myspace graphic
_
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.98:5)

Blogger news

~ ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ اطَهُوْرً ~

Jumat, 06 Mei 2011

Segalanya tentang Bid'ah (bag-2)

Oleh: Farid Nu’man Hasan


IV.                Kapankah Perbuatan Disebut bid’ah?

Tidak dibenarkan memvonis bid’ah dan sesat terhadap sebuah pemahaman atau perbuatan, tanpa pertimbangan yang matang. Maka, penting kiranya diketahui  kapankah sebuah perbuatan layak disebut bid’ah. Yaitu:

1.       Amalan tersebut tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.. 
2.       Amalan tersebut tidak memiliki dasar dalam Al Quran,  As Sunnah, dan ijma’, baik secara rinci (tafshili) atau global (ijmali), baik dalam bentuk perintah, contoh, dan taqrir.
3.       Amalan tersebut telah diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari ajaran agama yang mesti dijalankan.

Jika semua keadaan ini telah terpenuhi oleh sebuah amalan, maka tidak syak lagi bahwa amalan itu adalah bid’ah yang terlarang. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang amalan yang tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, namun secara global amalan tersebut ada dalam Al Quran baik tersurat atau tersirat, atau As Sunnah. Apakah hal itu sudah masuk bid’ah? Contohnya adalah membaca Shadaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al Quran. Bacaan Shadaqallahul ‘Azhim memang tidak pernah ada pada masa Rasulullah, dan tidak pula masa para sahabat. Tetapi, para ulama yang membolehkannya berdalil dari beberapa ayat, yakni Ali Imran (3): 95, dan Al Ahzab (33):  22).

Selain itu, ada beberapa sudut pandang untuk menilai sebuah amalan.

1.       Tinjauan Az Zaman (waktu). Puasa  wajib pada bulan Ramadhan, puasa sunah senin-kamis, puasa tasu’a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram), puasa zulhijjah (9 Zulhijjah), puasa Sya’ban, puasa 6 hari Syawal, puasa ayyamul bidh (13, 14, 15 tanggalan hijriah), atau shalat dhuha pada waktu dhuha, shalat lima waktu pada waktunya masing-masing, shalat Jumat pada hari Jumat, pergi haji pada zulhijjah, dan yang semisalnya, ini semua memiliki dasar  dan masyru’ (disyariatkan). Ada pun jika ada yang menganjurkan puasa anu pada bulan tertentu dengan fadhilah anu, atau shalat anu pada waktu anu dengan fadhilah anu, mengkhususkan malam tertentu untuk shalat tahajud tanpa malam lainnya secara terus menerus,  nah ..  semua tidak ada dalilnya sama sekali, maka tidak boleh.

2.       Tinjauan Al Makan (tempat). Meyakini fadhilah shalat di Masjidil haram, Masjid Nabawi, dan masjid Al Aqsha, atau meyakini mustajabnya berdoa di multazam, dan yang semisalnya, maka ini semua memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan manusia mengunjungi tempat tertentu dengan berkeyakinan fadhilah tertentu pula, maka ini membutuhkan dalil.
3.       Tinjaun Al ‘Adad (jumlah/bilangan). Melafazkan istighfar antara 70 sampai 100 kali dalam sehari, atau tasbih, tahmid, dan takbir, masing-masing 33 kali setelah shalat fardhu, atau mengulang-ngulang doa sampai tiga kali, atau membaca Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalah ..dst, sebanyak tiga kali setelah shalat fardhu, dan sepuluh kali setelah subuh dan maghrib, atau puasa enam hari syawal, tiga hari tengah bulan hijriyah, dan yang semisalnya, maka semua ini adalah memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan dan membiasakan berdzikir dengan jumlah tertentu, puluhan, ratusan, bahkan ribuan, dengan keyakinan tertentu, maka ini juga harus membutuhkan dalil. Jika tidak ada, maka tertolak.

4.       Tinjauan  Al Jins (jenis). Jika seorang bayi lahir lalu dilakukan beberapa jenis ritual seperti didoakan, tahnik (memasukkan kurma (boleh madu) ke mulut bayi),   aqiqah, cukur, rambut, dan pemberian nama, maka jenis ini semua masyru’. Tetapi, membuat jenis ritual sendiri, misal jika  ingin dapat jodoh, mesti puasa dulu, mandi kembang tengah malam, dan semisalnya, maka mengarang-ngarang jenis ibadah ini wajib mendatangkan dalil, jika tidak ada, maka tertolak.


5.       Tinjauan Al Maqshud (maksud dan tujuan). Jika seseorang puasa Sya’ban agar catatan amalnya diangkat ketika dia puasa, puasa 6 hari Syawal supaya mendapatkan pahala sebagaimana puasa setahun penuh, membaca surat Al Mulk agar terhindar dari azab kubur, dan semisalnya, semua ini benar dan memiliki dalil shahih.   Tetapi, puasa dengan maksud agar memiliki kesaktian, membaca surat tertentu agar kebal, maka ini semua tidak berdasar.

V.                  Bahaya - Bahaya Bid’ah

Bahaya-bahaya bid’ah sangat banyak dan akan menimpa pelakunya, orang lain, dan agama. Oleh karena itu, ini haru dikaetahui oleh segenap kaum muslimin, khususnya para da’i Islam.

1.       Bahaya bagi pelakunya

a.       Ditolak amalannya

Betapa melelahkan dia ibadah, namun itu sia-sia baginya. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini,   dengan apa-apa yang bukan darinya maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550 dan Muslim No. 1718)

Dalam riwayat lain, juga dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Dan barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak terdapat dalam urusan (agama) kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari, Bab An najsyi man qaala laa yajuz Dzalika al Bai’u, dan Muslim No. 1718)




b.       Disebut sebagai pelaku kesesatan dengan ancaman neraka

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya perkara adalah hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. An Nasa’i No. 1578, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8441, Ibnu Khuzaimah No. 1785, dan   sanadnya shahih, Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1578)

c.        Tidak dterima tobatnya kecuali dia meninggalkan bid’ahnya

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة

“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku setiap bid’ah.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, diatsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)

d.       Dia akan terus mendapatkan dosa jika bid’ahnya itu diikuti orang lain

Dari Jarir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No. 1017, At tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)

2.       Bahaya Bagi Agama

a.        Membuat bid’ah berarti membuat hukum syariat baru, padahal yang berwenang secara mutlak dalam  membuat hukum dan syariat hanyalah   Allah dan RasulNya Shallallahu ’Alaihi wa Sallam. Dengan  demikian pembuat bid’ah telah memposisikan diri sebagai pesaing dan perampas hak mutlak Allah dan Rasul-Nya  dalam membuat hukum dan syariat.

b.       Membuat bid’ah berarti mengada-ada dan berdusta atas nama Allah dan RasulNya.
c.        Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa syariat Allah masih kurang, sehingga harus ditambah dengan ”syariat” baru yang dibuat-buat oleh pencetus dan pelaku bid’ah.
d.       Setiap bid’ah mengandung muatan pendustaan terhadap Al Qur’an (QS. 5 : 3 )
e.       Setiap bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam itu bodoh karena ada yang luput dari perhatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga harus ditambahkan, dan  mengesankan seakan ahli bid’ah itu lebih mengetahui syariat daripada beliauShallallahu ’Alaihi Wa Sallam.
f.         Ada dan maraknya bid’ah mengakibatkan umat Islam merasa tidak butuh kepada Al Qur’an dan sunnah Rasul Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam.

VI.                Macam – Macam Bid’ah

Pembagian bid’ah menurut asal terjadinya.

1.       Bid’ah Haqiqiyah

Biasa juga disebut bid’ah ashliyah yaitu amalan bid’ah yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam agama, baik Al Quran, As Sunah, ijma’, dan qiyas. Juga tidak bersandar kepada dalil-dalil global atau rinci, dengan kata lain, bid’ah haqiqiyah sama sekali tidak ada hubungan dengan semua dasar-dasar dan pijakan syariat.

Contoh: apa-apa yang dilakukan oleh kaum quburiyun mereka meminta-minta kepada penghuni kubur, dan thawaf di kuburan. Sengaja tidak mau nikah atau membujang, menambah jumlah waktu shalat wajib menjadi enam waktu misalnya, dan lainnya.

2.       Bid’ah Idhafiyah

Yaitu bid’ah karena penambahan dari syariat yang pokok. Pada satu sisi nampak tidak bid’ah karena memiliki dasar dalam agama, tetapi dari sisi lain dia bertentangan dengan agama, khususnya terkait pada hai’ah(bentuk) dan tata cara ibadahnya, baik dilihat dari sisi waktu, jumlah aktifitasnya, keyakinan atas fadhilahnya, dan lainnya.

Contoh: berdzikir adalah masyru’ (disyariatkan) baik oleh Al Quran maupun As Sunah. Tetapi, berdzikir dengan cara memukul gendang, atau menggelengkan kepala, atau menari-nari seperti kaum darwisy, atau secara berjamaah dengan satu pola suara, atau mengucapkan dzikir dengan jumlah tertentu yang tanpa dalil, maka ini termasuk bid’ah idhafiyah.

Bersalawat atas nabi adalah disyariatkan, tetapi bersalawat dengan dikaitkan pada ibadah lainnya, maka itu bid’ah idhafiyah. Seperti merutinkan bersalawat sebelum azan yang dilakukan oleh muazin. Bersalawat memakai gendang-gendang dengan maksud dzikir, dan lainnya.

Maka, dilihat dari asal kejadiannya, maka bid’ah haqiqiyah lebih besar dosanya dibanding bid’ah idhafiyahlantaran bid’ah idhafiyah masih  ada keterkaitannya dengan dalil, walau keliru dalam pelaksanaannya.

Pembagian bid’ah menurut Implikasi Hukum Bagi Pelakunya


Dalam kitab Al Bida’ wal Mukhalafat Al  Hajj disebutkan:  

انقسامها باعتبار إخلالها بدين المبتدع ، فتنقسم بهذا الاعتبار إلى قسمين :
1 - البدعة المكفرة :
وهي التي تخرج صاحبها من دين اللّه ، وهي ما كانت كفرا صريحا كالطواف بالقبور تقربا إلى أصحابها وتقديم الذبائح والنذور لهم ودعائهم والاستغاثة بهم .
2 - البدع المفسقة :
وهي التي لا تخرج صاحبها من دائرة الإسلام لكنه يكون فاسقا بها وتتفاوت في شدة حرمتها ، فمنها ما هو من وسائل الشرك : كالبناء على القبور والصلاة والدعاء عندها ومنها ما هو معصية كبدعة التبتل عن الزواج والصيام قائما في الشمس .

Pembagian bid’ah dilihat berdasarkan kategori kondisi keagamaan pelakunya, maka bid’ah terdiri atas dua macam:
1.        Bid’ah Mukaffirah

Yaitu bid’ah yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Allah Ta’ala. Yaitu perbuatan yang jelas kufurnya, seperti thawwaf di kuburan dalam rangka taqarrub kepada penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar untuk mereka, berdoa dan minta pertolongan kepada mereka.
2.        Bid’ah Mufassiqah

Yaitu bid’ah yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, tetapi dia menjadi fasiq, dan dan keharamannya sangat keras. Di antaranya adalah  sesuatu yang bisa menjadi sarana  kesyirikan: seperti membangun bangunan pada kubur, shalat dan doa di kuburan, juga termasuk di antaranya adalah maksiat seperti bid’ahnya tidak mau menikah, dan puasa sambil berdiri di bawah terik matahari. (Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad As Samih, Syaikh Khalid bin ‘Isa al ‘Asiri, Syaikh Yusuf bin Abdullah al Hathi,  Al Bida’ wal Mukhalafat fil Haj, Hal. 8. Wizarah Asy Syu’un Al Islamiyah Wal Awqaf wad Da’wah wal Irsyad – Mamlakah As Su’udiyah, Cet.1, 1423H)
Namun, demikian tidak serta merta pelaku bid’ah dihukumi sebagai ahlul bid’ah , fasiq, atau kafir, ketika dia melakukan kebid’ahannya. Harus dilihat dari latar belakang pelakunya; apakah sekedar ikut-ikutan karena kebodohannya, ataukah memang dengan pemahamannya yang menyimpang dia menghalalkannya, bahkan menjadi pembelanya. Sebab menghukumi orang bodoh tidaklah sama dengan orang yang sudah mengetahui hukum. Atau, apakah dia melakukannya karena memahami bahwa perbuatan itu bukan bid’ah dengan dalil-dalil yang dia ketahui, dan sebagian   ulama pun ada yang menyetujui. Ini pun tidak langsung disebut sebagai pelaku bid’ah, karena yang dia lakukan adalah bid’ah yang masih diperselisihkan seperti dzikir dengan tasbih, bersedakap ketika i’tidal, memperingati maulid nabi, dan lain sebagainya.
Yang jelas untuk menyebut seseorang sebagai ahli bid’ah harus dipenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mawani’) yang membuatnya bebas dari vonis tersebut.

Pembagian Bid’ah Dilihat Sisi Bobot Bahayanya

                Ini juga terbagi menjadi dua bagian:

1.       Bid’ah Kubra (bid’ah besar)

Yaitu bid’ah dalam bidang aqidah (teologi), ideologi, dan pemikiran, baik klasik maupun modern. Inilah yang disebut sebagai ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’. Contohnya adalah paham wihdatul wujud (bersatunya Allah dengan wujud makhluk), paham yang mengatakan Al Quran bukan Kalamullah (firman Allah) tetapi makhluk, dan yang seperti ini.

Secara massiv, bid’ah ini ditampilkan oleh berbagai sekte (firaq adh dhalalah), seperti khawarij(mengkafirkan pelaku dosa besar), syi’ah (mengkafirkan para sahabat nabi, kecuali Ali dan ahlul bait), murji’ah(menganggap amal shalih dan maksiat sama sekali tidak mempengaruhi keimanan), jahmiyah (mengingkari sifat-sifat Allah), mujassimah (meyakini Allah memiliki jism/ tubuh   sebagaimana makhluk), mu’tazilah (rasionalis ekstrim yang menolak banyak rukun-rukun agama), qadariyah (paham yang meyakini Allah tidak ada peran apa-apa dalam kehidupan selain menciptakan saja), jabbariyah (paham yang meyakini manusia sama sekali tidak memiliki kehendak untuk berbuat), dan yang semisalnya. Atau, isme-isme modern seperti komunisme, sekulerisme, liberalisme, pluralisme, sosialisme, kapitalisme, dan atheisme.

Jenis-jenis  bid’ah ini ada yang sekedar dosa besar, dan ada pula yang sudah taraf kafir.

2.       Bid’ah Sughra  (bid’ah kecil)

Ini juga terbagi atas beberapa bagian. Pertamabid’ah amaliyah yaitu bid’ah pada bidang amaliyah ibadah, seperti melaksanakan tata cara amalan ibadah yang diyakini sebagai ajaran agama, padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat. Misal, menentukan jumlah dzikir sebanyak ribuan dengan fadhilah ini dan itu. Atau, amalannya sudah sesuai sunah, tetapi niatnya tidak benar, misalnya berdzikir dengan niat memiliki  kesaktian, menyembelih hewan dengan niat sebagai sesajen. Keduabid’ah tarkiyah yaitu kesengajaan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan dengan tujuan ‘ibadah tanpa memiliki dasar dalam agama. Misalnya sengaja meninggalkan nikah dengan niat ibadah, meninggalkan makan daging (vegetarian) dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah, dan yang semisalnya.

Jenis bid’ah ini, walau secara tampilan lahiriyah adalah ibadah, namun membawa pelakunya pada kefasikan dan maksiat kepada Allah Ta’ala, tetapi tidak sampai keluar dari agama.

 Pembagian Bid’ah Berdasarkan Sikap Ulama Terhadap Status Bid’ahnya

Dalam hal ini, bid’ah juga terbagi atas dua kelompok, yaitu bid’ah yang muttafaq ‘alaih (disepakati kebid’ahannya) dan mukhtalaf fih (diperselisihkan kebid’ahannya).

1.       Bid’ah yang Disepakati (muttafaq ‘alaih)

Ini adalah bid’ah yang disepakati para imam kaum muslimin. Seperti bid’ah dalam masalah aqidah, ideology, dan pemikiran yang membawa pelakunya kepada dosa besar bahkan kafir. (lihat Bid’ah Kubra)

Juga termasuk di dalamnya, adalah amalan ibadah yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam semua dasar-dasar agama, baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Contohnya adalah tawaf di kubur, menambah jumlah rakaat shalat secara sengaja, merubah arah kiblat secara sengaja dengan tanpa uzur syar’i, mempelajari ilmu hitam (sihir dan perdukunan), berdoa meminta kepada mayat, dan yang semisalnya.

Sikap terhadap bid’ah yang disepakati ini adalah harus tegas dan iqamatul hujjah (menegakkan hujjah) agar pelakunya bertobat dan penyebarannya terhenti. Tentu dilakukan dengan cara hikmah agar tidak melahirkan kerusakan yang lebih besar.

2.       Bid’ah yang Diperselisihkan (mukhtalaf fih)

Jenis ini sangat banyak, yaitu amal yang dianggap bid’ah oleh sekelompok ulama dengan hujjah mereka, namun dianggap boleh bahkan sunah oleh ulama lain dengan hujjah yang mereka punya juga. Walhasil, bagian ini  sebagaimana jenis  khilafiyah ijtihadiyah para ulama (baik dalam ibadah dan muamalah), maka sikap kita adalah toleran dan tidak bertindak keras dalam mengingkarinya. Sebagaimana yang dilakukan  oleh para salaf, dan ditegaskan oleh para ulama  muta’akhirin seperti Imam As Suyuthi, Imam An Nawawi, dan lainnya.

Contoh:

-          Qunut Shubuh

Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan sunah, sementara Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bid’ah.

Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
         
“Lihatlah para imam yang mengetahui banyak kesepakatan, adalah Imam Ahmad Rahimahullahberpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam) Inilah bijaknya Imam Ahmad bin Hambal.

Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari  kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi,  Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346)     Itulah nama-nama yang meyetujui qunut subuh pada rakaat kedua, mereka sangat banyak dan mereka adalah para ahli ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in,  fuqaha dan ahli hadits.
-          Membaca Taswid (Sayyidina) Dalam Shalat

Sebagian ulama membolehkannya, bahkan menilainya sebagai sunah dan adab terhadap RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Imam Syihabuddin Ar Ramli (lihat kitab Nihayatul Muhtaj, 4/329. Mawqi’ Al Islam) , Imam Ibnu ‘Abidin (lihat kitab Hasyiyah Radd Al Muhtar, 1/26. Darul Fikr), Imam Al Hashfaki (lihat kitab Ad Durrul Mukhtar 1/553. Darul Fikr), Imam Al Haththab dan Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam (lihat kitab Mawahib Al Jalil, 1/70. Mawqi’ Al Islam), dan lainnya.

Sedangkan yang lain mengatakan bahwa membaca sayyidina dalam shalat (ketika shalawat pada tasyahud) adalah tidak disyariatkan.

-          Berdzikir Dengan Biji tasbih

Sebagian besar ulama membolehkannya bahkan ada yang mengatakan baik dan sunah, tetapi mereka juga menyatakan bahwa menghitung dzikir dengan ruas jari kanan adalah lebih utama.   Mereka adalah Imam Ibnu Taimiyah (lihat Majmu’ Fatawa 5/225, Mawqi’ Al Islam), Imam As Suyuthi dan Imam Asy Syaukani (lihatNailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah), Imam Ibnu Hajar Al Haitami (lihat Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al ‘Ilmiyah), Imam Ibnu Abidin (Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam),  Imam Al Munawi (lihat Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah), Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri (lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah), Syaikh ‘Athiyah Shaqr (Fatawa Al Azhar), Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz (lihat Majmu’ Fatawa wa Maqallat,  29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (lihat Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh Shalih Fauzan (lihat Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam) , Syaikh Ali Jum’ah, para ulama di Al Azhar, pakistan, dan lain sebagainya, bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tak ada yang mengingkari kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf.
Disebutkan oleh Imam Asy Syaukani sebagai berikut:
وقد ساق السيوطي آثارًا في الجزء الذي سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال في آخره : ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .
            Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia namakan Al Minhah fi As Subhah, yang merupakan bagian dari kumpulan fatwa-fatwa, dia berkata pada bagian akhirnya: “Tidaklah ada nukilan   seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah, bahkan justru kebanyakan mereka menghitung dengannya, dan mereka tidak memandangnya sebagai perbuatan yang dibenci. Selesai” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
                Tetapi faktanya, zaman ini ada ulama yang melarangnya bahkan menganggap itu adalah bid’ah. Mereka adalah Syaikh Al Abani (As Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002), Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badar (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud No. 44 dan 180. Maktabah Misykah), bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid membuat kitab tersendiri untuk membid’ahkannya.

-          Ritual Nishfu Sya’ban
Sebagian ada yang membolehkan, yakni para tabi’in seperti Khalid bin Mi’dan, Makhul, dan Ishaq bin Rahawaih. Mereka memakai pakain bagus, wangi-wangian, lalu menghidupkan malam nishfu sya’ban ke masjid dan shalat berjamaah. (Al Qasthalani, Al Mawahib Al Laduniyah, 2/259)
Namun, kebanyakan ulama memakruhkan dan membid’ahkan,  Mereka adalah para imam di hijaz, yakni Imam ‘Atha, Imam Ibnu Abi Malikah, para ahli fiqih Madinah (sahabatnya Imam Malik dan pengikutnya), Imam Al Auza’i (imamnya penduduk Syam).  (Fatawa Al Azhar, 10/131) juga Syaikh bin Baz. (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281)
Bahkan Imam An Nawawi menyebutnya sebagai bid’ah munkar yang buruk .(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)
-          Peringatan Maulid
Sebagian ulama ada yang membolehkannya, selama tidak diisi dengan cara yang munkar, tidak melalaikan shalat, dan tidak campur baur laki dan wanita. Bahkan mereka menamakannya dengan bid’ah hasanah, yakni Imam As Suyuthi (dia mengatakan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a/termasuk bid’ah yang terbaik,  beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil Maulud), Imam Ibnu Hajar, Imam Abu Syamah, Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya. Tetapi, pembolehan mereka ini hanya sebatas pemanfaatan momen maulid untuk menapaktilasi dan mengkaji kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukan acara ritual khusus, bacaan-bacaan khusus, yang jika tidak dilakukan maka maulidnya kurang afdhal. Tidak demikian.
Sedangkan ulama lain, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Al Haj, para ulama Saudi, dan lain-lain membid’ahkan peringatan maulid, apa pun bentuknya.
-          Membaca Al Quran (Yasin atau lainnya) Untuk Mayit, Baik Sebelum Atau Sesudah di Kubur
Sebagian ulama memakruhkan dan membid’ahkannya karena hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafush shalih, mereka adalah seperti Imam Malik dan sebagian pengikutnya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyahlihat juga Syarh Mukhtashar Khalil, 5 /467), Imam Abu Hanifah (Fatawa Al Azhar, 7/458).
Dari madzhab Hambali, yaitu  Imam Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad, 1/527. Muasasah Ar Risalah), Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam),  Syaikh Shalih Fauzan (lihat Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296-297. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykat)dan lainnya.
Sedangkan Imam As Syafi’i ada dua riwayat tentang beliau, yakni beliau menganjurkan membaca Al Quran di sisi kubur, bahkan jika sampai khatam itu bagus. (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 117. Mawqi’ Al Warraq)
Tetapi, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir,  Imam Asy Syafi’i menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran kepada mayit tidaklah sampai. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H) dan ini menjadi pendapat mayoritas madzhab Asy Syaf’i


Imam Asy Syaukani menyatakan keterangan sebagai berikut:
والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن
            “Yang masyhur dari madzhab Asy Syafi’i dan jamaah para sahabat-sahabatnya adalah bahwa pahala membaca Al Quran tidaklah sampai ke mayit.”
            Imam Asy Syaukani juga mengutip perkataan Imam Ibnu Nahwi, seorang ulama madzhab Asy Syafi’i, dalam kitab Syarhul Minhaj, sebagai berikut:
لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور
            “Yang masyhur menurut madzhab kami, pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai ke mayit.” (Nailul Authar, 4/142. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)
                Alasannya adalah surat An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”
                Ada pun yang membolehkan adalah seorang sahabat Nabi, yakni Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, yang berwasiat jika dia   dikuburkan hendaknya dibaca awal surat Al Baqarah dan akhirnya.               (Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam) ini juga pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Qudamah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).  Imam Ahmad menganjurkan jika memasuki komplek pekuburan hendaknya membaca  Yasin tiga kali, Al Ikhlas, dan membaca:  Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al Mughni, 5/78)
                Selain mereka, juga Imam Asy Syaukani. (lihat Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah), dari ulama madzhab Hanafi, yaitu Al Hafizh Al Imam Az Zaila’i (lihat Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132), Imam Ibnu Nujaim (Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq,  3/84.    Dar Ihya At Turats), Imam Kamaluddin bin Al Humman (Fathul Qadir, 6/134).
                Dari madzhab Maliki, yaitu Imam Ibnu Rusyd (Imam Muhammad Al Kharasyi, Syarh Mukhtashar  Khalil, 5/467), dan Imam Al Qarrafi (Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani, 3/283).
                Dari Madzhab Syafi’i, yaitu Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371), dan Imam Syihabuddin Ar ramli (Nihayatul Muhtaj, 2/428)
            Juga kalangan ulama kontemporer, seperti Syaikh Hasanain Makhluf. (Fatawa Al Azhar, 5/471), dan Syaikh ‘Athiyah Shaqr. (Fatawa Al Azhar, 8/295). Keduanya adalah mantan mufti Mesir.
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh Imam Asy Syafi’I (An najm: 39). Ayat itu  menurut Ibnu Abbas telah dimansukh (dihapus). Dalam Tafsir Ibnu Jarir tentang An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”  Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukh(dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya, pen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..”  maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,  Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547)
Sementara dalam kitab Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, disebutkan bahwa An Najm ayat 39 tersebut dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim, karena di dalam rangkaian ayat tersebut   diceritakan tentang  kitab suci mereka berdua, firmanNya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm (53): 36-37)
Ada juga yang mengatakan, maksud ayat tersebut (An Najm 39) adalah untuk orang kafir, sedangkan bagi orang beriman, maka baginya juga mendapatkan manfaat usaha dari saudaranya. (Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132)
Masih banyak lagi amal yang masih diperselisihkan bid’ah atau tidaknya, seperti membacaShaddaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al Quran, dzikir berjamaah setelah shalat, berdoa setelah shalat, dan lainnya.
VII.              Adakah Bid’ah Hasanah?
Diskusi tentang pembagian ini telah mejadi perdebatan hangat antara ulama kita sejak dahulu hingga sekarang. Di antara mereka ada yang membagi bid’ah menjadi dua, yakni bid’ah hasanah dan dhalalah, sebagaimana pandangan Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya, seperti Imam An Nawawi, Imam Abu Syamah.. Bahkan Imam Al ‘Izz bin Abdussalam  dan Imam An Nawawi membagi bid’ah menjadi lima, sebagaimana pembagian dalam ketentuan syara’, yakni bid’ah wajib, bid’ah sunah, bid’ah makruh, bid’ah haram, dan bid’ah mubah. Selain itu juga Imam Ibnul Jauzi, Imam Ibnu Hazm, Imam Al Qarrafi dan Imam Az Zarqani.
                Namun, tidak sedikit ulama yang menolak keras  pembagian itu, bagi mereka tidak ada bid’ah hasanah, apalagi hingga lima pembagian. Bagi mereka semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa SallamKullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Mereka adalah Imam Malik, Imam Asy Syatibi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Abu Bakar At Thurtusy, Imam al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Al Aini, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Rajab, dan umumnya para ulama kontemporer, termasuk ulama moderat Syaikh Yusuf Al Qaradhawy.

Kelompok pertama, Para Ulama yang Mengakui adanya Bid’ah Hasanah
                Para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, bukan tanpa alas an. Di antara hujjah mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

                
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasan baik, maka tercatat baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahaala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka. (HR. Muslim, No. 1017, At tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)
Imam Asy Syafi’i dan Imam As Suyuthi Rahimahumallah
                Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah sebagai berikut:

والحوادث تنقسم إلى: بدعة مستحسنة، وإلى بدع مستقبحة، قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه. وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة.
 "Perkara-perkara yang baru terbagi atas bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Bid’ah itu ada dua; bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Maka, apa-apa saja yang sesuai dengan sunah maka itu terpuji, dan apa-apa saja yang menyelisihi sunah maka itu tercela.” Beliau beralasan dengan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu juga berkata: “Hal-hal yang baru itu ada dua segi; pertama, apa-apa saja yang menyelisihi Al Quran, As Sunnah, Atsar, Ijma’, maka inilah bid’ah dhalalah (sesat). Kedua, apa-apa saja perbuatan baru yang baik, yang tidak menyelisihi satu saja dari sumber itu, maka perkara baru tersebut tidaklah tercela.”  (Imam As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 6. Juga Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 13/253. Darul Fikr)
Imam Al Qurthubi Rahimahullah
                Berkata Imam Al Qurthubi Al Maliki  Rahimahullah tentang hadits Imam Muslim di atas:
وهذا إشارة إلى ما ابتدع من قبيح وحسن، وهو أصل هذا الباب، وبالله العصمة والتوفيق، لا رب غيره.
“Ini adalah isyarat bahwa apa-apa yang baru (bid’ah), di antaranya ada yang buruk dan ada yang baik, dan itulah asal dari masalah ini. Dan kepada Allah memohon penjagaan dan taufiq, dan Tiada Rabb selainNya.”(Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam,  2/87. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi)
Imam Al Ghazali Ath Thusi Rahimahullah
Berkata Hujjatul Islam Imam Al Ghazali  dalam Ihya’ ‘Ulumuddin:
فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة. إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها.
“Maka, betapa banyak perbuatan baru yang baik, sebagaimana dikatakan tentang berjamaahnya shalat tarawih, itu adalah di antara perbuatan barunya Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan itu adalah bid’ah hasanah. Sesungguhnya bid’ah tercela itu hanyalah apa-apa yang bertentangan dengan sunah terdahulu atau yang membawa kepada perubahan terhadap sunah.”(Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin,  1/286, Mawqi’ Al Warraq)

Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة
            “Pada hadits ini terdapat takhsis (spesifikasi/pengkhususan/penyempitan) dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Yang dimaksud oleh hadits ini adalah hal-hal baru yang batil dan bid’ah tercela. Telah berlalu penjelasan tentang ini pada pembahasan “Shalat Jum’at”. Kami menyebutkan di sana , bahwa bid’ah ada lima bagian: Wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.”  (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/461. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, menurut pemahaman Imam An Nawawi, hadits ‘Kullu bid’atin dhalalah’ maknanya masih umum, yang telah dipersempit oleh hadits Imam Muslim di atas, sehingga tidak setiap bid’ah itu sesat.
Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah
 Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, penulis Hasyiah ‘ala Ibni Majah, ketika mengomentari hadits Kullu bid’atin dhalalah sebagaiberikut ini:
 قِيلَ أُرِيد بِهَا مَا لَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الدِّين وَأَمَّا الْأُمُور الْمُوَافِقَة لِأُصُولِ الدِّين فَغَيْر دَاخِلَة فِيهَا وَإِنْ أُحْدِثَتْ بَعْده صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْت هُوَ الْمُوَافِق لِقَوْلِهِ وَسُنَّة الْخُلَفَاء فَلْيَتَأَمَّلْ .
 “Dikatakan, yang dikehendaki oleh hadits ini adalah apa-apa yang tidak memiliki dasar dalam agama, sedangkan perkara yang bersesuaian dengan dasar-dasar agama bukanlah termasuk di dalam maksud hadits tersebut, walau pun hal itu baru ada setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku berkata: hal itu sesuai dengan sunahnya dan sunah al Khulafa’, maka perhatikanlah.”  (Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiah ‘ala Ibni Majah,  No. 42. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Al lusi Rahimahullah
Imam Al Alusi berkata:

 وقال صاحب جامع الأصول : الابتداع من المخلوقين إن كان في خلاف ما أمر الله تعالى به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز الذم والإنكار وإن كان واقعاً تحت عموم ما ندب الله تعالى إليه وحض عليه أو رسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجوداً كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف ، ويعضد ذلك قول عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه في صلاة التراويح : نعمت البدعة هذه .
Berkata penulis Jami’ al Ushul: “Perkara baru yang diada-adakan oleh manusia, jika berselisih dengan apa-apa yang Allah Ta’ala dan  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan, maka itu tercela dan harus diingkari. Namun, jika masih bersesuaian dengan keumuman apa-apa yang Allah Ta’ala dan RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam   anjurkan, maka itu termasuk terpuji, walau pun belum ada yang semisalnya, yang mendukung hal itu adalah ucapan Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu tentang shalat tarawih: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.  (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 20/346 Mawqi’ At Tafasir)
Dalam catatan kaki kitab Al Ibanah Al Kubra karya Ibnu Baththah, disebutkan:
البدعة بِدْعَتَان : بدعة هُدًى، وبدعة ضلال، فما كان في خلاف ما أمَر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم فهو في حَيِّز الذّم والإنكار، وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَضَّ عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح، وما لم يكن له مثال موجود كنَوْع من الجُود والسخاء وفعْل المعروف فهو من الأفعال المحمودة، ولا يجوز أن يكون ذلك في خلاف ما وَردَ الشرع به
 “Bid’ah ada dua: bid’ah petunjuk dan bid’ah sesat. Bid’ah sesat adalah apa-apa yang berselisih dengan yang Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  wa Sallam perintahkan. Namun, jika masih bersesuaian dengan keumuman apa-apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam   anjurkan, maka itu termasuk terpuji, walau pun belum ada yang semisalnya  dan tidak boleh dalam hal itu adanya pertentangan dengan syara’.” (Imam Ibnu Bathah, Al Ibanah Al Kubra, 1/13  . Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Imam Izzuddin bin Abdussalam Rahimahullah
Imam Izzudin bin Abdussalam , dalam Kitab Qawa’idul Ahkam fii Mashalihil Anam berkata:
فَصْلٌ فِي الْبِدَعِ الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى : بِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُحَرَّمَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مَنْدُوبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ : فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ .
أَحَدُهَا : الِاشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِي يُفْهَمُ بِهِ كَلَامُ اللَّهِ وَكَلَامُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَذَلِكَ وَاجِبٌ لِأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ وَاجِبٌ وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إلَّا بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ ، وَمَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
الْمِثَالُ الثَّانِي : حِفْظُ غَرِيبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْ اللُّغَةِ .
الْمِثَالُ الثَّالِثُ : تَدْوِينُ أُصُولِ الْفِقْهِ .
الْمِثَالُ الرَّابِعُ : الْكَلَامُ فِي الْجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ لِتَمْيِيزِ الصَّحِيحِ مِنْ السَّقِيمِ ، وَقَدْ دَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيعَةِ عَلَى أَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فِيمَا زَادَ عَلَى الْقَدْرِ الْمُتَعَيَّنِ ، وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُ الشَّرِيعَةِ إلَّا بِمَا ذَكَرْنَاهُ .

Pembahasan tentang Macam bid’ah-bid’ah

Bid’ah adalah perbuatan yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bid’ah terbagi atas: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunah), bid’ah makruh, dan bid’ah mubah. Untuk memahami ini, kita mengembalikannya sebagaimanan kaidah-kaidah syar’iyyah; jika bid’ah itu masuk prinsip kaidah kewajiban maka dia wajib, jika dia masuk prinsip kaidah pengharaman maka dia haram, jika dia masuk prinsip kaidah anjuran maka dia sunah, jika dia masuk prinsip kaidah kemakruhan maka dia  makruh, jika dia masuk prinsip kaidah pembolehan maka dia mubah.
Contoh bid’ah wajib adalah pertama, menyibukkan dari dalam ilmu nahwu yang dengannya kita bisa memahami firman Allah dan perkataan Rasulullah, demikian itu wajib karena menjaga syariat adalah wajib, dan tidak bisa menjaga syariat kecuali dengan memahami hal itu (nahwu). Tidaklah sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.
Kedua, menjaga perbendarahaan kata asing pada Al Quran adan As Sunnah. Ketiga, pembukuan disiplin ilmu usuhl fiqih. Keempat, perkatan dalam ilmu jarh wa ta’dil, yang dengannya bisa membedakan mana hadits yang shahih dan cacat
. Kaidah-kaidah syar’iyyah telah menunjukkan bahwa menjaga syariat adalah fardhu kifayah, sejauh bekal dan kemampuan masing-amsing secara khusus. Dan tidaklah mudah urusan penjagaan syariah kecuali dengan apa-apa yang telah kami sebutkan.
Sedangkan bid’ah yang haram contohnya adalah pemikiran qadariyah, jabriyah, murji’ah, dn mujassimah, semuanya adalah lawan dari  bid’ah wajib.
Adapun bid’ah yang sunah, contohnya  adalah menciptakan jalur penghubung, sekolah-sekolah, dan jembatan, termasuk juga semua kebaikan yang belum ada pada masa awal, seperti shalat tarawuih, perkataan hikmah para ahli tasawwuf, dan perkataan yang mampu mengikat beragam perhimpunan dan bisa menjelaskan berbagai permasalahan, jika dimaksudkan karena Allah Ta’ala semata.
Adapun bid’ah makruhah (dibenci), contohnya adalah menghias mesjid, menghias Al Qur’an, dan sedangkan melagukan Al Qur’an sehingga merubah lafazh, maka yang benar adalah itu bid’ah yang haram. Sedangkan bid’ah mubahah (boleh), contohnya adalah bersalaman setelah shalat subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju. Telah terjadi perselishan dalam hal ini, sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain mengatukan bahwa itu adalah kebiasaan yang sudah dikerjakan pada masa Rasulullah dan setelahnya, perseleisihan ini seperti masalah pembacaan isti’adzah dan basmalah dalam shalat.(Imam Izzudin bin Abdussalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam,  2/380-384. Mawqi’ Al Islam)
Demikian keterangan dari beberapa Imam yang mewakili kelompok yang menyetujui pembagian bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasnah dan bid’ah sayyi’ah (kadang juga disebut bid’ah dhalalah, atau bid’ah madzmumah). Bahkan ada pula yang mengatakan lima macam bid’ah. Menurut mereka, hal-hal baru yang memiliki dasar dalam agama, atau tidak bertentangan denga Al Qur’an, As Sunnah, Atsar sahabat, dan Ijma’, maka itulah bid’ah hasanah.
Kelompok kedua, Para Ulama yang menilai Semua bid’ah adalah sesat
                Kelompok ini berdalil dengan keumuman hadits yang sangat terkenal dan sering diulang-ulang dalam perkara ini:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

                
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Ahmad,  No. 16521. Ibnu Majah, No.  42. Imam al Hakim berkata: hadits ini shahih tidak ada cacat, lihat Al Mustadrak ‘Alas Shahihain, No. 329, dan dishahihkan pula oleh Syaikh al Albany dalam kitab Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah, No. 42)
Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu
Dari hadits ini seorang sahabat Nabi, yakni Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وعن ابن عمر رضي الله عنه، قال: كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة.
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya baik (hasanah).”   (Imam Ibnu Baththah, Ibanatul Kubra, No. 213. Imam As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 3. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Malik bin Anas Rahimahullah
                Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:

من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3

                “Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.”  (Fatawa Al Azhar, 10/177)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
                Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وَمَنْ تَعَبَّدَ بِعِبَادَةِ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً ؛ وَهُوَ يَعْتَقِدُهَا وَاجِبَةً أَوْ مُسْتَحَبَّةً فَهُوَ ضَالٌّ مُبْتَدِعٌ بِدْعَةً سَيِّئَةً لَا بِدْعَةً حَسَنَةً بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الدِّينِ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُعْبَدُ إلَّا بِمَا هُوَ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ
                “Dan barangsiapa yang beribadah, dengan peribadatan yang tidak diwajibkan, tidak pula disunnahkan, dan dia meyakini itu adalah wajib atau sunah, maka dia sesat dan mubtadi’ (pelaku bid’ah) dengan bid’ah yang buruk, tidak ada bid’ah hasanah dengan kesepakatan para imam agama. Sesungguhnya Allah tidaklah disembah kecuali dengan apa-apa yang diwajibkan dan disunahkan.”  (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/38. Mawqi’ Al Islam)
                Selain itu, beliau juga berkata:

وَكُلُّ بِدْعَةٍ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً فَهِيَ بِدْعَةٌ سَيِّئَةٌ وَهِيَ ضَلَالَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ قَالَ فِي بَعْضِ الْبِدَعِ إنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ فَإِنَّمَا ذَلِكَ إذَا قَامَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِمُسْتَحَبِّ وَلَا وَاجِبٍ فَلَا
    
يَقُولُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إنَّهَا مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ . وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ كَمَا { قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ : { وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Maka, jika  dalam hal itu terdapat dalil syar’i, maka itu adalah disukai. Adapun apa-apa yang tidak ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin  yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah membuat garis kepada kami dengan garis yang lurus. Lalu dia membuat garis dibagian kanan dan kirinya, lalu dia bersabda: ‘Inilah jalan Allah, sedangkan ini adalah jalan-jalan lain yang setiap jalan itu ada syetan yang senantiasa mengajak kepadanya,’, lalu Beliau mebaca ayat: “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan jangan ikuti jalan-jalan lain yang mencerai-beraikanmu dari jalanNya.”  (Ibid, 1/40)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah
Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata:

فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة

               
 “Maka, setiap sesuatu yang baru, dan disandarkan kepada agama, padahal tidak ada dasarnya dalam agama, maka itu adalah sesat, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja dalam hal ini, apakah masalah aqidah, amal-amal perbuatan, ucapan yang nampak atau tersembunyi.”   (Jami’ al Ulum wal Hikam, 28/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Para Ulama di Lajnah Daimah Saudi Arabia
   Dalam Fatwa Lajnah Da’imah no. 2467:

والبدع كلها ضلالة، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم. أما تقسيم البدعة في الدين إلى خمسة أقسام فلا نعلم له أصلا في الشرع
“Semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada pun pembagian bid’ah menjadi lima bagian, maka kami tidak mengetahui asalnya dari syara’.”   (Lajnah Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’, 4/83)
Dalam teks fatwanya yang lain:

ولا أقسام للبدعة في الدين من حيث الحكم عليها، بل كل بدعة ضلالة؛ لما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » رواه البخاري ومسلم وفي راية « من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد » رواه مسلم
                 “Tidak ada pembagian bagi bid’ah dalam agama sebagaimana pembagian hukum agama, bahkan seluruh bid’ah adalah sesat, sebagaimana telah kukuh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (agama Islam), yang bukan bagian darinya, maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang beramal yang kami tidak pernah perintahkan, maka tertolak.” (HR. Muslim).”  (Ibid, 4/93)
Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah   
Fatwa Asy Syaikh al ‘Allamah Dr. Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah:
  البدعة الحسنة والبدعة السيئ
ما هي أقسام البدعة ، وهل صحيح هناك بدعة حسنة وبدعة سيئة ؟
الدكتور الشيخ يوسف عبد الله القرضاوي
 بسم الله ، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله ، وبعد:
فقد تباينت آراء العلماء في تقسيم البدعة ، فمنهم من قسمها إلى بدعة حسنة ، وبدعة سيئة ، ومنهم من جعلها خمسة أقسام مثل الحكم الشرعي ، وهذه التقسيمات لا أصل لها ، لأن الحديث جاء فيه :"وكل بدعة ضلالة "، وهي البدعة المخترعة التي لا تندرج تحت أي أصل أو مصدر من مصادر التشريع أو شيء من أدلة الأحكام .
يقول الدكتور الشيخ يوسف القرضاوي :
هناك بعض العلماء قسَّموا البدعة إلى: بدعة حسنة، وبدعة سيئة، وبعضهم قسَّمها إلى خمسة أقسام، بأقسام أحكام الشريعة الخمسة: بدعه واجبة، وبدعة مستحبة، وبدعة مكروهة، وبدعة محرمة، وبدعة مباحة،وقد ناقشهم الإمام الشاطبي مناقشة مفصَّلة، أثبتَ من خلالها: أن هذا التقسيم أمر مُخْتَرع لا يدلُّ عليه دليل شرعي بل هو في نفسه مُتدافَع؛ لأن من حقيقة البدعة أن لا يدل عليها دليل شرعي لا من نصوص الشرع ولا من قواعده، إذ لو كان هنالك ما يدل من الشرع على وجوب أو ندب أو إباحة لَمَا كان ثَمَّ بدعة، ولكان العمل داخلًا في عموم الأعمال المأمور بها أو المُخَيَّر فيها.

والقول الأصوب في هذا: أن الكلام واحد في النهاية. النتيجة واحدة؛ لأنهم يجعلون ـ مثلاًـ كتابة القران وجمعه في مصحف واحد، وتدوين علم النحو،وتدوين علم أصول الفقه والعلوم الإسلامية الأخرى، من البدع الواجبة، ومن فروض الكفاية.

أما الآخرون فإنهم ينازعون في تسمية هذه (بدعًا)، يقولون: هذا التقسيم للبدعة بالمعني اللغوي، ونحن نريد بالبدعة (المعنى الشرعي)، أما هذه الأشياء فنحن نُخْرِجها من البدعة، وليس من الحسن أن يُسَمَّى مثل هذا بدعة، والأولى أن نقف عند الحديث الشريف؛ لأن الحديث الشريف جاء بهذا اللفظ الواضح الصريح: "فإن كل بدعة ضلالة" بهذا العموم ... بهذه الكلية، فإذا كان الحديث يقول:"فإنَّ كل بدعة ضلالة" فلا داعي إلي أن نقول: إن من البدع ما هو حسن، ومنها ما هو سيئ، أو منها ما هو واجب وما هو مستحب....الخ، لا داعي لمثل هذا التقسيم.

والصواب أن نقول ما قاله الحديث الشريف: "فإن كل بدعة ضلالة"، ونَقْصِد بالبدعة المعنى الذي حققَّه الإمام الشاطبي في هذا التعريف: (البدعة طريقة في الدين مخترعة) ولا أصل لها في الشرع، ولا أساس لها، لا من كتاب، ولا من سنة، ولا من إجماع، ولا من قياس، ولا من مصلحة مرسلة، ولا من دليل من هذه الأدلة التي قال بها فقهاء المسلمين.

Pertanyaan: Apakah ada pembagian bid'ah? Adakah benar di sana terdapat bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (keji)?
Jawab: Ulama berbeda pendapat dalam hal pembagian bid'ah. Sebagian mereka membagikan menjadi  bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah. Sebagiannya bahkan menjadikan bid'ah kepada lima bagian seperti hukum syar'i. Semua pembagian ini tidak ada asalnya. Karena hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan: "Setiap bid'ah itu dhalalah." Ia adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak memiliki asal atau sumber dari sumber-sumber tasyri' (pensyariatan) atau ia bukanlah perkara yang ada dalilnya dalam-dalam  dalil hukum.
Syaikh Dr. Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah menyatakan:
Di sana sebagian ulama membagikan bid'ah kepada: Hasanah dan Sayyi'ah.  Sebagian dari mereka membagikannya kepada lima bagian, sebagaimana pembagian dalam hukum-hukum syara’: Bid'ah wajib, sunah, makruh, haram dan mubah.
Al Imam Asy Syathibi telah membahas masalah ini secara terperinci, dan beliau menegaskan: Bahwa pembagian ini hanyalah persangkaan  belaka yang tidak ditunjukkan oleh satu pun dalil syar’i, malah pembagian itu sendiri saling bertolak belakang. Karena hakikat bid'ah itu adalah sesuatu yang tidak ditunjuki oleh  dalil syara’ manapun, tidak juga oleh  nash syara’ dan tidak dari kaidah-kaidahnya. Karena jika di sana terdapat suatu dalil syara’ yang menunjukkan atas wajibnya sesuatu, sunahnya,  atau harus, mengapa pula perkara tersebut dikatakan bid'ah (hasanah). Ia sebenarnya (bukanlah bid'ah hasanah) tetapi perkara yang masuk  di bawah keumuman amal yang diperintahkan atau perkara yang dibolehkan.
Perkataan yang benar dalam hal ini  akhirnya hasilnya adalah satu, karena mereka menjadikan –misalnya-  bahwa penulisan Al Quran, menghimpunkannya dalam satu mushaf, menyusun ilmu nahwu, ushul fiqh dan ilmu-ilmu Islam lain adalah sebagai bid'ah wajib dan sebagai fardu kifayah.
Adapun sebagian yang lain, mereka mendebat apa-apa yang dinamakan bid’ah ini.  Kata mereka: "Pembagian ini adalah pembagian untuk bid'ah dari sudut bahasa saja. Sedang yang kami maksud dengan bid'ah di sini adalah bid'ah dari sudut syara’. Tentang perkara-perkara di atas, kami mengeluarkannya dari kategorii bid'ah. Adalah tidak baik jika ia disebut sebagai sesuatu yang bid'ah. Yang utama adalah kita berpegang kepada Hadis yang mulia; karena hadis datang dengan lafaz berikut dengan terang dan nyata: "Maka sesungguhnya setiap bid'ah itu dhalalah (menyesatkan)."
Dengan keumuman lafaz hadis di atas, maka apabila dikatakan: "Setiap bid'ah itu dhalalah" maka tidak perlulah kita katakan lagi: "bid'ah itu ada yang baik, ada yang keji, ada yang wajib, ada yang sunat dan seterusnya...." Pembagian seperti ini adalah tidak perlu.
Maka yang benar ialah, bahwa kita katakan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah di dalam hadisnya: "Maka sesungguhnya setiap bid'ah adalah dhalalah." Yang dimaksudkan adalah bid'ah sebagaimana yang telah ditahqiq oleh Al-Imam Asy Syathibi: "Bid'ah ialah jalan di dalam agama yang diada-adakan." yaitu yang tidak ada asal-usulnya dari syara’, tidak juga dari al-Quran, as-Sunnah, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah,  dan tidak ada di kalangan fuqaha' yang menyatakan dalil mengenainya.”

Demikian dari Syaikh Yusuf Al Qaradhawy Hafizhahullah.
Demikianlah dua kelompok para imam kaum muslimin, antara yang menyetujui adanya pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian sebagaimana dalam hukum syar’i, dengan pihak yang menolak pembagian bid’ah, sebab bagi mereka semua bid’ah adalah tercela.
Jika kita kaji lagi, sebenarnya ada titik temu di antara beragam perbedaan mereka, yaitu mereka sama-sama menyepakati bahwa, bid’ah dalam urusan ritual adalah haram dan sesat, sedangkan bid’ah dalam urusan dunia adalah boleh. Yang membuat mereka berbeda sikap adalah bid’ah dalam perkara agama yang bukan ritual khusus (mahdhah), yang tidak memiliki dalil langsung (khusus), namun ada dalil umumnya.
Contohnya peringatan Maulid Nabi. Jika dicari dalil khusus tentang acara Maulid Nabi, maka kita tidak akan menemukannya baik Al Qur’an dan As Sunnah, juga perilaku sahabat dan dua generasi terbaik setelahnya. Namun, dilihat dari sisi dalil umum, kita memang diperintahkan untuk memuji Rasulullah, bergembira atas kelahirannya, dan diperintahkan banyak bershalawat atasnya.. Akhirnya, ada pihak yang berinisiatif melaksanakan peringatan Maulid sebagai upaya menapaktilasi kehidupan Rasulullah, berdalil dari dalil-dalil umum tersebut. Namun, ada juga yang menolaknya karena secara khusus acara tersebut tidak pernah di adakan pada zaman generasi  terbaik Islam. Akhirnya terjadilah perselisihan di antara para Imam dan ulama kaum musliminsetelahnyaWallahu A’lam
Referensi:

-          Al Quran Al Karim
-          Al Jami’ Al Bayan, karya Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari
-          Jami’ul Ahkam, karya Imam Al Qurthubi
-          Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir
-          Ruhul Ma’ani, karya Imam Al Alusi
-          Jami’ush Shahih, karya Imam Al Bukhari
-          Jami’ush Shahih, karya Imam Muslim
-          As Sunan, karya Imam At Tirmidzi
-          As Sunan, karya Imam An Nasa’i
-          As Sunan, karya Imam Ibnu Majah
-          As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
-          Musnad, karya Imam Ahmad
-          Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, karya Imam Al Hakim
-          Ibanatul Kubra, karya Imam Ibnu Baththah
-          Al Mu’jam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani
-          Al Mu’jam Al Kabir, karya Imam Ath Thabarani
-          Syu’abul Iman, karya Imam Al Baihaqi
-          As Sunnah, karya Imam Ibnu Abi  ‘Ashim
-          Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
-          Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i
-          Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi Asy Syafi’i
-          Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr
-          Tuhfah Al Ahwadzi, karya Syaikh Abdurraman Al Mubarakfuri
-          Hasyiah ‘Ala Ibni Majah, karya Syaikh Abul Hasan As Sindi
-          Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali
-          Faidhul Qadir, karya Imam Al Munawi
-          Misykah Al Mashabih, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Irwa’ Al Ghalil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Zhilalul Jannah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-          Majma’ Az Zawaid, karya Imam Nuruddin Al Haitsami
-          Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali
-          Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam An Nawawi Asy Syafi’i
-          Fatawa Al Azhar,  kumpulan fatwa para  mufti Mesir
-          Fatawa Al Lajnah Daimah, kumpulan fatwa ulama Saudi Arabia
-          I’lamul Muwaqi’in, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Al Hambali
-          Qawaidul Akam fi Masalihil Anam, karya Imam Izzuddin bin Abdussalam Asy Syafi’i
-          Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, karya Imam As Suyuthi Asy Syafi’i
-          Al Bida’ wal Mukhalafat fil Haj , karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad As Samih et.al
-          Zaadul Ma’ad, kara Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Al Hambali
-          Siyar A’lam An Nubala, karya Imam Adz Dzahabi
-          Ihya ‘Ulumuddin, karya Imam Al Ghazali Asy Syafi’i
-          Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, karya Imam Fakhruddin Az Zaila’i Al Hanafi
-          Fathul Qadir, karya Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi
-          Nihayatul Muhtaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i
-          Tuhfatul Muhtaj, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki
-          Mawahib Al Jalil, karya Imam Al Haththab Al Maliki
-          Raddul Muhtar, karya Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi
-          Hasyiah Raddul Muhtar, karya Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi
-          Ad Durrul Mukhtar, karya Imam Al Hashfaki Al Hanafi
-          Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq, karya Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi
-          Syarh Mukhtashar  Khalil , karya Imam Muhammad Al Kharasy  Al Maliki
-          Al Fawakih Ad Dawani , karya Imam Ahmad An Nafrawi Al Maliki
-          Nailul Authar, karya Imam Asy Syaukani
-          Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i
-          Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, karya ulama Kuwait Departemen Wakaf dan Urusan Agama
-          Majmu’ Fatawa wa Maqallat, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
-          Al Mulakhash Al Fiqhi, karya Syaikh Shalih Fauzan
-          Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, karya Syaikh Shalih Fauzan
-          Syahul Mumti’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin
-          Fatawa Nur ‘Alad Darb, karya Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin
-          Al Munjid fil Lughah wal A’lam
-          Lisanul ‘Arab, karya Imam Ibnu Manzhur
-          Al Qamus Al Muhith, karya Syaikh Fairuzzabadi

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons