myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Senin, 05 September 2011

Keikutsertaan Muslimah Dalam Aktifitas Siyasi di Era Rasulullah



Sebagian orang telah bersikap permisif/berlebih-lebihan (ifraath) dalam mensikapi keikutsertaan wanita dalam masalah-masalah politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur (ikhthilaath) dengan para laki-laki di tempat-tempat umum tanpa ada batas serta membuka aurat (tabarruj) sehingga keluar dari aturan-aturan (dhawabith) syar’iyyah. Inilah sikap orang-orang yang sekular pada masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yang disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil ‘Isyrin (jahiliyyah abad-20).
Sementara sebagian kelompok lainnya bersikap overprotektif/berkurang-kurang-an (tafriith) dalam mensikapi para wanita muslimah, sehingga seolah-olah dunia ini hanyalah milik para laki-laki (Rijal), sementara para wanita harus berdiam di rumah, tidak boleh beraktifitas ke luar rumah dan hanya boleh bertemu laki-laki asing (ajnabi) 3 kali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan ‘aqiqah-nya), saat ia akan menikah (ta’aruf) dan saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat (ekstremis), yang menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah (neo-tekstualis).
Islam jauh dari kedua sikap ekstrem tersebut, Islam mensikapi wanita secara adil dan moderat (wasathiyyah) yang jauh dari ifraath maupun tafriith. Demikianlah pemahaman As-Salafus Shalih, dan demikian pula pemahaman AL-IKHWAN kepada peran dan posisi wanita dalam Islam. pada tulisan ini ana berusaha menjawab pertanyaan seorang ukhti al-muslimah tentang keikutsertaan wanita dalam berbagai aktifitas politik, seperti dalam muzhaharah (demonstrasi), dll. Apakah yang demikian itu dibenarkan oleh syariah? Ana akan coba jawab secara ringkas insya ALLAH ta’ala, ALLAHul musta’an..
1. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM AKTIFITAS POLITIK SAMPAI KE LUAR-NEGERI
“Sesungguhnya orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzhalimi dirinya sendiri, Malaikat bertanya : Kenapa kalian ini? Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang tertindas di negeri ini. Maka kata Malaikat : Bukankah bumi ALLAH itu luas sehingga kalian dapat berhijrah? orang-orang seperti itu tempatnya adalah di neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali orang-orang yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau anak-anak yang tidak mampu dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada ALLAH dan Rasul-NYA, lalu ditimpa kematian maka sungguh pahalanya telah tetap disisi ALLAH. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’, 4/97-100)
Az-Zain Al-Munayyir berkata : “Ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa yang lemah dan tertindas itu hanya berlaku bagi kaum wanita saja, melainkan ayat tersebut menunjukkan adanya persamaan antara lelaki dan wanita.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Wanita-wanita yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) adalah Ruqayyah (putri Nabi SAW), Sahlah binti Sahl (istri Abu Hudzaifah), Ummu Salamah binti Abu Umayyah (istri Abu Salamah), Lailat binti Abu Hitsmah (istri Amir bin Rabi’ah) [2]. Adapun wanita yang hijrah pada hijrah kedua mencapai 12 orang, diantaranya Ummu Habibah (putri Abu Sufyan), Asma’ binti Umais, Haminah binti Khalaf al-Khuza’iyyah.” [3]
Dari Marwan dan Al-Miswar bin Makhramah ra, keduanya bercerita tentang para sahabat RasuluLLAH SAW, ketika Suhail bin Amru menulis perjanjian pada hari itu (Hudhaibiyyah), “…tidak ada satupun dari kaum laki-laki yang datang pada Nabi SAW kecuali beliau SAW kembalikan mereka (pada kaum Qurasiy) pada saat itu juga, meskipun ia seorang muslim. Suatu hari datanglah beberapa orang wanita mu’minat sebagai muhajirat, diantaranya Ummu Kultsum binti Abi Mu’aith diantara mereka. Maka datanglah keluarganya meminta agar mereka dikembalikan, tetapi Nabi SAW tidak mengembalikannya kepada mereka.” [4]
Aisyah ra bertanya (kepada seorang budak wanita yang selalu berkata: “Ketahuilah bahwa ALLAH telah menyelamatkanku dari negeri kufur”), kata Aisyah ra: “Kenapa tiap kali kamu duduk disampingku selalu berkata demikian?” Kemudian wanita itu menceritakan kisahnya[5]. Al-Hafizh berkata: “Di dalam hadits itu ada dalil yang menyuruh seseorang keluar dari satu negeri jika ia menghadapi cobaan di negeri tersebut ke negeri yang lebih baik baginya, juga terdapat dalil mengenai hijrah dari negeri kufur.” [6]
Secara lengkap disebutkan dalam berbagai kitab sejarah [7] As-Salafus Shalih pembahasan tentang hijrahnya sejumlah akhwat ke Madinah, diantaranya Ummu al-Fadhl (istri Al-Abbas), Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Laila binti Abu Hitsmah, Umaimah binti Abdul Muthalib, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah binti Jahsy, Judamah binti Jandal, Ummu Qays bintoi Muhshin, Ummu Habibah binti Nabatah, Umamah binti Raqisy, Hafshah binti Umar, Fathimah binti Qays, Subai’ah al-Aslamiyyah, dan Ummu Ruman. Tepat sekali perkataan Imam az-Zuhri yang menyatakan: “Kami belum pernah mengetahui tentang adanya salah seorang wanita yang murtad dari agamanya setelah mereka berhijrah.” [8]
2. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM JANJI SETIA PADA PEMIMPIN NEGARA YANG ISLAMI
“Hai Nabi, jika datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk berjanji setia bahwa mereka tidak akan syirik pada ALLAH, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, tidak akan berdusta yang mereka adakan diantara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka dari ALLAH, sesungguhnya ALLAH MAHA Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah, 60/12)
Janji setia seorang warga masyarakat pada pemimpinnya adalah urusan politik (as-siyasah), jika seadainya Islam menempatkan kaum wanita untuk hanya diam di rumah saja maka mengapakah mereka harus juga diminta untuk ber-janji setia pada pemimpin negaranya? Bukankah berarti saat itu ia harus keluar rumahnya dan nampak oleh orang lain yang bukan mahram-nya? Demikianlah Islam mendudukkan hak politik wanita dalam berbagai hal sama dengan hak politik laki-laki (ana katakan dalam berbagai hal, karena tidak berarti semuanya adalah sama, karena ulama salaf telah sepakat tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara, karena demikianlah sebagaimana dalam hadits-hadits shahih).
Sehingga sikap kita dalam masalah ini adalah mengambil hukum sesuai dengan asasnya, lalu melakukan qiyas (analogi) yang benar sesuai illat-nya, tidak memperluasnya tetapi juga tidak menyempitkannya. Demikianlah mawaqif as-salafus-shalih, semoga ALLAH SWT meridhoi mereka semua. Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat ini khusus bagi wanita dan berbeda dengan janji setia kaum laki-laki, maka hal tersebut tertolak dengan hadits shahih [9] yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
“Suatu hari Nabi SAW berkata dimana disekelilingnya ada sejumlah sahabat ra: “Marilah kalian semua berjanji setia kepadaku, yaitu bahwa kalian tidak akan syirik kepada ALLAH dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kalian, tidak akan berdusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, dan tidak akan mendurhakaiku dalam hal kebaikan..” Lalu Ubadah ra berkata : “Aku berjanji setia pada beliau SAW berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut.” Demikianlah janji setia para sahabat tersebut sama dengan janji setia para sahabat wanita (shahabiyyah) dalam ayat di atas. ALLAHu ‘alam.
Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat di atas adalah janji setia dalam urusan agama saja dan bukan masalah pemerintahan (politik), maka pernyataan tersebut tertolak, karena dalam ayat di tersebut bukan hanya memuat masalah agama (dalam arti sempit saja), melainkan juga masalah politik (agama dalam arti luas), berdasarkan salah satu isi dari janji setia dalam ayat tersebut di atas yaitu: “…DAN MEREKA tidak AKAN MENDURHAKAIMU dalam URUSAN KEBAIKAN…” (QS Al-Mumtahanah, 60/12), dan tafsirnya sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih [10] yaitu sabda Nabi SAW : “Ketaatan itu hanya dalam urusan yang baik.” Dan ini adalah masalah kepemimpinan dalam negara dan politik. Ini juga diperkuat dengan berbagai peristiwa politik dalam sirah nabi SAW lainnya yang mengikutsertakan para wanita, di antaranya hadits keikutsertaan janji setia para wanita Anshar dalam peristiwa ‘Aqabah kedua, yaitu Ummu ‘Ammarah binti Ka’ab (wanita bani Mazin) dan Asma binti Amr bin Adi (salah seorang wanita Bani Salamah) – semoga ALLAH SWT meridhoi mereka berdua – [11]. ALLAHu a’lam.
Jika dikatakan : Benar, kami setuju bahwa para wanita tersebut berjanji setia dalam urusan politik bukan hanya urusan agama, tapi tetap kepergian mereka untuk berjanji setia tersebut semuanya adalah bersama para suaminya, jadi tidak merupakan hak mereka secara individu. Maka ana katakan bahwa pernyataan ini pun tertolak oleh atsar yang shahih, diantaranya berdasarkan riwayat dari Imam At-Thabari dari Ibnu Abbas ra[12] : “Demi ALLAH, mereka pergi bukan karena benci pada suaminya, demi ALLAH mereka pergi bukan karena tidak suka pada negerinya lalu ingin pindah ke luar negeri, demi ALLAH mereka pergi bukan karena mengejar dunia, demi ALLAH mereka tidak pergi selain karena mencintai ALLAH dan Rasul-NYA.” Dalam atsar ini dijelaskan secara eksplisit bahwa sebagian mereka pergi dengan tanpa suaminya, sehingga janji setia tersebut adalah untuk diri mereka sendiri. ALLAHu a’lam
3. KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM JIHAD FII SABILILLAH
“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang muslim, laki-laki dan wanita yang mu’min, laki-laki dan wanita yang taat, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusyu, laki-laki dan wanita yang bershadaqah, laki-laki dan wanita yang shaum, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak mengingat ALLAH, maka ALLAH telah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab, 33/35)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya [13] menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra [14] bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita: “Mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” Maka turunlah ayat ini. Imam Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya [15] bahwa makna al-qanuut diantaranya adalah ath-tha’aat fil makrah wal mansyath (ketaatan baik dalam malas maupun semangat).
Islam tidak membedakan kaum muslimah dengan kaum muslimin dalam jihad melawan kuffar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata [16]: “Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Jika dikatakan bahwa hadits tersebut hanya dalam peperangan yang dekat-dekat dengan Madinah saja dan tidak ke luar negeri, maka hal tersebut terbantah dengan hadits Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra [17], dimana ia berkata:
“Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya RasuluLLAH, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya…”
Maka ketahuilah jika hal tersebut (berjihad) terlarang bagi para wanita, maka tidaklah Nabi SAW akan mendoakan Ummu Haram ra, yang jihadnya tersebut sampai jauh ke luar negeri. ALLAHu a’lam
Ketahuilah ikhwah wa akhwat fiLLAH sekalian, jika jihad perang (qital) saja dibolehkan bagi para wanita, apalagi yang lebih rendah bahayanya dari itu, seperti ikut serta mendengarkan pidato politik dari pemimpin di lapangan/tempat terbuka, sebagaimana hadits AbduLLAH bin Rafi’ dari Ummu Salamah ra [18] bahwa suatu ketika Ummu Salamah ra sedang disisir, lalu terdengar Nabi SAW berseru dari atas mimbar: “Ayyuhan Naas!” Maka Ummu Salamah ra berkata pada tukang sisirnya: “Rapikan segera rambutku [19]!” Pembantunya berkata: “Seruan itu hanya untuk kaum laki-laki dan bukan kaum wanita.” Maka jawab Ummu Salamah ra: “Aku juga adalah seorang manusia (an-naas)!”
Jika dikatakan bahwa hukum tersebut khusus untuk mendengar pidato politik dari qiyadah-’ulya (pemimpin negara) saja dan bukan pemimpin selainnya, maka hal tersebut dibantah oleh hadits Zainab ra dalam diskusinya dengan khalifah Abubakar ra yang diriwayatkan oleh Qays bin Abu Hazim ra [20] dimana ia ra bertanya: “Siapakah yang disebut para pemimpin itu?” Jawab Abubakar ra: “Bukankah kaummu memiliki para pembesar dan tokoh yang apabila mereka memerintahkan sesuatu lalu kaumnya mentaatinya?” Jawab Zainab: “Ya, benar.” Kata Abubakar ra: “Mereka itulah pemimpin bagi semua orang.”
Jika dikatakan bahwa mengapa AL-IKHWAN membiarkan para akhwat muslimah ikut memutuskan masalah-masalah politik dan tidak memberikan hak tersebut sepenuhnya pada laki-laki? Maka ana jawab bahwa hal tersebut pun sering dilakukan pada masa Nabi SAW dan Salafus Shalih, di antaranya yang paling terkenal adalah saran Ummu Salamah ra pada Nabi SAW dalam mengatasi masalah politik (yaitu ketidaktaatan para sahabat ra) di hari Hudhaibiyyah [21], lalu saran Ummu Sulaim ra pada Nabi SAW saat peperangan Hunain [22], dll. Jika dikatakan bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi SAW saja, maka ana jawab tidak demikian, lihat juga hadits saran Hafshah ra pada saudaranya (Ibnu Umar ra) setelah peristiwa penusukan Umar ra di mesjid [23], juga sarannya saat perang antara Ali ra dan Mu’awiyyah ra [24], teguran Asma binti Abubakar ra pada Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi [25]. ALLAHu a’lam.
Demikianlah, sebagian hadits dan atsar salafus shalih dalam masalah ini (musyarakah siyasiyyah lin nisaa’ / keterlibatan wanita dalam masalah politik) baik di dalam ruangan (seminar, diskusi politik, memutuskan perkara-perkara politik ummat) maupun di luar ruangan (berdemonstrasi, dan sebagainya), bahkan para sahabat ra tidak mengingkari keterlibatan Ummul Mu’minin ra dalam peperangan Jamal, dan sebagian diantara mereka ikut dalam pasukannya [26]. Sepanjang semua itu dilakukan dengan menjaga etika syariat (adabusy-syar’iyyah), seperti tidak bersentuhan lelaki dengan wanita, tidak saling memandang dan menikmati, atau bercanda dengan yang bukan mahram-nya, dan seterusnya. Demikian ukhti al-muslimah, ALLAHu a’lamu bish Shawab…
REFERENSI:
[1] Fathul Bari’ Syarah Shahih Bukhari, III/425
[2] Fathul Bari’, VIII/186
[3] Ibid, hal 187-189. Lih. Juga Ad-Durar fi Ikhtishar Al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 21-25.
[4] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat dan Hukum yang Dibolehkan dalam Islam dan Pemjanji setiaan, VI/240.
[5] HR Bukhari, Kitab Shalat, Bab Tidurnya seorang wanita di mesjid, II/79.
[6] Fathul Bari’, II/81
[7] At-Thabaqat Al-Kubra’, Ibnu Sa’d, VIII/276 dan 313; juga Ad-Durar fi Ikhtishar al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 45-47.
[8] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai, VI/281.
[9] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Delegasi Anshar kepada Nabi SAW dan Janji setia ‘Aqabah, VIII/222.
[10] HR Bukhari, kitab Hukum2, Bab Patuh dan Taat pada Imam Selama tidak Menyangkut Maksiat. XVI/241; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Kewajiban Mentaati Pemimpin pada Hal yang Bukan Maksiat dan Haram Mentaati Mereka dalam Soal Maksiat, VIII/220.
[11] Fathul Bari’, VIII/220.
[12] Fathul Bari’, XI/345
[13] Mukhtashar Libni Katsir, Ash-Shabuni, III/123
[14] Ibid, haditsnya di-takhrij oleh Imam Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra.
[15] Tafsir Ahkamil Qur’an, XIV/163
[16] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Merawat Orang yang Terluka dalam Peperangan, VI/420.
[17] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Mendoakan Supaya Bisa Berjihad dan Mati Syahid baik bagi Pria maupun Wanita, VI/350; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Keutamaan Berperang di Laut, VI/50.
[18] HR Muslim, Kitab Keutamaan, Bab Menetapkan Telaga Nabi SAW dan Sifat2nya, VII/67.
[19] dalam riwayat lain : Minggirlah segera dariku! (Ibid).
[20] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Hari2 Jahiliyyah, VIII/149.
[21] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai dengan Musuh, VI/257, 269, 276.
[22] HR Muslim, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Berperang Bersama Kaum Pria, V/196.
[23] HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Menunjuk Khalifah dan Membiarkannya, VI/5.
[24] HR Bukhari, Kitab Peperangan, Bab Perang Khandaq/Ahzab, VIII/466.
[25] HR Muslim, Kitab Keutamaan2 Shahabat, Bab Kebohongan Bani Tsaqif dan Kecurangannya, VII/190.
[26] HR Bukhari, Kitab Cobaan, Bab Utsman bin Haitsam Menceritakan Kepada Kami, XVI/167.

Sumber : Al-Ikhwan.net

Kewajiban Melaksanakan & Mentaati Syuro


PENGANTAR (مُقَدِّمَّةٌ)
Ikhwah wa akhawat fiLLAAH hafizhakumuLLAAH, tidak semua masalah itu harus ada ashalah-nya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah & mawaqif para ulama As-Salafus Shalih, dan inilah perbedaan kita dengan kelompok zhahiriyyah-judud (neo-zhahiriyyah) yang dalam berbagai masalah selalu bertanya: Siapa pendahulu antum dalam masalah ini?
Oleh sebab itu maka para ulama salaf yang lurus membagi permasalahan ke dalam Al-Ushul & Al-Furu’, ada hal-hal yang sebagian besar kandungannya adalah masalah ushul seperti dalam aqidah & ibadah (sekalipun ada juga urusan furu’ dalam aqidah & ibadah), sementara ada hal-hal yang sebagian besarnya adalah masalah furu’ seperti dalam mu’amalah (sekalipun ada hal-hal yang bersifat ushul dalam masalah mu’amalah).[1]
Dalam berbagai masalah furu’ mu’amalah, siyasah, iqtishadiyyah, inilah berbagai kreatifitas (ibtida’) merupakan hal yang dibenarkan, didukung, bahkan dalam beberapa keadaan diwajibkan oleh syariat. Para fuqaha menamakan bab ini dengan nama Al-Ijtihad, dimana di dalamnya ada yang dinamakan qiyas (reasoning by analogy), ishtishhab (preference) dan mashalih al-mursalah (utility). Lihatlah kreatifitas Yusuf dalam inovasi menghadapi kelaparan Mesir, Dzulqarnain dalam menghadapi serangan makhluk Ya’juj wa Ma’juj, Salman Al-Farisi saat membuat parit (Khandaq), dll.[2]
Maka dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang bahwa Nizham Syura’ berdasarkan pendapat yang rajih adalah merupakan sebuah kewajiban syariah, dan oleh karenanya menetapi hal yang sudah menjadi keputusan syura’ hukumnya adalah mengikat, berdasarkan kaidah ushul-fiqh: Maa laa yatimmul waajib illa bihii fahuwa waajib. Hal ini dikarenakan kita saat ini bukan lagi sebuah harakah dakwah biasa, melainkan sudah menjadi bagian dari Ulil Amri (pemerintah) yang legal & sah, maka berlakulah sebagian hukum Ulil Amri berdasarkan tingkat syaitharah (keterlibatan) dalam hukumah (pemerintahan) tersebut.
DEFINISI SYURA’ (تَعْرِيْفُ الشُّوْرَى):
1. Secara Bahasa (لُغَةً) asal katanya, شَارَ- يَشُوْرُ- شَوْرًا- شِيَارًا- شِيَارَةً – مَشَارَ- مَشَارَةً yang maknanya:
a. Mengeluarkan Saripatinya, seperti dalam kalimat: شَرَعَ العَسْلَ يَشْرُهُ شَوْرًا= يَدَعَ أَنْ يَخْرَجَ
b. Menguji, seperti dalam kalimat: شُرْتُ الدَّابَّةَ وَشَوَّرْتُهَا
2. Secara Definisi (إِصْطِلاَحًا):
a. Mengeluarkan pendapat (mencari pemecahan) dari orang yang memiliki pengetahuan/pengalaman tentang masalah tersebut.
b. Memahami permasalahan melalui pengujian dari berbagai aspek/sudut pandang dengan melalui pertolongan orang lain.
SYURA’ DALAM AL-QUR’AN (اَلشُّوْرَى فِى اْلقُرْآنِ):
1. Dalam surat Al-Baqarah:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“…apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan diantara keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya…”[3]
2. Dalam surat Ali-Imran:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“…karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…”[4]
3. Dalam surat Asy-Sura’:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”[5]
SYURA’ DALAM AS-SUNNAH (اَلشُّوْرَى فِى اْلسُّنَّةِ):
1. Hadits Al-Miswar & Mirwan ra sebelum peristiwa Hudhaibiyyah:
“… maka nabi SAW bersabda: Berikan pendapat kalian wahai manusia…”[6]
2. Hadits Anas ra:
“… maka sabda nabi SAW: Maka ALLAH SWT mewahyukan & memerintahkan 50 kali shalat setiap harinya… sampai kemudian beliau SAW bertemu Musa as… maka Musa berkata: Wahai Muhammad, ummatmu tidak akan sanggup, maka kembalilah dan mintalah keringanan… maka nabi SAW melirik pada Jibril seakan-akan meminta pendapatnya, maka Jibril memberi isyarat: Silakan saja, jika engkau mau…”[7]
3. Hadits Aisyah ra saat peristiwa Haditsul ‘Ifki:
“…maka nabi SAW memanggil Ali bin Abi Thalib & Usamah bin Zaid ra untuk meminta saran tentang keluarganya…”[8]
SYURA’ DALAM AS-SIRAH (اَلشُّوْرَى فِى اْلسِّيْرَةِ):
1. Saat Perang Badr:
Dilakukan majlis syura’ dalam penentuan penyusunan pasukan & saat berangkatnya pasukan kaum muslimin.[9]
2. Saat Perang Uhud:
Dilakukan majlis syura’ mengenai apakah akan keluar menyongsong musuh ke luar kota Madinah atau cukup menunggu di dalam kota saja.[10]
3. Saat Perang Khandaq & Peristiwa Hudhaibiyyah.[11]
ATSAR SALAFUS-SHALIH (اَلشُّوْرَى فِى اْلآثاَرِ):):
1. Bersabda Nabi SAW kepada Abubakar & Umar ra: “Seandainya kalian berdua sepakat atas suatu masalah, maka aku tidak akan mengingkarinya selamanya.”[12]
2. Berkata Hukaim bin ‘Arab: Aku tidak pernah melakukan suatu perbuatan pun sebelum meminta pendapat pada seseorang.[13]
3. Berkata Imam Bukhari: Para ahli Qur’an berkata bahwa orang yang paling banyak bermusyawarah adalah Umar, baik kepada yang lebih tua maupun pada yang lebih muda.[14]
URGENSI SYURA’ (أَهَمِيَّةُ الشُّوْرَى):
1. Dinamakannya salah satu surat dalam Al-Qur’an dengan nama surat Asy-Syura’. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sifat ini bagi kaum muslimin, sehingga ia dijadikan sebagai penamaan atas surat tersebut.
2. Disandingkannya syura’ dengan perintah shalat & zakat[15]. Hal ini menunjukkan betapa penting & mulianya syura’, sehingga ia disebutkan bersama 2 kewajiban Islam yang paling utama (shalat & zakat).
3. Hadits-hadits berkenaan dengan masalah ini amatlah banyak, dan ini menjadi penjelasan kayfiyyah (mekanisme) & tathbiqiyyah (aplikasi) dari syura’ tersebut.
4. Demikian pula aplikasinya dimasa salafus-shalih juga demikian banyak, menunjukkan ihtimam (perhatian) mereka atas pentingnya & wajibnya masalah ini.
HUKUM SYURA’ (حُكْمُ الشُّوْرَى):
1. Sunnah (أَلنَّدْبُ):
a. Dinukil pendapat Imam Asy-Syafi’i mengenai masalah ini, beliau berkata: “Sesungguhnya perintah dalam ayat ‘dan bermusyawarahlah kalian dalam urusan itu’ menunjukkan hukumnya sunnah.”[16]
b. Dinukil dari Imam Al-Baihaqi tentang sunnahnya bermusyawarah.[17]
2. Wajib (أَلْوُجُوْبُ):
a. Dari Ibnu Khariz Mindad berkata: “Wajib bagi setiap penguasa untuk bermusyawarah dengan para ulama pada hal-hal yang mereka tidak ketahui dan dalam masalah yang sulit.”[18]
b. Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya ALLAH SWT memerintahkan untuk menyatukan hati para sahabatnya dan agar diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan agar mereka mau mengeluarkan pendapatnya dalam masalah yang tidak diturunkan wahyu tentangnya, seperti dalam masalah peperangan dan masalah-masalah cabang dan yang selainnya.”[19]
c. Imam Al-Qurthubi bahkan menyatakan: “Jika penguasa tidak mau bermusyawarah maka wajib diturunkan, hal ini juga dinukil dari Ibnu ‘Athiyyah, ia berkata: Syura’ adalah kaidah syar’iyyah dan kewajiban hukum ALLAH, maka jika penguasa tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu maka memisahkan diri dari penguasa tersebut hukumnya wajib.”[20]
ETIKA DALAM SYURA’ (مِنْ آدَابِ الشُّوْرَى):
1. Syura’ harus dibarengi keikhlasan, kasih-sayang, kelembutan, sikap mudah memaafkan.[21]
2. Rendah hati & tidak mengkritik pendapat qiyadah sebelum meminta penjelasan rinci.[22]
3. Tidak menyalahkan pendapat orang lain (karena semua pendapat merupakan ijtihad), melainkan cukup mengemukakan pendapatnya disertai hujjah ataupun pengalaman.[23]
4. Mengikuti & mentaati hasil syura’ yang telah memenuhi syarat sebuah syura’[24].
MANFAAT SYURA’ (فَوَاإِدُالشُّوْرَى):
Diceritakan dari Ali ra menyatakan ada 7 keutamaan syura’:[25]
1. Lebih mendekati kebenaran (إِسْتِنْبَاطُ الصَّوَابِ)
2. Menggali ide-ide cemerlang (وَاكْتِسَابُ الرَّأْيِ)
3. Terhindar dari kesalahan (وَالتَّحَسُّنُ مِنَ السَّقْطَةِ)
4. Terjaga dari celaan (وَ حِرْزٌ مِنَ اْلمُلاَم )
5. Selamat dari penyesalan (وَ نَجَاةُ مِنَ النَّدَامَةِ)
6. Persatuan diantara hati (وَ أُلْفَةُ اْلقُلُوْبِ)
7. Mengikuti atsar salafus-shalih (وَالتِّبَاعُ اْلأَثَر )
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Catatan Kaki:
[1] Untuk mendalami masalah ini tafadhal merujuk tulisan saya di millist & website ini berjudul: Apakah Taqsim Ushul & Furu’ Merupakan Bid’ah? Dan tulisan saya yang lain berkenaan dengan ilmu Ushul Fiqh.
[2] Lihat juga tulisan saya di millist & website ini berjudul: Dalil Disyariatkannya Beragam Cara & Metode dalam Berdakwah Para Nabi as.
[3] QS Al-Baqarah, 2/233
[4] QS Ali-Imran, 3/159
[5] QS Asy-Syura’, 42/38
[6] HR Bukhari dlm shahih-nya, VI/363-364 dan dlm Al-Fath, VII/453; juga oleh Ahmad, IV/328
[7] HR Bukhari dan ini adalah lafzh-nya, IX/82 dan dlm Al-Fath, III/478-479; Juga di-takhrij oleh Muslim, I/149; Tirmidzi, I/417; Ibnu Majah, II/1337; Ahmad, I/221; Nasa’i, I/217-224
[8] HR Bukhari di beberapa tempat dlm shahih-nya, V/148-155 dan dlm Al-Fath, XIII/339-340; Muslim, IV/2137; Tirmidzi, 325-335.
[9] Sirah Ibnu Hisyam, I/620
[10] Al-Bidayah, Ibnu Katsir, IV/11-13
[11] Al-Fath, Ibnu Hajar, V/392
[12] Al-Fath, XIII/342
[13] Al-Jami’ Li-Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, IV/249-250
[14] Al-Fath, XIII/339, 342
[15] QS Asy-Syura’, 42/37-38
[16] Tafsir Ar-Razi, IX/67
[17] Al-Fath, XII/249
[18] Tafsir Al-Qurthubi, IV/249
[19] Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, XXVIII/387
[20] Tafsir Al-Qurthubi, II/474
[21] QS Ali Imran, 159
[22] QS Al-Hujurat, 1; lihat pula pelaksanaan hal ini dalam cara Al-Khabbab Ibnul Mundzir ra saat perang Badr berkaitan tempat yang dipilih oleh Nabi SAW
[23] Lihat pula kisah Salman Al-Farisi ra saat mengemukakan pendapatnya ketika perang Khandaq, Al-Fath V/392
[24] QS Ali-Imran, 3/159
[25] Al-’Aqdul Farid, 43 dalam An-Nizham As-Siyasi, Abi Faris

sumber : Al-Ikhwan.net

Urgensi Arkanul Bai'ah Dalam Amal Siyasi


100_3932
Pengembangan Arkanul Bai’ah Dan Aplikasinya
Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT memang sudah final. Tetapi, pemahaman manusia terhadap Islam tidak dapat dikatakan sudah mencapai final sehingga berhenti pada satu titik.
Jalan-jalan untuk mencapai pemahaman Islam dalam konteks syumuliyah dan takamuliyahnya adalah jalan-jalan yang sangat panjang dan beragam. Setiap zaman dan keadaan memerlukan penyajian tersendiri dari ajaran Islam yang maha dalam maknanya ini. Firman Allah SWT,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang berjihad di jalan Kami sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Ankabuut: 69)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan walladziina jaahduu fiinaa adalah Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan pengikutnya sampai hari kiamat nanti. Sedangkan yang dimaksud subulanaa adalah jalan-jalan untuk urusan dunia dan akhirat.
Terkait dengan hadits tentang Mu’adz bin Jabbal yang diutus oleh Rasulullah SAW ke negeri Yaman dan menyatakan akan melakukan ijtihad apabila tidak diperoleh nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah dalam memutuskan perkara, banyak yang menekankan bahwasanya pintu ijtihad belum tertutup. Dari waktu ke waktu muncul ulama-ulama besar dengan pikiran dan pendapatnya yang segar dan baru berdasarkan pemahaman mereka tentang nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Sebagian kelompok hanya memperhatikan aspek fiqh dalam masalah pembukaan ijtihad dari masa ke masa ini. Tetapi, sesungguhnya lapangan ijtihad itu luas, tidak sekadar masalah fiqh saja tetapi di dalam berbagai bidang yang terkait dengan urusan dunia dan akhirat.
Seharusnya kejumudan juga tidak terjadi pada aktivis kebangkitan Islam sebagaimana disampaikan Yusuf Qaradhawi, “Imam Hasan Al- Banna bukanlah seorang yang jumud/statis tetapi justru progresif dan dinamis. Ia selalu memanfaatkan semua yang ada di sekekelilingnya, melakukan dinamisasi diri dan dakwahnya. Seandainya ia berumur panjang kita tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Sebab itu saudara-saudara dan pengikutnya tidak boleh statis dalam berbagai sarana, metode, ataupun bagian pemikirannya.”
Pemahaman yang terlalu kaku dengan pendapat yang terkait dengan situasi kontekstual tertentu akan menyebabkan seorang aktivis dakwah tidak mampu berinteraksi dengan problema yang dihadapinya pada masa kini.
Demikian pula arkanul bai’ah yang disusun oleh Imam Hasan Al- Banna bukanlah sesuatu yang bersifat mati atau jumud sehingga ia akan menjadi masa lalu dari para kader dakwah. Padahal ia harus membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari yang terus berjalan. Interaksi formal dengan arkanul bai’ah sebagai sebuah pengantar ke dalam pergaulan jama’ah dakwah mungkin saja telah berlalu satu, dua, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun yang lalu. Namun secara nilai penghayatan terhadap arkanul bai’ah terjadi setiap saat dalam berbagai lapangan medan dakwah. Penghayatan tersebut diharapkan justru semakin mendalam dari hari ke hari.
Oleh karena itu, rukun al-fahm (pemahaman) harus terus dikembangkan mengikuti jalan dakwah menuju ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an. Begitu juga rukun ikhlas. Kualitas dan kapasitas ikhlas kita harus terus-menerus dikembangkan mengikuti perjalanan dakwah yang terus diperlebar ruang lingkupnya sesuai dengan tuntutan syumuliyah dan takamuliyah dakwah kita.
Begitu juga kualitas dan kapasitas amal kita, jihad kita, tadhiyah (pengorbanan) kita, tha’ah (ketaatan) kita, tsabat (kekokohan) kita, tajarrud (kesungguhan) kita, al-ukhuwah (persaudaraan) kita, dan tsiqah (kekokohan) kita harus terus-menerus dikembangkan.
Seharusnya peningkatan kualitas dan kapasitas interaksi dengan arkanul bai’ah mendahului ekspansi dakwah yang dilakukan agar arkanul bai’ah itu menjadi pemicu, pemacu, dan pemecut bagi akselerasi gerakan dakwah itu sendiri agar arkanul bai’ah itu mempercepat tercapainya ahdafu da’wah (sasaran-sasaran dakwah) dan ghayatu da’wah (tujuan-tujuan dakwah).
Interaksi dengan arkanul bai’ah sangat berpengaruh terhadap kualitas komitmen kepada dakwah dan kepada jamaah. Begitu interaksi dengan rukun-rukun itu tertinggal dan terhenti pada pada satu titik, maka komitmen yang dihasilkannya tidak mumpuni lagi untuk menyambut ekspansi dakwah yang terus-menerus berkembang.
Politik Dan Dakwah: Pandangan Hasan Al-Banna
Dakwah tidak dapat dipisahkan dari politik (siyasah) karena tujuan dakwah itu sendiri adalah untuk pengendalian (siyasah) sebagaimana firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Al-Fath: 28)
Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang mengendalikan telah menjadi obsesi dari Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan kepada para pemuda, “Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana. Demikian juga paham fasisme dan Nazism, keduanya memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh ideologi bangsa-bangsa untuk mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk menjadi pendukung setianya. Mereka perjuangkan tegaknya dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi seluruh persoalan umat manusia.”
Dalam kesempatan lain Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Sesungguhnya seorang muslim tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia bertindak sebagai politisi. Pandangannya jauh ke depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan dan menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada persoalan politik ummatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya butuh untuk memahami makna Islam.”
Suatu catatan penting dari Imam Hasan Al-Banna adalah peringatannya tentang adanya pemahaman yang sempit bahwa jika disebut dengan politik maka orang-orang akan segera membayangkan sebuah partai politik. Politik yang dimaksudkannya bukanlah sekadar sebuah partai politik, tetapi keseluruhan aktivitas dakwah yang dilakukan untuk mengurusi nasib umat hingga mengangkat mereka ke kedudukan sebagaimana yang diperintahkan Al-Quran di tengah-tengah manusia.
Bahkan, terhadap partai politik yang berkembang saat itu Al-Banna mempunyai kritikan-kritikan yang mendasar, “Ikhwanul Muslimun berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Ikhwan juga berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan program dan manhajnya secara pasti … Ikhwan berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan, memberangus kemaslahatan, merusak akhlaq, dan memporakporandakan kesatuan umat.”
Korelasi Amal Siyasi Dengan Arkanul Bai’ah
Amal siyasi sebagai bagian penting dari keseluruhan amal Islami harus mendapat perhatian serius dari para aktivis dakwah dan baiat mereka kepada jalan dakwah adalah baiat mereka pula kepada amal siyasi.
Dakwah Islam tidak menyerukan sikap memisahkan diri dari persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ada dalam tubuh umat Islam. Jika pun terdapat upaya-upaya memilah lingkungan kehidupan para aktivis dakwah dari masyarakat umum, maka tujuannya bukan untuk lari dari masyarakat yang menjadi tanggungjawab dakwahnya. Tetapi, hal itu dilakukan hanya untuk konsolidasi internal mereka agar memiliki kekuatan yang lebih besar dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat tersebut. Atau, agar mereka tidak tergelincir karena tarikan-tarikan dahsyat kemaksiatan sehingga ia akhirnya justru menjadi bagian dari persoalan tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfaal: 16)
Kepahaman tentang amal siyasi yang dikembangkan pada saat ini boleh jadi berbeda dengan sebelumnya karena perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi yang menyertainya. Pandangan Imam Hasan Al-Banna tentang sistem kepartaian yang menyebabkan beliau tidak mendirikan partai politik, tetapi membolehkan kesertaan dalam pemilihan umum telah diposisikan secara aktual dalam beberapa kurun terakhir. Partai-partai politik dalam berbagai bentuknya telah berdiri dan diusung oleh para aktivis dakwah di berbagai negara dalam rangka amal siyasi mereka berdasarkan syura-syura yang mereka lakukan.
Amal siyasi yang dilakukan bukanlah sekadar untuk meraih kekuasaan dan mencapai kedudukan-kedudukan tinggi dalam pemerintahan, tetapi semata-mata ditujukan bagi penegakan hukum-hukum Allah SWT di dalam masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang telah digariskan-Nya. Inilah rukun ikhlas yang akan menjauhkan aktivis dakwah dari perangkap kediktatoran, korupsi, dan kesombongan tatkala meraih suatu kedudukan dalam kekuasaan.
Setiap aktivis menyadari sungguh-sungguh dengan kefahamannya dan keikhlasannya bahwa amal siyasi yang dilakukannya adalah bagian dari kerja besar dari tangga-tangga mihwar ta’sisi, mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar dauli. Dalam kaitan koalisi kerja teknis Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Tidaklah mengapa menggunakan orang-orang non-muslim –jika keadaan darurat- asalkan bukan untuk posisi jabatan strategis (dalam pemerintahan).”
Kesungguhan dalam kerja siyasi adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan. Kesungguhan itu akan terjadi jika aktivis dakwah menghargai dan mematuhi jalan dakwah yang telah digariskan berdasarkan syura. Tidak boleh ada seorang pun yang bermalas-malasan dalam bidang ini hanya lantaran ia merasa bukan bidangnya atau tidak sependapat dengan hasil-hasil syura.
Apapun yang disumbangkan dalam amal siyasi, mulai dari harta sampai dengan jiwa, adalah bagian dari ruhul tadhiyah (jiwa pengorbanan) di jalan dakwah. Tidak ada istilah mati sia-sia dalam suatu amal siyasi karena seluruh pengorbanannya harus diyakini akan dihisab oleh Allah SWT dengan timbangan kebaikan dakwah.
Ketaatan dalam janji setia aktivis dakwah adalah ketaatan yang penuh selama masih dalam jalan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan yang bersifat setengah-setengah, misalnya hanya kepada perintah-perintah atau kesepakatan-kesepakatan dalam bidang sosial saja, sedang dalam politik ia membangkang. Termasuk dalam perkataan fil makrah (dalam keadaan tidak menyenangkan) adalah ketaatan kepada hal-hal yang ketika bersyura kita tidak sependapat dengan hasil keputusannya.
Keteguhan (tsabat) adalah bagian penting dalam dakwah ini dan lebih istimewa lagi dalam amal siyasi. Jika dalam amal ij’timaiy mungkin banyak pujian yang datang tetapi dalam amal siyasi kondisinya terbalik, banyak orang yang merasa terancam dengan kehadiran dakwah dan Islam di panggung politik, banyak orang yang apriori dan bahkan memusuhinya sebagai bagian dari konspirasi global yang sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Resiko-resiko yang diterima tanpa ada keteguhan akan menjadi dasar penyesalan atas keputusan yang telah disepakati, padahal waktu adalah bagian dari solusi. Keberhasilan perjuangan seringkali tidak dapat diukur dalam waktu yang pendek.
Amal siyasi yang diperjuangkan adalah amal siyasi yang islami. Ini adalah komitmen yang tidak boleh berubah, meskipun tawaran-tawaran berbagai ideologi sangat banyak dalam dunia politik. Manhaj Islam sedemikian terang benderangnya, dan oleh karenanya aktivis dakwah tidak akan terjebak pada pemikiran dan metode yang tidak jelas hanya karena ketidaksabarannya bekerja dengan waktu. Ini adalah makna tajarrud (kemurnian total) dalam arkanul bai’ah yang sepuluh.
Dunia politik adalah dunia yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga banyak orang mengatakan “politik itu kotor”. Perkataan itu sesungguhnya tidak benar karena dunia sosial, perdagangan, bahkan dunia dakwah itu sendiri dapat saja menjadi “kotor” oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perpecahan, persengketaan, permusuhan di antara teman, intrik dan fitnah terjadi di dunia politik.
Oleh karena itu, jika rukun ukhuwah diabaikan dan tidak bekerja maksimal dalam amal siyasi, semua kemungkinan dan kekhawatiran itu dapat juga terjadi pada diri kita.
Terakhir, perlu direnungkan makna tsiqah yakni menyiapkan rasa puas kepada pemimpin atas kapasitas kepemimpinannya dan maupun keikhlasan, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan. Semakin jauh jenjang organisasi dari titik pusat pengambil keputusan rukun tsiqah ini akan semakin signifikan dalam membangun komitmen.
Tentu, rukun ini tidak menghilangkan fungsi pemimpin sebagai guru dan pembimbing kepada para anggota sehingga kepuasan itu hadir dengan penuh qanaah tidak terpaksa. Keputusan-keputusan dalam amal siyasi dalam kadar tertentu kadangkala memang begitu rumit karena demikian kompleksnya persoalan yang dihadapi. Ketsiqahan di antara aktivis dakwah dapat mengurangi kemungkinan terjadinya degradasi soliditas karena adanya keputusan-keputusan qiyadah yang belum terpahami.
Kontribusi Komitmen Bai’ah Aktual Dalam Dakwah
Kekuatan interaksi terhadap arkanul bai’ah akan dapat mempertahankan penampilan kinerja dan manhaj amaliy aktivis dakwah sehingga bisa diandalkan dalam persaingan antar aliran, antar ahzab (partai-partai) dengan aneka ragam mabadi (ideology). Insya Allah dengan komitmen interaktif yang kontinyu terhadap arkanul bai’ah jamaah dakwah akan mempunyai mazhhar (penampilan) yang sanggup menghadapi tantangan rivalitas yang semakin tajam antar aliran ideologis dan antarpemikiran yang ada di lapangan.
Ustadz Hilmi Aminuddin menyatakan mazhhar jamaah yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari interaksi dengan arkanul bai’ah yang terus-menerus itu ialah:
Pertama, mazhhar atsbatu mauqifan (penampilan dalam kekokohan sikap) yakni sikap yang paling teguh di antara sikap-sikap yang ditampilkan oleh golongan-golongan, madzhab-madzhab dan aliran-aliran lain. Sikap yang tidak mudzabdzab, (plin-plan), yang tidak mencla-mencle, yang tidak memble menghadapi tantangan-tantangan yang semakin kuat dan terang-terangan.
Sekali lagi, tantangan yang semakin terang-terangan mengingat kita sekarang ada di era jahriyah (keterbukaan). Sikap teguh kita harus ditampilkan secara penuh dalam kinerja, performance dakwah jamaah, dan partai kita. Kekokohan sikap adalah tampilan awal yang merupakan buah dari kekuatan yang ditumbuhkan oleh aqidah kita.
Kedua, mazhar arhabu shadran. Keteguhan sikap itu tidak melahirkan sikap yang kaku karena selain ada aqidah yang rasikh, aqidah yang kuat, tetapi juga ada akhlaqul karimah yang akan melahirkan arhabu shadran (kelapangan dada). Di atas kekokohan sikap itu kita paling bisa dan paling sanggup berlapang dada dalam menghadapi realitas kehidupan, dalam menghadapi tantangan, dalam bermuamalah menghadapi berbagai sikap-sikap lain. Termasuk ketika kita berinteraksi dengan sesama kelompok Islam yang kebetulan mereka belum satu manhaj dengan kita dengan perlakuan dan sikap-sikap mereka yang tidak menyenangkan.
Ketiga, mazhar a’maqu fikran (penampilan kedalaman dalam berfikir) dalam menghadapi aneka situasi dan kondisi sehingga kita tidak meresponnya secara is’tijaliyah (ketergesa-gesaan). Kita selalu berfikir secara mutaanni (sangat mendalam) dan mutama’in (intens), dalam menentukan langkah-langkah kita dengan proses dan prosedur yang benar yang sudah kita sepakati bersama. Tidak boleh ada satupun keputusan jamaah ini yang tanpa melalui proses a’maqu fikran yang dalam prakteknya kita wujudkan dalam wadah syura yang selalu kita jaga. Sehingga tidak ada alasan dari kita untuk tidak mendukung sikap yang diambil oleh jamaah, karena proses dan prosedur yang diambil sudah benar dengan tetap tidak terburu-buru.
Keempat, dalam memandang fenomena kehidupan dan perjuangan ini kita harus mempunyai mazhhar awsa’ nazharan (penampilan dengan pandangan yang lebih luas). Kita harus mempunyai pandangan yang sangat luas, seluas ufuq yang bisa dijangkau oleh mata kita. Kita tidak boleh mempunyai pandangan mutajamid (pandangan kebekuan) yang sempit, hizbiyah (mengagungkan golongan) dan madzhabiyah (mengagungkan aliran). Kita harus memiliki pandangan yang sangat luas karena sasaran dari dakwah yang sudah dicanangkan adalah bina-ul fard (peminaan individu), bina-ul mujtama’ (peminaan masyarakat), bina-ud daulah (pembangunan negara), bina-ul khilafah (pembangunan khilfah) hingga ustadziyatul ‘alam (sokoguru semesta alam).
Di sana kita harus memancangkan rahmatan lil ‘alamin sehingga setiap makhluk hidup–bukan manusia saja–merasakan sentuhan rahmat dari kita. Tidak mungkin kita melakukan itu bila kita tidak mempunyai pandangan yang sangat luas terhadap kehidupan ini.
Kelima, kita harus didukung dengan mazhhar ansyathu ‘amalan (penampilan sebagai pihak yang paling giat bekerja). Karena mazhhar-mazhhar sebelumnya harus dibuktikan dalam ansyathu ‘amalan (kegiatan kerja). Hendaknya beramal paling keras dan menjadi aktivis/amilin yang paling giat, efektif dalam mengarahkan tenaga dan potensinya serta langkah-langkahnya selalu terarah dengan tepat (khutuwat al-athifah). Itu adalah refleksi dari aqidah dan fikrah kita.
Keenam, begitu juga kita menyadari sepenuhnya bahwa syumuliyatul Islam tidak mungkin diperjuangkan secara individual, tapi harus diperjuangkan secara jama’iy (kolektif). Maka, kita pun harus menampilkan secara struktural ashlabu tanzhiman (organisasi yang paling solid dan kokoh bagaikan baja). Tanzhim kita tanzhim yang kokoh tidak gampang reot oleh benturan-benturan yang diarahkan oleh lawan-lawan, musuh-musuh, pesaing-pesaing, atau oleh orang-orang yang belum memahami dakwah kita.
Kita tetap teguh. Keputusan jamaah tidak pernah dihasilkan oleh pressure, tekanan, ancaman apapun. Semuanya, yang penting, proses prosedur berjalan maka kita putuskan dengan mengabaikan tekanan dari manapun. Ini sebagai pembuktian dari ashlabu tanzhiman.
Ikhwan dan akhwat fillah, pada akhirnya yang ketujuh adalah mazhhar aktsaru naf’an (penampilan sebagai pihak yang paling banyak memberi manfaat). Dulu sering saya katakan bahwa kita dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi orang-orang yang produktif menghasilkan kebajikan-kebajikan. Sebab, pada dasarnya secara fitriyah kita sudah menjadi orang-orang yang konsumtif. Kalau masalah konsumtif tidak perlu didorong, tidak perlu diprogram, karena sudah menjadi tabiat dasar. Begitu lahir kita mengkonsumsi kebajikan ibu, kebajikan ayah, kebajikan saudara-saudara kita, kebajikan tetangga-tetangga yang menimang-nimang kita. Wallahu a’lam.
Al-Ikhwan.net

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons