myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Kamis, 10 November 2011

Pemuda, Qurban dan Kepahlawanan



Bulan November tahun ini cukup menggelitik nurani kebangsaan kita. Kebetulan Hari Raya Kurban yang jatuh 6 November yang lalu terasa spesial karena diapit dengan dua momen nasional negeri ini, Sumpah Pemuda 28 Oktober dan Hari Pahlawan 10 November yang kita peringati hari ini.
Dan, bila ditarik lebih jauh lagi, ribuan tahun silam, tentang histori ibadah kurban, kita pasti juga bicara tentang sesosok pemuda dan kepahlawanannya, yaitu Nabi Ibrahim AS. Ada tiga pelajaran penting yang patut kita renungi dalam fragmen waktu tersebut, yaitu tentang pemuda, pengorbanan, dan kepahlawanan.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 jelas jadi panggung sejarah pemuda di negeri pertiwi ini dalam mendobrak kebuntuan kita saat menghadapi penjajah. Begitu pula proklamasi 17 Agustus 1945 dan terlebih lagi perlawanan heroik arek Suroboyo pada 10 November 1945, yang kini kita rayakan sebagai Hari Pahlawan.
Keteladanan Ibrahim
Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, pemuda dan kepahlawanan senantiasa berjalan berbarengan, saling mendukung, saling melengkapi. Bahkan, menyatu laiknya senyawa baru, seperti profil pemuda Ibrahim dan jiwa kepahlawanannya yang begitu kental.
Ibrahim muda terkenal sebagai sosok vokal dan pemberani. Betapa tidak, sendirian ia saat itu mendobrak kebodohan umat yang menyembah berhala dan diperbudak oleh tiran bernama Namrud. Ibrahim muda dengan lantang berkata kepada ayahnya yang bernama Azar, seorang pematung kerajaan Namrud, “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya, aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-An’am [6] : 74).
Singkat cerita, Ibrahim muda harus menerima hukuman akibat keberaniannya menyampaikan kebenaran dan risalah kenabiannya dengan menghancurkan berhala-berhala berupa dibakar hidup-hidup di depan umum. Akan tetapi, dengan kuasa Allah SWT, api itu tidak sanggup membakar hangus Ibrahim. Ia pun selamat.
Sekian tahun berlalu kemudian. Di kala itu, Nabi Ibrahim AS kembali diuji keimanannya dengan adanya perintah Allah SWT melalui mimpi untuk menyembelih anak yang telah sekian lama dinantinya, yaitu Isma’il AS , putra kesayangan dari Ibunda Hajar.
Dengan gundah gulana, Ibrahim menyampaikan perihal mimpinya kepada sang anak. “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi diperintahkan Allah untuk menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dan, Isma’il menjawab, “Wahai Ayahku lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” (QS As-Shaffaat [37]: 102).
Dan, dengan semangat pengorbanan kepada Allah SWT, Ibrahim pun menunaikan perintah dengan menyembelih putra kesayangannya, Isma’il. Dengan kuasa-Nya, Allah SWT mengganti ibadah Qurban Ibrahim dengan seekor domba besar. Isma’il pun tidak jadi disembelih karena sang Maha Kuasa sudah mendapatkan ketaqwaan Ibrahim atas perintah-Nya berupa pengorbanan.
Dua fragmen kehidupan Ibrahim AS itu sungguh menggambarkan betapa sosok jiwa pemuda dan kepahlawanan memiliki akar yang sama: pengorbanan. Sosok pemuda dengan jiwa mudanya, identik dengan sosok pemberani yang selalu siap berkorban apa saja untuk sesuatu yang diperjuangkannya. Sedangkan kepahlawanan selalu mensyaratkan pengorbanan sebagai bahan bakarnya.
Dalam panggung sejarah manusia pun sudah tergambar, betapa pemuda dan kepahlawanan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Betapa banyak pemuda yang berhasil mewujudkan pengorbanannya kepada bangsa dan umat dan ia pun layak bergelar pahlawan, termasuk di Indonesia.
Kita menganugrahi para pejuang kemerdekaan yang telah rela mengorbankan jiwa dan raganya dengan sebutan pahlawan kemerdekaan dan tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pembentukan negara-bangsa dengan sebutan pahlawan nasional. Kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada orang banyak.
Seorang pahlawan tidak hidup hanya untuk diri sendiri, keluarga, atau kelompoknya. Ia selalu dikenal sebagai orang yang mengabdikan hidupnya itu dengan membuat karya-karya besar bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Termasuk salah satunya mereka yang secara ikhlas melaksanakan ibadah kurban, penuh dengan ketulusan dan keikhlasan, mempersembahkan karya terbaik tanpa pamrih sedikit pun. Oleh karena itu, pengorbanan adalah kata kunci dari kepahlawanan.
Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Beliau pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, visioner, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan dirinya. Dalam kondisi sakit, Jenderal Soedirman tetap mengatur strategi perang dan memimpin semua kesatuan pejuang untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan yang akhirnya membuahkan kemerdekaan.
Tentunya, semangat pengorbanan ini tidaklah berdiri sendiri dalam mewujudkan kepahlawanan. Pengorbanan paling tidak diikuti oleh keberanian dan kesabaran. Cobalah menelusuri sejarah orang-orang besar, maka akan kita jumpai mereka banyak hadir di tengah-tengah krisis dan situasi-situasi sulit. Mereka ditakdirkan memikul beban-beban berat, menjalankan peran-peran sulit yang sedikit sekali orang pada waktu itu yang berani mengambilnya. Di situlah mereka tampil ke panggung sejarah dengan keberanian yang luar biasa dan pengorbanan yang luar biasa pula.
Selain itu, juga diimbangi dengan kapasitas diri yang memadai. Diperlukan napas panjang perjuangan berupa kesabaran. Kesabaranlah yang membuat seorang pahlawan mampu menyelesaikan tugasnya. Berjuang pantang menyerah, bersabar dalam menahan beban dan siksaan, serta tetap teguh ketika godaan duniawi yang mengiming-imingi untuk merusak rencana suci bangsa ini. Kita juga jumpai kesabaran ini mendominasi kisah kepahlawanan.
Kekuatan moral
Jika energi spiritual itu telah melekat dan mendarah daging dalam kehidupan kita, maka kita yang hidup di era kemerdekaan ini mampu melawan seluruh sikap negatif, seperti kerusakan moral akibat terpaan badai materialisme, kecintaan berlebihan pada materi, dan mengabaikan nilai-nilai moral. Sekarang juga kita memerlukan kekuatan moral untuk menyembuhkan bangsa dari patologi (penyakit) sosial.
Sekarang ini kita membutuhkan energi spiritual untuk memperbaiki nasib bangsa yang masih terpuruk, terbelakang, dan terjerat belenggu krisis. Kita sangat membutuhkan orang-orang reformis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan hingga dapat menyejahterahkan warga bangsa.
Sudah bukan saatnya kini kita sesama warga bangsa untuk sama-sama terlena, terjebak dalam perpecahan antarsesama warga bangsa. Saatnya kini kita harus mampu mengokohkan semangat persatuan dan kebersamaan dalam menggali potensi besar yang dimiliki bangsa ini. Dan, inilah spirit yang telah ditunjukkan oleh para pahlawan negeri ini.
Cita-cita luhur yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 harus dijadikan pijakan kita bersama, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Semoga dengan semangat, tekad sumpah pemuda dan keikhlasan para warga bangsa yang telah melaksanakan ibadah kurban menjadi bahan bakar utama untuk tetap menjaga spirit dan nilai-nilai kepahlawanan negeri yang kita cintai ini, amin. Selamat Hari Pahlawan, negeriku….

H. Nur Mahmudi Ismail
Walikota Depok
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/24

Money Politic Demi "Kemenangan Dakwah"




Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Ustadz Farid Nu'man Hasan, semoga Allaah Ta'ala senantiasa menjaga Ustadz sekeluarga.
Kemarin ana baru saja ikut Mukhayam Kepanduan, dalam salah satu sesi acara tersebut ada seorang Ustadz Pemateri yang mengatakan -kurang lebih seperti ini, soalnya ana agak lupa: "Perang itu adalah tipu daya" Beliau melanjutkan "..Jadi kalau kita menganggap Pemilu sebagai perang, jangan jujur-jujur amat" lalu dipaparkan tentang sirah Nabi SAW pernah mengotori sumur musuh dan disisakan satu sumur yg bersih sbg taktik perang, juga dalam dalam perang boleh membunuh musuh.
Terus terang sampai titik ini, ana agak terganggu, maksudnya apa?
Lalu beliau menjabarkan.Jadi kalau Pemilu kita anggap sebagai perang maka tdk mengapa melakukan Money Politic agar rakyat memilih kita. Pihak lain saja melakukan Money Politik, lalu kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? sedangkan tujuan dakwah kita jelas, agar bisa melakukan perbaikan dan menegakkan Islam ketika berhasil menjabat sedangkan mereka ketika sudah menjabat malah melakukan korupsi misalnya supaya balik modal. Untuk mendukung ucapannya beliau menganalogikan dengan adanya ajaran Islam yang memberikan Ghanimah kepada Muallaf agar hatinya teguh pada Islam.

Beliau juga sempat merinci kasus per kasus ketika Money Politik itu diperbolehkan, yaitu kenyataan bahwa masyarakat didaerah saya tinggal sekarang memang 'kurang berpendidikan' dan 'matre' walaupun tidak semuanya/mayoritas tapi ada yg seperti itu. Pada saat Pilgub beberapa waktu yang lalu di TPS itu ada orang yang mondar-mandir (tdk segera bergegas mencoblos) dengan harapan ada pasangan yg memberinya uang. Ada juga keluarga yg tidak mencoblos karena tidak ada yang memberinya uang pedahal dikeluarga itu ada 6 suara. Maka pada kondisi seperti itu kita tdk mengapa memberi uang supaya memilih kita!
Selanjutnya beliau sempat berkata bahwa tdk semua money politic itu haram. Contohnya, ketika ada si Fulan yang telah lulus ujian CPNS tapi namanya akan dicoret sebagai CPNS kalau tdk memberikan uang, maka hal ini boleh karena tdk ada hak orang yg kita rebut dengan cara kotor, kita hanya memperjuangkan hak kita. Tentu kasusnya berbeda kalau kita tidak lulus CPNS lalu membayar supaya jadi CPNS.
Beliau mengakhiri dengan kebersediaanya beliau kalau ingin diskusi atau bertabayun terhadap uraiannya, namun ana belum sempat tabayun ke beliau. Sementara itu yang ana tangkap, walaupun mungkin ada informasi dan pemahaman yg tidak utuh. Ana mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullaah Khairan Katsiran. (Abu Hafuza)


Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
                Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

                Kepada Abu Hafuza yang dirahmati Allah Ta’ala .... Semoga antum tetap istiqamah, berdiri bersama orang-orang yang benar, baik pagi dan sorenya, atau malam dan siangnya, walau semakin sedikit orang-orang yang berani menampakkan kebenaran.
                Kemudian ..., semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, khususnya kepada “Sang Ustadz”   acara mukhayam kepanduan yang antum ikuti. Agar yang haq adalah haq lalu kita selalu bersamanya,  dan yang batil adalah batil dan kita selalu menjadi oposisinya.
                 Saya akan memberikan komentar sejauh dari  apa yang antum tanyakan dan tulis saja, ada pun di luar itu, saya tidak mengomentarinya. Dan, saya mohon maaf atas hal itu. 

Jika tidak ada lagi rasa malu lakukanlah apa pun semaumu
Ini komentar saya yang pertama. Hendaknya para da’i,  ustadz, dan murabbi menjadi teladan yang baik. Jangan menyebarkan syubhat di tengah umat dengan ucapannya dan juga tingkah lakunya. Jadilah orang yang wara’ pada semua keadaan, termasuk ketika perang sekali pun menghadapi musuh. Tetapi, bagi orang yang rasa malunya menipis memang biasanya terjadi degradasi kepekaan terhadap dosa, maka silahkan  katakan dan lakukan apa saja yang dikehendakinya.

Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ
 
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali manusia ketahui adalah; jika engkau tidak malu maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu.” (HR.  Al Bukhari   No. 3484, 6120, juga dalam Adabul Mufrad No. 597, 1316, Ibnu Hibban  No. 607, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7734, 7736, juga As Sunan Al Kubra No. 20576, Ahmad   No. 17131, 17139, 22399, 23302, Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 819, Al Qudha’i dalamMusnad Asy Syihab No. 1153, 1154, 1156, Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 621, 655, Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 1327, 1328, 1329, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20149, Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No. 582, 1197)


“ .... lalu mereka berfatwa, mereka sesat dan menyesatkan.”
                Tidak sedikit orang berbicara agama, tetapi kurang hati-hati, lalu dia tergelincir menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Apalagi orang tersebut tidak mau menanyakan kepada para ulama, minimal berdekatan dengan kitab-kitab para ulama, atau dia berdiskusi dengan yang lainnya agar memiliki gambaran yang jelas dan tidak terburu-buru dalam berfatwa. Namun, ketika hawa nafsu telah menjadi panglima, kepentingan politik di atas segalanya, menang kalah pertarungan politik menjadi targetnya,  yang haram bisa dibuat abu-abu, sementara jalan halal yang terang benderang tidak ditempuhnya, maka lahirlah pernyataan-pernyataan yang membingungkan bahkan cenderung menyesatkan manusia, setelah dirinya sendiri telah bingung dan  tersesat!

 Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

                Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hamba, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak lagi tersisa seorang ulama, akhirnya manusia menjadikan tokoh-tokoh bodoh sebagai rujukan, lalu mereka ditanya  kemudian berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari No. 100)

Qiyas ma’al fariq

                Qiyas pertama. Sang pemateri, mengqiyaskan banyak hak untuk menguatkan argumentasi dan pandangannya. Seperti menggunakan hadits Shahih Bukhari“Samma An Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Harba Khad’ah – Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakan perang  dengan tipu daya”, untuk membolehkan money politik (baca: suap), dia menganggap money politik adalah trik dan tipu daya halal untuk kemenangan pemilu. Sembari berdalih karena NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengotori sumur musuh yang bersih, dan menyisakan satu yang bersih, dan juga karena dalam perang dibolehkan membunuh musuh.

                Pendapat ini memiliki beberapa cacat.

                Pertama.  Perang dalam pilkada, pilgub, pilpres, dan pemilu secara umum di negeri muslim seperti di Indonesia, bukanlah peperangan melawan orang kafir, dan sama sekali berbeda dengan makna Al Harb dalam hadits tersebut. Partai-partai yang berkompetisi di negeri ini mayoritas adalah muslim secara pribadinya, bahkan bisa jadi secara personally mereka lebih shalih dibanding sebagian aktifis Islam. Maka, menyamakan trik dan tipu daya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika perang melawan orang kafir, dengan trik berupa money politik  untuk melawan partai-partai lain dalam pemilu pada saat ini, yang mereka umumnya juga muslim, adalah qiyas ma’al fariq (analagi yang kontradiktif), bahkan zalim. Sebab, seakan telah menyamakan sesama muslim sebagaimana orang kafir, hanya karena mereka berbeda pilihan politiknya. Dari sisi ini saja sudah cukup menjelaskan bahwa Sang Ustadz telah ceroboh dalam “fatwa”nya.  

                Kedua. Kalau pun Sang Ustadz tidak bermaksud mengqiyaskan, Beliau hanya memberikan contoh sekaligus dalilnya, ini juga pendalilan yang lemah bahkan tidak pantas. Tidak pantas hadits Al Harbu Khad’ah – perang adalah tipu daya, dijadikan dalil untuk money politic (risywah/suap) dan membeli suara, untuk mengelabui sesama muslim. Tidak pantas pula kasus pengotoran sumur musuh, untuk dalil menghalalkan money politic. Terlebih lagi bolehnya membunuh musuh (kafir) ketika perang, dijadikan dalil untuk halalnya money politic juga.  Dengan kata lain tidak ada wajh istidlal (sisi pendalilan) yang cocok di sisi mana pun yang mendukung pernyataannya.

                Jika yang dimaksud “tipu daya dalam perang” adalah membuat ranjau yang tertutup pohon, membuat perangkap untuk menangkap musuh, seorang prajurit berkata “tidak” atau tidak mau bicara ketika diinterogasi musuh padahal dia tahu jawabannya, prajurit menggunakan seragam yang dapat menyamar, maka inilah tipu daya dalam peperangan.  Dibenarkan syariat, akal, dan tradisi peperangan di mana pun. Ada pun money politic, tanyakan kepada hati nuranimu, niscaya nurani yang masih dihuni cahaya fitrah, akan menolaknya. 

                Membunuh dalam peperangan adalah konsekuensi orang berperang, dan itu adalah hal yang niscaya. Begitulah perang, hal-hal yang terlarang dalam keadaan normal seperti membunuh, menjebak manusia (musuh), menyembunyikan fakta, dan semisalnya, menjadi hal yang dibolehkan. Sedangkan money politic (menyuap) dalam pemilu, pilkada, dan semisalnya, bukanlah konsekuensi orang berpolitik, kecuali bagi para pengidap machiavelist.  Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan menyuap haram, kecuali ketika pemilu, maka dia jadi halal. Apalagi pesaing dalam pemilu adalah sama-sama muslim, yang lebih pas disebut berlomba dalam kebaikan, bukan peperangan. Betapa pun pesaing tersebut menggunakan cara-cara kasar, dan memposisikan aktifis Islam sebagai musuh. 

                Qiyas keduaSang pemateri juga membolehkan money politic karena menyamakan hal itu dengan orang-orang mualaf yang diberikan ghanimah oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini juga qiyas yang sangat jauh, dan keberanian yang luar biasa karena dia telah menyamakan kedudukan dan fungsi harta ghanimah yang mulia, dengan money politic yang haram. Wallahul Musta’an!

                Mualaf yang mendapatkan ghanimah dan juga zakat, adalah manshush (berdasarkan nash), agar mereka teguh kepada Islam, dan tidak kembali kepada kekafiran. Sedangkan memberikan money politic, agar mereka teguh terhadap apa? Dan agar mereka tidak kembali kepada apa?  

Jika dikatakan agar teguh terhadap Islam,  justru Islam melarang suap. Jika dikatakan agar mereka tidak kembali kepada kekafiran, maka lawan-lawan politik kita ternyata sesama muslim, saudara kita sendiri, bukan musuh, dan bukan orang kafir.

Money politic karena musuh juga melakukannya

                Di Mesir, aktifis gerakan Islam diperkirakan akan meraih kemenangan besar jika pemilu diadakan dengan jujur dan adil. Karena kekalahan mereka sebelum-sebelumnya adalah lebih disebabkan   kecurangan dari musuh-musuhnya. Begitu pula di Tunisia.  

                Kemenangan seperti ini yang seharusnya terjadi di negeri ini, yakni karena keadilan dan tidak ikut-ikutan berbuat curang, dan bersabarlah untuk  memenangkannya. Bukankah jatuhnya citra partai da’wah  disebabkan kendurnya mereka terhadap indibath syar’i-nya? Bukankah kemulusan wajah gerakan Islam ternoda lantaran mereka sudah berperilaku sama dengan musuh-musuhnya sendiri?

                Jika pesaing melakukan money politic, maka laporkan itu, dan tetaplah istiqamah dengan cara yang benar dan bersih. Jangan kehabisan akal dan strategi untuk mencari cara yang halal.  Agar rahmat dan berkah Allah Ta’ala senantiasa bersama kita. Kalau pun kita kalah, tetapi kekalahan yang tetap mulia dan berwibawa, justru itulah kemenangan hakiki sebab kita mampu melawan hawa nafsu untuk berperilaku yang tidak benar. Jangan terburu-buru untuk menang, akhirnya menghalalkan segala cara, padahal ayat dan hadits selalu kita baca; bahwa Allah Ta’ala bersama orang-orang yang sabar!

Risywah itu Dosa Besar 

                Apakah risywah itu? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al Wasith:

ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق

                Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq. (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah)

                Money politic adalah risywah, tidak syak lagi, dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walau tujuannya adalah haq. Money politic adalah upaya memenangkan yang kalah dengan cara batil, atau mengalahkan yang menang dengan cara batil pula.

                Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي

                Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap. (HR. At Tirmidzi No. 1337, katanya: hasan shahih.  Abu Daud No. 3580, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7066, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz Dzahabi berkata dalam At Talkhish:”Shahih”)

                Dalam hadits Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melaknat perantara suap. (Ar Ra-isy). (HR. Ahmad No. 22399, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih lighairih.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 22399)

Niat dan tujuan yang baik tidaklah merubah sarana yang haram menjadi halal, kecuali memiliki dalil
Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل

Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil. (Syaikh Walid bin Rasyid  bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23)

Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik, yakni memenangkan da’wah dalam kompetisi politik.

Dalilnya:

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ                                                       
      
          Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu. (QS. Al Baqarah (2): 42)                                                                       
                Ada pun yang ditunjukkan oleh nash boleh dilakukan adalah berbohong dalam berperang, mendamaikan saudara yang bertengkar, berbohongnya suami istri untuk menghargai dan menjaga perasaan mereka, dan beberapa contoh yang lain.  

                Oleh karenanya, memperjuangkan agama yang mulia, tidak boleh dengan cara-cara yang tidak mulia walau cara itu dianggap efektif. Selain tidak berkah, itu juga mengotori citra dakwah dan Islam. Sadarkah Sang ustadz ini?

Bukan Termasuk Risywah

                Ada pemberian uang yang tidak termasuk suap sebagaimana yang dijelaskan para ulama. Imam Ibnul Atsir dalamNihayah-nya berkata:

فأما ما يعطى توصلا إلى أخذ حق أو دفع ظلم فغير داخل فيه  روى أن بن مسعود أخذ بأرض الحبشة في شيء فأعطى دينارين حتى خلى سبيله وروى عن جماعة من أئمة التابعين قالوا لا بأس أن يصانع الرجل عن نفسه وماله إذا خاف الظلم
       Ada pun pemberian demi untuk mengambil hak atau mencegah kezaliman bukanlah termasuk suap. Diriwayatkan bahwa ketika di Habasyah,  Ibnu Mas’ud pernah  memberikan dua dinar sampai jalan yang ditempuhnya menjadi sepi (tidak ada gangguan). Diriwayatkan dari Jama’ah para imam tabi’in, mereka mengatakan: tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya jika dia takut kezaliman. (Sebagaimana dikutip Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/471)

                Lihat juga beberapa kitab lainnya. (Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 10/88, Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiah  ‘Ala Ibni Majah, 5/16, dll)

Benar Tapi Salah

                Sang Pemateri telah benar ketika mengatakan bolehnya memberikan sejumlah uang, bagi CPNS yang telah lulus dengan prosedur yang benar, tetapi namanya akan dicoret jika dia tidak memberikan uang itu. Dia melakukan itu untuk memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh orang zalim yang ada di instansi tersebut. Ini benar.

 Begitu pula yang semisal ini, seperti jika seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang yang telah menculik anaknya, dia melakukan itu untuk mengambil haknya yang telah dirampas  yaitu anak. Ini tidak dikatakan risywah(suap). Tidak berdosa bagi yang memberi, tapi berdosa bagi yang menerima. 

Begitu pula yang semisal ini, seseorang sudah lulus ujian untuk mendapatkan SIM, baik ujian teori atau praktek, tetapi dia digagalkan berkali-kali karena tidak memberikan sejumlah uang, maka dia boleh memberikan sejumlah uang kepada oknum polisi tersebut yang telah merampas haknya. Ini bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh oknum polisi tertsebut. Hal ini berbeda dengan seseorang yang sejak awal sudah memberikan uang kepada oknum polisi, untuk memperlancar urusannya, padahal dia sama sekali  belum layak untuk mendapatkan SIM karena ketidak mampuannya.

Semisal pula dengan ini, seseorang pedagang kaki lima yang berdagang di sebuah tempat strategis, dan siapa pun berhak berdagang di sana, tetapi ada sekelompok preman yang meminta uang keamanan yang ilegal (baca: pungli), yang jika tidak diberikan maka pedagang ini akan diusir dari tempat tersebut. Maka, dia boleh memberikan uang tersebut bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya. Ini juga sesuai dengan kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain, melaksanakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat. Memberikan sejumlah uang kepada mereka adalah mudharat, tetapi tidak bisa berdagang di  tempat yang strategis juga mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar. Maka, tidak apa-apa dia memilih mudharat yang lebih kecil untuk menghindar mudharat yang lebih besar.

Semisal dengan ini pula, seorang saudagar yang dirampok dagangannya oleh perampok jalanan, saudagar ini akhirnya memberikan sejumlah uang untuk menundukkan hati perampok itu, agar tidak mengambil keseluruhannya. Jika saudagar ini  tidak memberikan, atau malah melawan, justru perampok itu akan mengambil keseluruhannya bahkan membunuhnya. Maka, kondisi ini boleh baginya untuk memberikan kepada perampok itu sejumlah uang, untuk menghindar mudharat yang lebih besar.

Dan, contoh-contoh lain semisal ini. Semua ini hakikatnya bukan suap karena mereka telah dianiaya, dirampas haknya, dan uang yang mereka berikan adalah untuk menebus hak-hak mereka yang dirampas itu. (lihat lagi pembahasanBukan Termasuk Risywah)

Maka, letak kekeliruan Sang Pemateri adalah kasus CPNS tadi dijadikan dasar, atau dianggap sama dengan money politic untuk memenangkan pilkada, pilgub, pilpres, atau pemilu. Ini kekeliruan fatal bahkan sangat ngawur. Sebab, dalam pemilu siapakah yang dirampas haknya? Dan siapakah perampas itu sehingga kita harus memberikan uang kepadanya agar hak kita kembali?

Money politic dalam pemilu terjadi biasanya sebelum pencoblosan/pencontrengan -baik dibayar cash atau dijanjikan dulu adalah sama saja-, dengan kata lain siapa pemenang dan yang kalah belum ketahuan, lalu uang itu diberikan agar mereka memilih kita agar kita menang. Inilah suap, inilah risywah. Berbeda dengan CPNS yang telah lulus ujian, berbeda dengan orang yang sudah lulus ujian SIM, berbeda dengan orang tua yang merebut kembali anaknya,  berbeda dengan pedagang kaki lima yang memang berhak berjualan, ... karena mereka sedang memperjuangkan hak yang telah dirampas orang zalim. Bisakah Sang Pemateri, Sang ustadz ini, membedakan dua keadaan ini? 

Sang Ustadz ini juga memberikan  contoh kasus sekeluarga yang memiliki 6 suara yang tidak memilih karena belum ada yang memberikan uang kepada mereka. Maka, mereka boleh saja diberikan uang untuk memenangkan kita. Justru inilah suap, dan tidak ada sama sekali kesamaan dengan kasus-kasus yang saya contohkan di atas. Apa yang sedang dirampas dari Anda sehingga Anda harus merebutnya kembali dengan memberikan uang kepada mereka? Dan, inilah cara-cara kotor yang dilakukan oleh musuh-musuh da’wah, lalu kenapa jadi kita yang melakukannya, kenapa justru aktifis Islam direkomendasikan untuk melakukannya?  Ini adalah “fatwa”  ngawur yang tidak seharusnya keluar  dari Sang Ustadz, bahkan tidak seharusnya keluar dari seorang muslim yang baik. 

Berbaik Sangka

Kami mencoba berbaik sangka, dan memang seharusnya demikian sikap kita terhadap sesama muslim. Bahwa mudah-mudahan pernyataan Sang ustadz ini keluar karena dia dalam keadaan belum tahu, lupa, kurang teliti, dan udzur lainnya yang membuatnya tidak dianggap sengaja berbuat salah. Sebab, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, Allah Ta’ala memaafkan dan tidak menganggap kesalahan orang yang lupa, kesalahan tidak sengaja, terpaksa, anak-anak, orang gila, dan orang tertidur.
Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua agar tetap bersama Al Haq dan Ahlul Haq.

Wa Shalawatullah wa Salamuhu ‘Ala Nabiyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi  Ajmain 

Wallahu A’lam

Ust. Farid Nu'man Hasan
Anggota Dewan Syariah Pusat

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons