang tertuang dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Meski begitu, rongrongan para musuh Allah dalam upayanya melemahkan semangat ber-Islam sebenarnya akan menurun seiring benteng pertahanan dalam diri yang kian kokoh. Diantara modal utama berdirinya benteng yang kokoh pada setiap jiwa muslim adalah membangun kesan bahwa Islam itu sebenarnya mudah dan ringan. Ajaran Islam itu fleksibel dan bijak. Melaksanakan ajaran Islam itu menjamin ketenangan dan membawa kebaikan. Mari kita sama-sama cermati hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ - مسلم -

Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka." ( Hr. Muslim )

Hadits di atas mengungkap pesan utama dari Rasulullah agar bagaimana segenap ummatnya bersikap terhadap perintah-perintah Allah yang disampaikan melalui lisannya. Kecermatan dalam menyikapi pesan dalam hadits ini merupakan modal dasar dalam menjalani keislaman secara totalitas. Karena meyakini bahwa Islam ternyata berada pada jalur fitrah manusia yang sesungguhnya. Islam sangat tahu kebutuhan setiap insan. Menjalani keislaman secara serius akan membawa pada eksistensi manusia secara utuh. Karena ternyata, Islam tidak memaksakan sesuatu yang bukan menjadi kebutuhan manusia atau di luar kemampuan manusia.

"Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi" merupakan pesan pertama yang disampaikan Rasulullah dalam hadits di atas. Pesan ini menunjukkan sifat yang mutlak bahwa semua larangan harus dijauhi. Karena secara umum, menjauhi larangan tidak membutuhkan proses, lebih simple dan sederhana. Tapi kemutlakan tersebut bukan tanpa kecuali. Jika ternyata menjauhi larangan didapati adanya rintangan yang menghalang, larangan tersebut menjadi boleh dilanggar. Contohnya dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat.

Pesan selanjutnya "Apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu". Luar biasa, ketika pesan Rasulullah saw. terkait larangan cenderung mutlak, ternyata terkait perintah, cukup fleksibel dan bijak. Memang perintah kadang butuh proses. Ketika berproses itulah, perntah dilaksanakan sampai di tingkat mana kemampuan kita berada. Selama jujur akan kemampuan kita, Allah akan menghargai jerih payah kita meski hanya sampai di tengah proses bahkan di awal proses. Membayar zakat fitrah misalnya, bayarlah ia untuk semua orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa semuanya, bayar sebagian saja, kalau ternyata memang sama sekali tidak mampu, Allah memakluminya. Keinginan kuat untuk membayarnya walau tidak kesampaian, Allah menghargainya. Dan ia berhak mendapat jatah dari pembagian zakat fitrah tersebut.

Inti dari apa yang saya paparkan di atas adalah bangunlah positif thinking terhadap ajaran Islam yang kita anut. Jangan dulu memandang bahwa ajaran Islam mengebiri kebebasan dalam beraktifitas. Seringkali orang menggerutu kalau dirinya harus ini harus itu, shalatlah, shaumlah, padahal saya kan lagi sibuk. Begitulah ketika orang melihat kehidupan ini secara sepihak. Hidup hanya dilihat dengan kaca mata materi duniawi saja. Cobalah kita Bangun keseimbangan dalam memandang makna hidup ini. Tidak hanya fisik yang butuh perhatian, namun juga ruh kita. Untuk ketahanan hidup berupa fisik, tanpa disuruh, orang sudah bergerak sendiri. Tapi untuk ketahanan ruh, jangankan menunggu kesadaran sendiri, coba diberi kesadaran pun orang cenderung menghindar.

Pemenuhan akan kebutuhan ruh yang saya maksud tiada lain menta'ati apa yang telah digariskan dalam ajaran Islam. Ketika pemenuhan kebutuhan ruh itu semestinya segera dilakukan, rintangan segera menghadang, termasuk negative thinking terhadap ajaran Islam tersebut. Padahal sekali lagi, apa yang susah dari Islam? apa yang berat dari Islam? semuanya sudah diatur sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada paksaan kecuali semuanya hanya bagian dari komitmen dengan keislaman yang dianutnya.

Mari kita hindari untuk terlalu banyak menimbang-nimbang dan fikir-fikir ketika hendak mena'ati ajaran Islam. apalagi kalau sampai bertanya-tanya mengapa dan bagaimana dengan ajaran ini. Karena sikap seperti itulah yang telah membuat banyak celaka ummat terdahulu.

Wallahu a'alm

Ust. Dadang Khaeruddin
percikaniman.org

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons