myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Selasa, 31 Mei 2011

Antara Nazaruddin, Suapuddin dan Ulumuddin

Oleh: Ali Mustofa

Hidayatullah. SUDAH menjadi rahasia umum jika kasus korupsi dan suap menyuap di Indonesia saat ini begitu parah. Dari korupsi dan suap kelas teri hingga korupsi kelas kakap. Dari yang bersifat individualis sampai yang bersifat sistematis. Baik yang terungkap ke permukaan maupun tidak.

Tak bisa di tutupi pula, hukum hanya mampu menjerat rakyat kecil, namun sangat sulit untuk menembus para pembesar. Bagaimana kita tahu bagaimana mentahnya penanganan hukum kasus skandal Bank Century, skandal BLBI, kasus korupsi mantan presiden Soeharto, dugaan penyelewengan kepentingan kampanye parpol, dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, kita tak begitu heran dengan kasus yang sedang booming saat ini tentang Nazaruddin Cs. Jika Bendahara Umum Partai Demokrat itu benar-benar terbukti melakukan suap, mungkin ada baiknya sebuah dendang lagu yang belakangan muncul di layar kaca berjudul, “Udin Sedunia”, liriknya layak diberi tambahan sebuah baris kalimat: "orang yang melakukan suap namanya SUAPUDIN".

Penegakkan hukum lemah

Jika kita cermati, setidaknya ada dua faktor yang mengakibatkan penegakkan hukum itu lemah. Di antaranya: Pertama adalah karena sistemnya. Seperangkat sistem yang berlaku di Indonesia memang sangat kondusif bagi pelaku suap ataupun koruptor untuk melancarkan aksinya. Seperti halnya pemberlakuan sanksi yang tidak bisa menimbulkan efek jera dan efek pencegah. Sebagaimana diketahui, banyak pelaku koruptor kelas kakap setelah di vonis bersalah hanya dikenai sanksi sangat ringan. Hal itu tentunya tidak membuat jera para pelaku koruptor tersebut, tidak pula mampu mencegah koruptor lain, karena dia tahu kalau pun toh tertangkap hanya akan di vonis sanksi ringan.

Kedua adalah manusianya. Faktor manusianya ini juga tidak terlepas dari sistem yang berlaku. Orang yang baik bisa menjadi orang yang tidak baik, dengan kata lain orang yang sebelumnya bukanlah koruptor bisa menjadi koruptor, gara-gara sistem yang diterapkan. Sebagai contoh, pernah diungkap oleh salah satu media jika di gedung DPR itu setiap hari beredar uang-uang ‘liar” yang tentu membuat tergiur untuk mengambil uang yang bukan haknya tersebut. Maka tak heran bilamana tidak sedikit anggota partai Islam yang juga terlibat dalam kasus korupsi.

Kurang optimal

Harapan besar masyarakat Indonesia sebenarnya di tujukan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam perjalananya, KPK cukup mampu memberikan angin segar terhadap pemberantasan korupsi, paling tidak terbukti dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi. Namun seiring berjalannya waktu, bertubi-tubi lembaga ini di hajar oleh berbagai persoalan.

Setelah kasus Antazari Azhar, giliran kemudian pimpinan KPK lain yakni Bibit-Candra yang kesandung masalah. Banyak pihak menganggap hal ini adalah upaya pelemahan terhadap KPK.

Di sisi lain, tidak semua lapisan masyarakat mampu di jangkau oleh KPK. Padahal kasus korupsi hampir terjadi di semua lapisan. Bahkan menurut survei PERC tahun 2010 (Political & Economic Risk Consultancy), Indonesia dinobatkan menjadi Negara paling korup se Asia-Pasifik. Dalam riset global barometer 2009 oleh Tranparancy International (TI) korupsi tertinggi adalah di parlemen dengan skor : 4,4. Kemudian perngkat kedua institusi peradilan skornya: 4,1, sementara itu Parpol bertengger di urutan ketiga (4,0), pegawai public (4,0), disusul sektor bisnis (3,2).

Sedangkan urutan daerah terkorup peringkat 1-8 diduduki oleh Kupang, Tegal, Manokwari, Kendari, Purwokerto, Pekanbaru, Padang Sidempuan dan bandung.

KPK memang layak didukung untuk menjerat para koruptor, namun tanpa disokong dengan sistem yang baik, tentu KPK juga tak mampu bekerja dengan optimal.

Bagaimanapun, lembaga sekelas KPK tentunya tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam memberantas korupsi dan suap. Hanya sedikit yang mempu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaanya selama ini bisa dibilang tebang pilih.

Lembaga ini memang hanya berfungsi sebagai pemburu dan penangkap koruptor.

Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan. Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sementara sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan secara efektif. Padahal ini adalah faktor penting dalam memberantas korupsi.

Sejatinya lembaga-lembaga semacam ini sudah sering dibentuk walaupun mungkin sekedar formalitas dan tidak leluasanya kewenangan hukum yang dimiliki. Pada tahun 1970 saat Soeharto menjabat sebagai kepala negara pernah ada lembaga yang namanya “komisi empat”, bertugas memberikan langkah-langkah strategis dan taktis kepada pemerintah. Pada tahun yang sama juga terbentuk KAK (Komisi Anti Korupsi) yang digawangi oleh para aktivis mahasiswa di era itu. Di antaranya Akbar Tandjung, Asmara Nababan cs. Sampai muncullah KPK untuk pertama kalinya di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri.

Alhasil, korupsi dan suap di negeri ini masih saja menggurita, disebabkan korupsi dan suap ini adalah korupsi yang sistematis. Namun, seringkali solusi yang ditawarkan cuma sekedar dengan kelembagaan. Seharusnya penyelesainya harus secara sistematis.

Alergi Islam?

Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah ditempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus.

Pertama; pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua: pengawasan dari kelompok, dan Ketiga: pengawasan oleh negara.

Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, diberlakukannya pula seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.

Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak.

Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).

Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Islam berusaha menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai. Karena itu dalam Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan dan pembuktian terbalik.

Pada masa kekhilafahan Umar Bin Khatab, hal ini rutin dilakukan beliau adalah selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil Zakat.

Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah.

Hal ini bisa kita bandingkan pada masa sekarang ini banyak di antara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.

Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).

Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.

Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa diambilkan contoh, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, mereka malah enjoy fasilitas-fasilitas yang wah.

Begitulah jika sistem nilai Islam diterapkan. Karena itu, belum ada sistem yang lebih baik di dunia ini selain mengambil solusi Islam. Hanya saja, mengapa ketika semua solusi ideologi sudah dicoba di neger ini meraih kegagalan, banyak orang buru-buru alergi ketika ditawarkan Islam? Jawabannya tidak lain karena banyak orang kaum Muslim sendiri tidak memahami agama mereka secara baik.

Karena itulah Imam Al Ghozali pernah menulis buku berjudul, “Ihya' Ulumuddin” (menghidupkan ilmu-ilmu agama), yang tujuannya menjadi panduan kaum Muslim untuk kembali ke dasar-dasar ilmu agama secara baik. Agar tidak selamanya kaum Muslim selalu menyebut dirinya sebagai orang awam.

Andai saja para pengelola negara mulai dari; presiden, para menteri, pejabat eselon, polisi, tentara, hakim, jaksa, pengacara, mau jujur ingin menjadikan negara ini bersih, jawabannya adalah kembali ke nilai-nilai Islam. Kecuali dalam hati mereka sudah ada niat menutupi nilai-nilai kebenaran Islam itu sendiri.

Rasulullah Saw telah memperingatkan: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena orang-orang terhormat di kalangan mereka dibiarkan saja ketika mencuri. Tapi, jika yang mencuri orang lemah di antara mereka, berlakulah hukuman atas mereka.” (HR. Bukhari). Wallahu a’lam.

Penulis Direktur Riset Media Surakarta

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons