myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Jumat, 15 Juli 2011

Menaklukan Dosa Dengan Taubat



Senjata untuk menghancurkan kedua penyebab munculnya benih-benih dosa tersebut adalah dengan melakukan taubat, yaitu taubat yang serius, dengan tidak mengulangi dosa yang pernah kita lakukan.

Taubat yang pertama kali dialami oleh manusia adalah penyesalan Adam dan Hawa ketika berada di Surga, yang kemudian diturunkan ke bumi karena melanggar perintah Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu (Hawa) surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai dan janganlah kamu dekati pohon ini (Pohon Khuldi) yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 35)

Setelah itu, datanglah iblis menaburkan bujuk rayunya kepada Adam dan Hawa supaya memakan pohon khuldi yang dilarang oleh Allah SWT. Karena terbawa oleh bujuk rayu iblis, Adam dan Hawa lupa akan larangan itu, yang menyebabkan dirinya terusir dari surga,"Maka syetan membujuk keduanya (untuk memakan buah Khuldi) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan merekamenyeru; "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan padamu; "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Q.S. Al-A'raf 7 : 22).

Setelah mendapat teguran dari Allah SWT., Adam dan Hawa menyesali perbuatannya, dan kemudian bertaubat, "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang". (Q.S.Al-Baqarah 2 : 37). Dengan ungkapan, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (Q.S. Al-A'raf 7 : 23)

Itulah dosa yang pertamakali dilakukan oleh manusia. Oleh karena, tak ada seorang manusia pun yang steril dari dosa. Setiap manusia, baik itu santri apalagi preman, tentu pernah melakukan dosa. Dosa adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT, yang akan menjerumuskan pelakuanya kedalam api neraka. Oleh karena itu, kita harus mampu menjauhi dosa-dosa yang ada disekeliling kita, jika kita belum mampu menjauhinya, paling tidak, kita bisa meminimalisirnya, agar kita tidak terjerumus kedalam jurang api neraka.

Agar kita dapat terhindar dari perbuatan dosa, maka kita harus selalu mewaspadai penyebab munculnya dosa. Dosa yang kita lakukan seringkali disebabkan oleh dua faktor, yaitu: Pertama, Faktor Eksternal yaitu lingkungan yang tidak bermutu. Atau suatu kondisi yang dapat menyesatkan manusia dari jalan yang benar, dan biasanya sudah terorganisir, sistemik, dan terstruktur melalui berbagai media, "Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya." (Q.S. Ali Imran 3 : 69).

Kedua, Faktor Internal yaitu mempertuhankan hawa nafsunya. Hawa Nafsu adalah bencana yang paling berbahaya dalam menggelincirkan hati manusia kedalam kesesatan. Jika seseorang jiwanya telah diperbudak oleh hawa nafsu, maka prilakunya akan| bertentangan dengan ajaran Allah SWT. Dia akan selalu mencari kepuasan duniawi, tanpa mempertimbangkan masa depannya di akherat kelak. Orang seperti ini akan mendapat azab Allah SWT., baik di dunia maupun di akherat kelak. "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasar ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Q.S. Al-Jaatsiyah 45 : 23). Siapakah yang merasuki hati manusia dengan hawa nafsu? Jawabannya tentu adalah syetan, makhluk Allah yang telah dikutuk karena perilakunya yang selalu mengingkari kebenaran dari Allah SWT., "Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan). Maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS. Az-Zukhruf 43 : 36 - 37).

Senjata untuk menghancurkan kedua penyebab munculnya benih-benih dosa tersebut adalah dengan melakukan taubat, yaitu taubat yang serius, dengan tidak mengulangi dosa yang pernah kita lakukan.

Taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, pasti akan diterima oleh Allah SWT. Dan taubat yang sungguh-sungguh harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:

Pertama, Menyesali kesalahan. Kesalahan yang telah dilakukannya disadari sebagai kesalahan, dan mengikrarkan di dalam hati dengan penyesalan karena terlanjur telah melakukannya. Kesedihan hati telah melakukan kesalahan merupakan tanda penyesalan. Dan penyesalan seseorang terhadap kesalahan dirinya adalah pertanda bahwa dirinya telah bertaubat. Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah saw., "Penyesalan adalah pertanda taubatnya seseorang." (H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim).

Kedua, Mengakui diri bersalah. Seseorang yang telah melakukan kesalahan, dan mengakui bahwa dirinya telah bersalah, kemudian dia bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dia dinyatakan telah bertaubat, "Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (Q.S. Ali Imraan 3 : 135)

Ketiga, Membutuhkan ampunan Allah SWT. Ampunan Allah sangat dibutuhkan ketika kita ingin mensucikan hati dari perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Prilaku seperti ini pernah dilakukan oleh Adam dan Hawa disaat mereka melakukan pelanggaran kepada Allah SWT., "Keduanya (Adam dan Hawa) berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Al-'Araf 7 : 23).

Keempat, Tidak mengulangi lagi perbuatan dosa. Berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa yang ia lakukan adalah bukti bahwa ia telah bertaubat. Dan kesalahan yang pernah ia perbuat harus diganti dengan amalan-amalan shaleh, jika taubat dirinya ingin diterima oleh Allah SWT., "Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosa (nya). (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka itu diganti oleh Allah dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Furqaan 25 : 68 - 70). Dan dalam ayat berikutnya Allah menjelaskan, "Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqaan 25 : 71 - 72).

Ayat ini merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang bertaubat, sehingga ketika ayat ini turun, Rasulullah sangat bergembira dikarenakan Allah SWT masih membuka lebar pintu taubat bagi hamba-hambanya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat yang bunyinya "...maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan". Apakah sifat penggantian ini berlaku hanya didunia saja atau bahkan diakherat pun berlaku. Ada dua pendapat dalam hal ini, menurut Ibnu Abbas dan rekan-rekannya, mereka sendiri yang mengganti amal-amal mereka yang buruk dengan amal-amal yang baik, seperti mengganti syirik dengan keimanan, mengganti zina dengan cara mengangkat kehormatan diri, mengganti dusta dengan kejujuran, mengganti khianat dengan amanat, dan seterusnya.

Sedangkan menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan rekan-rekannya yang lain dari kalangantabi'in (kelompok umat Islam setelah periode sahabat) berpendapat, bahwa Allah-lah yang akan mengganti keburukan yang mereka lakukan dengan kebaikan di akherat, mengganti kepada mereka satu kebaikan sebagai pengganti dari satu keburukan.

Pendapat kedua ini berhujjah dengan riwayat Tirmidzi di dalam kitabnya, bahwa Rasulullah saw telah bersabda; "Aku benar-benar mengetahui orang terakhir yang keluar dari neraka. Orang itu dihadapkan pada hari kiamat, lalu dikatakan di hadapannya, 'Tunjukkan kepadanya dosa-dosanya yang kecil'. Sedang dosa-dosanya yang besar disembunyikan. Dikatakan, 'Pada hari ini dan itu aku berbuat begini dan begitu'. Orang itu mengakuinya dan tidak menyangkalnya. Dia merasa kasihan kepada diri sendiri karena dosa-dosanya yang besar. Dikatakan, 'Berikan kepadanya satu kebaikan sebagai pengganti dari satu keburukan yang dilakukannya'. Orang itu berkata; 'Aku mempunyai beberapa dosa yang tidak kulihat ada disini'. Abu Dzarr berkata, 'Kulihat Rasulullah saw tersenyum, hingga terlihat gigi gerahamnya'."

Dengan kata lain, setiap keburukan orang yang bertaubat diganti dengan kebaikan, karena ia menyesalinya. Penyesalan ini merupakan taubatnya dari keburukan itu, sebab penyesalan itu sendiri sudah merupakan taubat. Taubat dari setiap dosa adalah kebaikan.

Ayat P. Muhlis.

Cacat Mental Dakwah

Idealnya, kondisi umat bisa diperbaiki dengan dakwah. Seperti sering diibaratkan orang, da'i adalah dokter dan umat adalah pasiennya. Namun apa jadinya sang pasien, jika sang dokter salah dalam melakukan pengobatan. Alih-alih medapatkan kesembuhan, malah sakit bertambah parah.

Demikian halnya dalam dunia dakwah. Kesalahan yang dilakukan para da i menyebabkan dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan tersebut adalah bila di dalam kancah dakwah berkembang penyakit mental. Di antara penyakit-penyakit mental (ma'nawiyah) dalam dakwah itu adalah:

Pertama, sikap infi'aliyyah (reaksioner).

Sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah yang infi aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah SWT telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (QS.Yusuf : 108)

Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang fenomenal. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.

Ini bukan berarti gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomenal. Sebab, pada dasarnya gerakan dakwah memang dituntut mampu merespon bahkan mencari solusi bagi permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Misalnya masalah korupsi, kerusuhan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problema kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari aqidah Islam dan syari at Islam. Kedua, karena itu harus ada gerakan yang integral dan simultan untuk membenahi aqidah umat dan menumbuhkan keberpihakan terhadap syari at Islam.

Harus dipahami, Islamisasi kehidupan bukanlah sekedar membuat umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, wirid, dan ritual lainnya. Sayangnya, justru corak pemahaman parsial macam itulah yang amat digandrungi oleh para penjajah dan kaum bermental penjajah dari bangsa sendiri. Sebab Islam dalam bentuknya yang ritual (sebagian orang menyebutnya agak keren sebagai Islam kultural ) itu adalah Islam yang mudah ditaklukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itulah orang-orang yang bermental penjajah itu senantiasa memberikan PR-PR kepada umat Islam agar terjebak dengan isu-isu sesaat. Akibatnya isu-isu abadi berupa pembinaan aqidah dan pemahaman akan keutuhan Islam tak tersentuh secara memadai.

Kedua, membangun figuritas (wijahiyyah).

Islam mengajarkan ketaatan tapi melarang taqlid buta; memerintahkan kesetiaan tapi mengharamkan kultus individu; mewajibkan penghormatan terhadap orang yang layak mendapatkannya namun mencela figuritas.

Telah banyak kericuhan yang terjadi pada umat ini akibat sikap figuritas ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan disampaikan oleh orang yang dia figurkan. Dan menerima segala apa yang disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapa pun nyata-nyata salah menurut standar Qur an dan Sunnah.

Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang kemudian berkembang adalah kecintaan kepada tokoh, bukan kepada Islam. Berjuang karena figur, bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan terhadap Islam melemah. Hal ini menjelaskan pertanyaan, "Mengapa tokoh yang jelas salah dan menyimpang dari Islam terus dibela dengan berbagai alasan. Saat ada ancaman besar terhadap Islam banyak orang tidak bereaksi. Namun, ketika orang yang diidolakannya mendapatkan kritikan, ia membela mati-matian?"

Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjungan dilakukan karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam Al-Quran, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad)." (Ali Imaran 144)

Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah SAW sehingga mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya penggal lehernya." Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal, berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah SAW, maka lebih buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa. Yang paling buruk adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan loyalitas kepada kebenaran.

Ketiga, merasa paling hebat (i' tizaziyyah).

Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu (rendah hati). Apabila seorang da i dari awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling benar, bukan sikap tawadhu yang akan tumbuh. Boleh jadi yang subur adalah sikap sombong dan takabbur serta memandang orang lain dan gerakan dakwah lain tidak ada artinya.

Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan iblis. Iblis merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. "Aku lebih darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah," ujar iblis saat Allah berttanya tentang alasannya tidak mau sujud kepada Adam.

Refleksi i tizaziyyah dalam dakwah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang sering muncul adalah keengganan menjalin kerja sama dalam proyek dakwah. Bahkan merasa bisa melakukan da'wah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang juga sering muncul adalah klaim kebenaran mutlak untuk diri dan kelompok sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam bentuk pengkavlingan negeri akhirat. Yang mengikutinya "ditempatkan" di sorga. Dan yang tidak mendukungnya ia "masukkan" ke neraka. Seolah ia telah dititipi kunci surga oleh Allah swt.

Keempat, sikap merendahkan dan menafikan orang lain (intiqashiyyah).

Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang ada dua kemungkinan yang muncul jika melihat keberhasilan orang lain. Pertama, dengki, dan kedua menafikan keberhasilah itu.

Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang pada dasarnya sama: tidak mensyukuri karunia Allah, karena karunia itu bukan turun kepada dirinya. "Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)

...

Akankah da'wah seperti itu mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat? Rasanya sulit. Problematika umat dewasa ini amat kompleks. Paling tidak, ada dua kebutuhan utama sebagai syarat untuk menyelesaikan segala persoalan umat.

Pertama, adanya kerjasama ( 'amal jama'i) antar da'i dan kelompok dakwah.

Kedua, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan wawasan Islam yang memadai. Wawasan Islam yang dimaksud termasuk pemahaman secara utuh tentang Islam yang syamil (integral).

Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jamai yang harmonis, saling menguntungkan dan penuh ukhwah jika terdapat i'tizaziyyah dan intiqashiyyah. Mungkinkah masyarakat akan sampai pada tingkat pemahaman yang baik jika mereka tidak diajak untuk menyelami keutuhan Islam, akibat terjebak denganfenomena dan isu temporer. Masih beruntung kalau dakwah sekedar dianggap gagal menjalankan misinya. Yang ironis jika dakwah justru dituduh menambah ruwetnya
persoalan. Nah!

Ust. Tate Qomaruddin, Lc

www. percikaniman.org

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons