myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Rabu, 27 Juli 2011

Bagaimana Menyambut Ramadhan



Puasa (الصيام) secara bahasa berarti : menahan (الإمساك). Menurut istilah, puasa berarti bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Menahan makan dan minum untuk tujuan lain selain ibadah, seperti pengobatan atau semacamnya, tidak dapat dinamakan puasa, meskipun istilah puasa biasa dipakai untuk hal-hal semacam itu.
Hukum Puasa

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, mampu melakukannya dan menetap (tidak sedang bepergian).

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ علَىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
[البقرة :183]

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. al-Baqarah: 183)

Rasulullah bersabda :

« بُـنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ :شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ »

“Islam dibangun di atas lima perkara: Ber-saksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah dan (bersaksi) bahwa nabi Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Bait al-Haram” (Muttafaq alaih)
Keutamaan Bulan Ramadhan dan Puasa di Dalamnya

1. Diturunkannya al-Quran.

Allah Ta’ala berfirman:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-pen-jelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)
(QS. al-Baqarah : 185)

2. Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar .

Lailatul Qadar adalah suatu malam yang nilainya lebih baik di sisi Allah Ta’ala dari seribu bulan.

Firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ?, Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. al-Qadar : 1-3)

3. Terkabulnya doa orang yang puasa.
Rasulullah bersabda :

« ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ »
“Ada tiga doa yang dikabulkan: Doa orang yang puasa, doa orang yang dizolimi dan doa orang yang berpergian” (Riwayat Baihaqi)

4. Setan-setan diikat, pintu syurga dibuka dan pintu neraka ditutup.
Rasulullah bersabda:

« إِذَا دَخَلَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ »
“Jika datang Ramadhan, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat”
(Muttafaq alaih)

“Jika datang Ramadhan, pintu surga dibuka”
(Muttafaq alaih)

5. Puasa adalah sarana untuk menjaga kesucian diri (‘Iffah).

Terbukti bahwa puasa sangat besar pengaruhnya dalam menjaga anggota badan (dari perbuatan maksiat) dan (menjaga) kekuatan bathin, oleh karena itu Rasulullah bersabda:

« يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ؛ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْـــــكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ باِلصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ »

“Wahai para pemuda; siapa di antara kalian yang sudah mampu, maka menikahlah, karena menikah dapat menundukkan pan-dangan dan menjaga kemaluan, siapa yang tidak mampu (menikah), maka hendaklah dia puasa, karena puasa merupakan pelindung” (Muttafaq alaih)
6. Puasa sebagai tameng.

Puasa adalah tameng di mana seorang yang berpuasa berlindung dengannya dari neraka. Rasulullah bersabda :


« الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ »
“Puasa adalah tameng, orang yang sedang puasa berlindung dengannya dari api neraka” (Riwayat Ahmad)

7. Puasa merupakan sebab masuk syurga.

Jika puasa dapat mencegah seseorang dari api neraka, itu berarti dia mendekatkannya kepada syurga.
Dari Umamah radiallahuanhu dia ber-kata: Aku berkata: “Ya Rasulullah tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkan aku ke dalam syurga”
Beliau bersabda :

« عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، لاَ مِثْلَ لَهُ »
“Hendaklah kamu puasa, tidak ada yang sebanding dengannya” (Riwayat an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih)
8. Puasa dan al-Quran dapat memberikan syafaat bagi yang melakukannya.

Rasulullah bersabda :

« الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَـــــــامَةِ، يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهْوَةَ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُوْلُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ »
“Puasa dan Al-Quran menjadi syafaat bagi se-orang hamba pada hari qiamat, puasa akan berkata: “Ya Rabb dia telah mencegahnya ma-kanan dan syahwat, jadikanlah aku syafaat baginya”, sedangkan al-Quran berkata : “Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur pada wak-tu malam, jadikanlah aku syafaat baginya”. Dia berkata : “Keduanya dapat memberi sya-faat“ (Riwayat Ahmad dan Hakim dengan sanad hasan)

9. Ar-Rayyan bagi orang-orang yang puasa.
Rasulullah bersabda :

« إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَاباً يُقَالُ لَهُ: الرَّياَّنُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْـرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ »
“Sesungguhnya di syurga terdapat pintu yang bernama: Ar-Rayyan, mereka yang puasa akan memasukinya pada hari qiamat dan tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam-nya selain mereka, jika mereka telah masuk, maka pintu itupun ditutup dan tidak ada seorangpun yang memasukinya” (Muttafaq alaih)

10. Orang yang berpuasa diberi ganjaran yang tidak terbatas.

Rasulullah bersabda :

« إِنَّ رَبَّكُمْ يَقُولُ: كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ وَالصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ »

“Sesungguhnya Rabb kalian berfirman: Setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh ke-baikan hingga tujuh ratus kali lipat. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang membalas-nya” (Riwayat Turmuzi)

11. Puasa adalah ibadah Yang hanya tampak oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman (hadits qudsi):


« الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي»

“Puasa untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dia meninggalkan syahwat dan makan hanya karena-Ku” (Riwayat Muslim)

12. Puasa menyebabkan ketaqwaan.

Allah Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. al-Baqarah: 183)

13. Bau mulutnya orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari wangi minyak kesturi.

Rasulullah bersabda:

« لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ »
“Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari wangi minyak kesturi” (Riwayat Bukhari)

14. Ampunan bagi orang puasa atas dosa-dosanya yang telah lalu.

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Siapa yang puasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan harapan mendapatkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Golongan Manusia Pada Bulan Ramadhan

1. Muslim baligh, berakal dan menetap: Wajib baginya puasa, jika dia mampu melakukannya dan tidak terdapat padanya halangan.

2. Anak kecil yang belum baligh: Tidak diwajibkan baginya puasa, akan tetapi walinya supaya menganjurkannya berpuasa agar terbiasa.

3. Orang yang tidak mampu puasa karena sebab yang tetap, seperti orang tua renta, orang sakit yang sudah tidak diharapkan lagi kesembuhannya. Dia boleh berbuka, dan setiap hari yang puasanya dia tinggalkan, diganti dengan memberi makan seorang miskin.

4. Orang sakit yang diharapkan kesembuhannya: jika berat baginya untuk puasa dia dapat berbuka namun harus menggantinya (qadha) setelah sembuh.

5. Wanita haid dan Nifas: Tidak boleh baginya melakukan puasa namun dia wajib mengganti puasa yang dia tinggalkan (di hari lain).

6. Wanita hamil atau menyusui: Jika berat baginya berpuasa karena hamil atau menyusui atau khawatir akan kondisi anaknya, dia dapat berbuka dan meng-gantinya tatkala keadaannya sudah pulih dan kekhawatirannya telah hilang.

7. Musafir: Dia boleh berpuasa atau berbuka sesuai keinginannya. Akan tetapi jika berat dan lelah maka berbuka lebih utama, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Allah menginginkan untuk kalian kemudahan dan tidak menginginkan untuk kalian kesusahan” (QS. al-Baqarah : 185)

Bagi yang berbuka, dia harus meng-gantinya, baik safarnya bersifat sementara seperti umroh atau bersifat tetap seperti sopir angkutan.

8. Orang yang terpaksa berbuka karena harus menyelamatkan seseorang seperti tenggelam atau terjebak keba-karan: Dia boleh berbuka dan harus menggantinya di kemudian hari.

Bagaimana Menyambut Ramadhan?

1. Mensucikan diri sebelum Ramadhan tiba.

Hal tersebut dilakukan dengan ber-taubat kepada Allah dari segala dosa serta meninggalkan maksiat. Siapa yang durhaka kepada kedua orang tuanya hendaklah dia berusaha untuk minta ridho keduanya, siapa yang memutus silaturrahmi hendaklah dia menyambungnya, siapa yang biasa mende-ngar lagu-lagu dan musik, dia harus menghentikannya dan menyiapkan dirinya untuk mendengarkan al-Quran, dan siapa yang melakukan riba hendaklah dia menghentikannya dan tidak makan kecuali dari usaha yang halal.
Setiap orang hendaklah mengoreksi lembaran-lembaran kehidupannya sebe-lum Ramadhan tiba.

2. Menyusun agenda kegiatan yang akan dilakukan dengan disiplin selama Ramadhan.

Sebagaimana seorang pedagang cerdik yang menggunakan kesempatan sebaik-baiknya saat perdagangan sedang ramai, maka begitu jugalah seharusnya seorang muslim, dia menyusun agenda kerja yang terpadu dalam rangka beramal shaleh yang dilakukan dengan disiplin selama bulan Ramadhan sehingga dia dapat mengambil keuntungan setiap saat yang terdapat di dalamnya. Hal tersebut juga akan memudah-kannya untuk melakukan penilaian di akhir bulan baik yang datang hanya sekali setahun itu.

3. Berdoa dengan penuh permohonan di dalamnya

Semoga Allah memberinya kemudahan dalam melakukan puasa, beribadah di dalamnya serta melakukan setiap perbuatan yang diridhoi-Nya dan dijauh-kan dari segala sesuatu yang dapat meru-sak puasanya, atau mengurangi pahalanya.

Rasulullah bersabda :

« الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ »
“Doa adalah Ibadah”

4. Saat Melihat Hilal (bulan tsabit, tanggal satu hijriah)
Saat melihat hilal hendaklah seorang muslim mengucapkan:


اللَّهُمَّ أهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ والإيـمَانِ والسَّلاَمَةِ والإسْلاَمِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ . هِلاَلَ رُشْدٍ وَخَيْرٍ


“Ya Allah tampakkanlah bulan tanggal satu itu dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah, (semoga) hilal ter-sebut (pertanda) petunjuk dan kebaikan”
(Riwayat Turmuzi, beliau berkata haditsnya hasan)

Yang Membatalkan Puasa

1. Jima’ (bersetubuh).

Orang yang bersetubuh pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal dan dia wajib meng-qadha (menggantinya) dan wajib membayar kaffarat (denda) yang berat yaitu: memerdekakan budak ber-iman, jika tidak mampu (memerdekakan budak) maka dia wajib puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

2. Makan dan minum. Apapun bentuk makan dan minumnya.

3. Melakukan suntikan yang mengan-dung zat makanan.

4. Keluarnya darah haidh dan nifas.

5. Mengeluarkan darah dengan sengaja. Adapun keluarnya darah dengan sendiri-nya seperti mimisan tidaklah mem-batalkan.
6. Muntah dengan sengaja.
Jika muntah tanpa sengaja tidaklah membatalkan.

7. Keluar mani dalam keadaan terjaga, baik dengan onani, bercumbu, mencium atau semacamnya. Adapun mengeluarkan mani ketika tidur, tidak membatalkan puasa.

Syarat-Syarat Batalnya Puasa

1. Mengerti. Jika seseorang melakukan perkara yang membatalkan puasa karena ketidaktahuannya maka tidaklah memba-talkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang (ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Ahzab : 5)

2. Sadar. Jika seseorang lupa ketika melakukan perbuatan yang membatalkan, maka puasanya sah dan dia tidak wajib meng-qadha-nya.

3. Kehendak sendiri. Jika seseorang dipaksa (untuk berbuka) maka puasanya sah dan tidak meng-qadha, sebagaimana hadits Rasulullah:


« إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيهِ »
“Sesungguhnya Allah melampaui (meng-ampuni) ummatku yang melakukan kesa-lahan, kelupaan dan yang terpaksa”
(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dan Imam Nawawi menyatakannya Hasan).

Di antara Hukum-Hukum Puasa

1. Wajib melakukan niat pada malam harinya sebelum terbitnya fajar, jika telah jelas masuk Ramadhan, berdasarkan hadits Rasulullah:

« مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ »

“Siapa yang tidak niat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya”

Niat tempatnya dalam hati dan tidak perlu diucapkan.

2. Keutamaan sahur dan mengakhirkan-nya. Rasulullah telah memerintahkan sahur untuk membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab, beliau J bersabda:

« فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصَوْمِ أَهْلِ الْكِتاَبِ أَكَلَةُ السَّحُورِ»
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur “
(Riwayat Muslim)

Disunnahkan mengakhirkan sahur hing-ga beberapa saat sebelum fajar. Terdapat riwayat dari Zaid, dia berkata :

“Kami sahur bersama Nabi, lalu beliau bangkit untuk melaksanakan shalat”. Dia (Zaid) ditanya: ”Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Dia menjawab: “sekedar (membaca) lima puluh ayat” (Muttafaq alaih)
3. Puasa bukan hanya sekedar menahan makan dan minum semata. Lebih dari itu puasa juga berarti (menahan) anggota badan dari setiap perbuatan dosa.
Maka sebagaimana makan dan minum membatalkan puasa, begitu juga perbuatan dosa dapat menghapus pahala dan merusak nilai puasa hingga menjadikan-nya bagaikan orang yang tidak puasa.

4. Disunnahkan bersiwak saat puasa Rasulullah bersabda:

« لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ »
“Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak wudhu” (Muttafaq alaih)

Hadits ini tidak mengkhususkan puasa dari yang lainnya, dan ini merupakan dalil bahwa siwak tetap disunnahkan bagi orang yang berwudhu atau setiap hendak shalat, baik dia sedang puasa ataupun tidak, jadi sifatnya umum untuk semua waktu, baik sebelum tergelincirnya mata-hari (waktu Zuhur) ataupun sesudahnya.

5. Berkumur dan tidak berlebih-lebihan dalam memasukkan air ke dalam hidung, Rasulullah bersabda kepada Laqith bin Sabrah:

« وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِماً »
“Bersungguh-sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan puasa”
(Riwayat Turmuzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)

6. Sah puasa orang yang masuk waktu Shubuh dalam keadaan junub (berhadats besar):

“Termasuk yang terjadi pada Rasulullah saat masuk waktu Fajar beliau dalam keadaan junub setelah berhubungan dengan istrinya, kemudian dia mandi setelah Fajar dan meneruskan puasanya“ . (Muttafaq alaih)

7. Mempercepat Ifthor (berbuka puasa). Ifthor hendaknya dilakukan saat matahari terbenam.
Mempercepat ifthor merupakan tinda-kan yang mengikuti sunnah Rasulullah, karena beliau bersabda:

« لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَالَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ »

“Ummatku akan selalu berada dalam sunnah-ku selama dia tidak menunggu bintang-bintang (waktu malam) untuk berbuka”
(Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih)

8. Memberi makan orang yang puasa. Hendaknya setiap orang berupaya untuk memberi makan bagi orang yang berbuka, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar dan kebaikan yang banyak. Rasulullah bersabda :

« مَنْ فَطَّرَ صَائِماً شَيْئاً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئاً »

“Siapa yang memberi makan orang yang puasa maka baginya (pahala puasa) orang itu, tanpa mengurangi pahala orang yang puasa tersebut”
(Riwayat Ahmad, Tirmizi dan dia menshahihkannya begitu juga Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

9. Adalah dahulu Rasulullah berbuka dengan beberapa ruthob (korma muda) sebelum shalat, jika tidak ada, maka dengan beberapa tamr (korma matang), jika tidak ada, maka dia cukup meminum beberapa teguk air”.
(Riwayat shahih dari Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah )

Jika berbuka beliau membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إنْ شَاءَ الله

Telah hilang dahaga dan urat-urat telah basah dan pahala telah tetap Insya Allah.

Ketika ifthor beliau selalu berdoa, karena bagi orang yang puasa -pada saat itu- doanya mustajabah (terkabul). Rasulullah bersabda :

« ثَلاَثةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ ، وَاْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم »

“Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak : Orang yang puasa saat dia ifthor (berbuka), Imam (pemimpin) yang adil, dan doa orang yang dizolimi” (Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Perbuatan Yang Tidak Membatalkan Puasa


• Periksa darah dan suntik yang tujuannya tidak untuk memasukkan zat makanan.

• Mencicipi masakan, dengan syarat: tidak sampai masuk ke dalam kerong-kongan, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma:

“Tidak mengapa mencicipi cuka atau sesuatu saat dia sedang puasa selama tidak masuk ke dalam kerongkongan”.

• Boleh menggunakan celak mata atau tetes mata atau semacamnya yang dimasukkan ke dalam mata, hal tersebut tidak membatalkan puasa, baik orang tersebut merasakan sesuatu ditenggoro-kannya atau tidak.

• Boleh menuangkan air dingin di atas kepala atau mandi dengannya.

Terdapat riwayat bahwa Rasulullah menuangkan air di atas kepalanya saat dia sedang puasa karena kehausan atau kepanasan. (Riwayat Abu Daud dan Ahmad)
• Boleh menelan ludah, namun jika berupa lendir hendaklah dikeluarkan.
• Boleh menggunakan minyak wangi dan menciumnya.

Yang Seharusnya Dijauhi Bagi Orang Yang Puasa

• Berkata dusta:

Rasulullah bersabda:

« مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ –عَزَّ وَجَلَّ- حَـاجَةٌ فِي أَنْ يَـدَعَ طَعَـامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka tidak ada bagi Allah Ta’ala nilainya dia meninggalkan makanan dan minumannya” (Riwayat Bukhari)

• Perbuatan sia-sia dan perkataan kotor:
Rasulullah bersabda:


« لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّماَ الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ »

“Puasa bukan hanya (menahan) makan dan minum saja, akan tetapi puasa juga (menahan) dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor “
(Riwayat Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

Oleh karena itu terdapat ancaman yang berat bagi orang-orang yang melaku-kan perbuatan tersebut, yaitu mereka akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang Rasulullah katakan dalam haditsnya :

« رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ »

“Betapa banyak orang yang puasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga” (Riwayat Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang shahih).

pks-arabsaudi.org

Panduan Sholat Taraweh & Witir



Shalat Taraweh

Taraweh (التراويح) dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari tarwiihah (ترويحة), yang artinya beristirahat dan santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna “duduk” secara umum. Kemudian dikenal sebagai “duduk yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”. Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan1). Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri secara kiasan2).

Shalat Taraweh Pada Zaman Rasulullah dan Khulafa’urrasyidin

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu-anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang, kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah), namun beliau tak kunjung muncul.

Di pagi harinya Rasulullah bersabda kepada mereka:

» رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ اْلخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ «


“Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian” (Muttafaq alaih)

Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah dilaksanakan secara berjamaah, kemudian setelah itu tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah khawatir jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkan hal tersebut kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya.

Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut; shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok-kelompok hingga wafatnya Rasulullah dan seterusnya di masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khottob pelaksanaannya dikembalikan seperti semula yaitu dengan berjamaah.

Abdurrahman bin ‘Abd al-Qory meriwayatkan:

“Saya keluar bersama Umar bin Khottob di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang terbagi-bagi dalam melakukan shalat; ada yang sholat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata:

“Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,”

Maka beliau segera mewujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh…

Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar:

» نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ «

“Inilah sebaik-baik bid’ah” (Riwayat Bukhori)

Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Catatan:
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud “bid’ah” dalam perkataan Umar di sini adalah pengertian bid’ah secara bahasa, artinya “sesuatu yang baru”, karena shalat taraweh berjamaah secara terus menerus baru dilakukan pada zaman Umar bin Khottob, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh Rasulullah beberapa kali saja.

Adapun bid’ah dalam pengertian istilah yang maksudnya “Mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan dalam Islam”, tidaklah termasuk apa yang dilakukan oleh Umar bin Khottob ini. Karena sebenarnya perkara tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah sehingga tetap memiliki landasan syar’i, dan kekhawatiran diwajibkannya shalat Taraweh atas umat Islam yang menyebabkan Rasulullah menghentikan shalat Taraweh secara berjamaah sudah tidak ada lagi, karena terputusnya wahyu setelah meninggalnya Rasulullah.

Hukum dan Keutamaannya

Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat ‘Isya.

Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), karena itu keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah.

Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam . Dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)” (QS. adz-Dzariat : 17-18)

Rasulullah bersabda:

» أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ «

“Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam” (Riwayat Muslim)


Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada.

Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai syahrushshiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrulqiyam (bulan ibadah shalat).

Maka hadits Rasulullah yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut.

Rasulullah bersabda:

» مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «

“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”
(Muttafaq alaih)

» مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «


“Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaq alaih)

Berapa jumlah rakaat shalat Taraweh?

Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim. Sesuatu yang sangat ironis sekali, mengingat shalat taraweh hukumnya sunnah, sedangkan ukhuwwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan.

Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhamadiyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut.

Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan sese-orang bukan golongannya.

Karena shalat taraweh juga digolong-kan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.

Jumlah asal dari pelaksanaan shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan.

Sebagaimana hadits Rasulullah:

» صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى «


“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kamu khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan” (Muttafaq alaih)

Hadits ini Rasulullah sampaikan ketika menjawab pertanyaan seorang badui tentang pelaksanaan shalat malam.

Maka dari jawaban Rasulullah tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:

  1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
  2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah sampaikan masalahnya, mengingat perta-nyaan orang Badui bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya3).

Adapun hadits Aisyah radhiallahuanha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim di mana Aisyah radiallahuanha berkata:

» مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ J يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يصُلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ُ«


“Rasulullah tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjang-nya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat” (Muttafaq alaih)

Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: sebelas rakaat.

Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikian-lah shalat malam yang Rasulullah lakukan, sehingga para ulama berkesim-pulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah dalam bilangan rakaat shalat malam4) dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksa-naan shalat malam lebih dari itu.

Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan di antara yang meriwayatkannya termasuk Aisyah radhiallahuanha sendiri.

Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata:

“Adalah Rasulullah shalat pada malam hari sepuluh rakaat, beliau melakukan salam pada setiap kali dua rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu, beliau berkata:

“Adalah shalat Rasulullah (berjumlah) tiga belas rakaat; maksudnya adalah (shalat di waktu) malam” (Riwayat Bukhori)

Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan sebelas rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahuanha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa5).

Bagi ma’mum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya sebelas atau dua puluh rakaat), berdasarkan hadits:

» إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ «


“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail” (Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan hati dan persatuan di kalangan masyarakat muslim.

Beberapa Hukum Terkait Dengan Pelaksanaan Shalat Taraweh

1. Hendaknya shalat Taraweh dilaku-kan dengan tenang dan khusyu’. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dan rukunnya serta tidak tergesa-gesa.

Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.

2. Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.

3. Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh al-Quran sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar ma’mum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia membaca semampunya.

4. Terkait point di atas, dibolehkan bagi imam jika dia tidak hafal al-Quran, untuk memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan6).

5. Tidak ada dalil yang menunjukkan zikir atau sholawat khusus yang dilakukan di sela-sela shalat Taraweh atau sesudah-nya yang dibaca bersama-sama.

Cukuplah masing-masing jamaah ber-zikir seorang diri, atau membaca al-Quran atau membaca shalawat, atau berdoa tanpa batasan-batasan tertentu. Atau, jika tidak membaca sesuatupun, tidak mengapa.

6. Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat ‘Isya. Maka dia harus melakukan shalat ‘Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh.

Adapun pelaksanaannya, dia dapat bergabung dengan jama’ah shalat Taraweh dengan niat shalat Isya, kemudian jika imam melakukan salam, dia melanjutkan sisa raka’atnya7).

7. Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya.

Shalat Witir

Witir (الوتر) berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil.

Shalat Witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadhan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunnah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam.

» الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ «


“Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim, siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah”
(Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Waktu Pelaksanaannya

Waktunya dilakukan setelah shalat ‘Isya hingga masuk waktu Subuh.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat, yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya di antara sehabis shalat Isya hingga shalat Fajar” (Riwayat Ahmad)

Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat kita di malam hari, berdasarkan sabda Rasulullah:

» إِجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً «

“Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir” (Muttafaq alaih)

Namun jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur, adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia shalat Witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan Witir.

Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan Witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur, tidak boleh baginya melakukan shalat Witir lagi, karena Rasululah bersabda:

» لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ «

“Tidak ada dua Witir dalam satu malam”
(Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Jumlah Rakaatnya

Jumlah rakaatnya minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga tiga belas rakaat, yang penting bilangannya ganjil.

Jika melakukan shalat witir tiga rakaat, maka caranya ada dua;
-Pertama: Melakukannya tiga rakaat langsung lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir.
-Kedua: Melakukannya dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam, kemudian melakukan shalat satu rakaat lagi, kemudian tahiyat lalu salam.

Adapun melakukan shalat witir tiga raka’at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal dan akhir) tidak ada contohnya dari Nabi, bahkan ada larangan untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib8).

Sunnah-Sunnahnya

- Disunnahkan setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat al-A’la, sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas.

- Setelah shalat witir disunnahkan membaca bacaan berikut sebanyak tiga kali:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ


“Maha Suci (Allah) Raja Yang Maha Suci, Tuhan malaikat dan ruh (Jibril)”

- Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku’ ataupun sesudah ruku’, namun yang lebih utama dilakukan sesudah ruku’.

Catatan:

  1. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, oleh Syeikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, hal 167.
  2. Lihat al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
  3. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
  4. Lihat Syarh Shahih Muslim, oleh Imam An-Nawawi, 6/ 262. Lihat juga Fatawa Lajnah Da’imah (Kumpulan Fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa Kerajaan Saudi Arabia), 7/195
  5. Lihat al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 2/604, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/198
  6. Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibn Baz, 11/339-340
  7. Lihat Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibn Baz, 12/181
  8. Lihat Shalat al-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qohthoni, hal. 326
pks-arabsaudi.org

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons